Semilir angin membawaku mengingat akan kenangan yang kuukir dalam angin malamKetenangan membuatku damai. Malam tenang yang berusaha membuatku mengingat sedikit demi sedikit kenangan yang kubuat. Aku sedikit mengingat pilu yang terjadi.
Pada jam 03.45 aku harus sudah ada di Towa City, dan sekarang baru jam 03.00. Masih ada waktu 45 menit sebelum giliranku.
Tiga hari sebelum lomba diadakan Ibuku tergeletak dilantai keramik dibawah ranjangnya. Tubuhnya kaku dan mulutnya sedikit mengeluarkan darah karena batuk. Keadaannya semakin kritis tiba-tiba. Ayah memutuskan untuk meng-handle pekerjaannya dan pulang.
~Aku berdiri disini, disisi ranjang. Menatap wanita paruh baya yang sudah merawatku dengan baik.
Keadaannya semakin hari semakin memburuk, detak jantungnya tak menentu. Kadang kekhawatiran menggelayuti pikiranku. Aku benar-benar membatu dalam sekejap.
"Bu, aku harap kau bangun dan melihat penampilanku." Aku mengusap cairan bening yang mengalir dari pelupuk mataku.
Dengan kuat aku menarik jejak dan membuat harapan. Aku harus membuatnya bahagia dengan prestasiku.
"No. 19 Nona Emily! Persiapkan dirimu" seorang lelaki memakai seragam terlihat seperti staf acara berdiri didepanku saat aku duduk sendiri dibangku panjang dekat ruang tunggu peserta.
Aku menyentuh dadaku yang berdetak tak karuan. Detakkannya tak seirama seperti biasanya. Seperti ledakan boom rakitan terpasang rapi dibaliknya.
Drett!!drettt!!
Ponsel didalam sakuku bergetar. Awalnya aku menolak untuk mengangkat karena pikiranku penuh dengan ketakutan, Tapi saat pemanggil diponselku tertera aku langsung menggeser tombol hijau.
"Halo?"
"Bagaimana dengan perlombaanmu?"
"Aku belum menampilkannya."
"Ohh, baiklah. Persiapkan dirimu." Suaranya terdengar agak khawatir dan kikuk. Aku sedikit curiga.
Kecurigaanku mencapai batasnya saat samar-samar suara seorang lelaki memanggilnya dan membicarakan hal yang terdengar serius. "Maaf pak! Kami tak bisa menanganinya lagi."
Dan disaat itulah semuanya terasa tenggelam dalam lubang paling dalam. Aku terkubur hidup-hidup dan merasakan kematian. Semua kehidupan terasa hilang dan tak ada. Semuanya semu. Hidup dan artinya. Tak ada satupun yang dapat kudengar selain suara terputusnya sambungan ponselku.
Angin malam menerpa kulitku. Beberapa daun jatuh kemeja taman yang berada didepanku. Segelas air teh dan sandwich isi coklat serta lagu sedih dari penyanyi bersuara emas "Adele~All I Ask" menemaniku sendiri ditaman halaman.
"Emily, kemana Ayah dan Ibumu? Apa mereka tak ada niat menjengukmu disini?" Yama mengambil alih kursi disampingku, lalu mencomot satu sandwich miliku. "Tidak." Aku hanya menjawab seadanya. Karena aku belum memberitahunya tentang status tanpa Ibu-ku.
Aku Menatap lurus, mencari-cari objek didepanku. "HEYY!!" saat aku menengok keempunya suara. Ada satu tangan bergerak melambai dibelakang tembok pembatas. "EMILY! APA KAU DILUAR RUMAH??" Brandan berteriak. Tak lama setengah tubuhnya sudah ada diatas tembok. "Heh! Apa kau bisu? Aku hampir mengeluarkan pita suaraku karena berteriak!!"
KAMU SEDANG MEMBACA
Melody Love : Can I Reach Out?
Teen FictionAku hanyalah seorang hawa kecil seperti partikel tidak visibel. Yang aku ingin hanyalah telapak tangan yang selalu terbuka. Matanya hanyalah kontak yang membuat hatiku selalu tak enak. Dan aku tak bisa melupakan itu. ~can i reach out?~ #AaronWJStal...