Hilang

12 0 0
                                    

Senja hari itu masih sama seperti senja biasanya. Sedikit basah karena hujan. Sedikit silau karena matahari yang menolak pergi. Tidak ada yang berbeda, sungguh. Senja itu masih keping sore hari yang biasanya, bersama Luna.

"Masih juga kalut, Gus?" Tanyanya. Luna tidak pernah menoleh padaku bila bertanya. Tidak pernah menatap mata, bibir, atau bagian apa pun dari lawan bicaranya. Ia hanya menatap jauh, tidak jelas juga, apa, siapa, yang ia lihat dalam jarak pandangnya.

Aku duduk di sebelahnya, seperti biasanya pula. Lima jengkal jari tangan dari jarak pundaknya. Luna, meski sudah mau bicara dengan orang asing, tidak pernah begitu suka didekati. Sudah tabiatnya begitu dari jaman dulu bertemu.

"Tidak tahu juga, ya," gumamku. Tidak menatap Luna juga, percuma. "Aku masih merasa kosong, kadang-kadang. Masih terasa sesak, sedikit." Aku berbohong, tidak sedikit, sebenarnya. Perkara patah hati tidak bisa dinyatakan dengan ukuran jumlah. Kamu bisa bilang itu sedikit atau banyak, rasanya masih tetap sama. Yang ada ialah masih terasa atau sudah tidak sama sekali. Kategori di tengah-tengahnya masih jadi misteri.

Luna tersenyum, "aneh ya," gumamnya, "bagaimana bisa yang kosong bisa begitu menyesakkan? Yang sesak biasanya yang penuh," katanya.

Sekarang aku yang balik tersenyum, "Duh tidak tahu juga, ya. Tapi bagaimana yang hilang bisa terasa? Padahal juga tidak ada apa-apa lagi yang tersisa?"

"Wah aku tidak tahu, Gus. Kan kamu yang selalu bilang merasa kehilangan, bukan aku."

"Lah, kamu tidak pernah merasa kehilangan, Lu? Sekali pun tidak pernah?"

Lagi-lagi Luna tersenyum. Dipandangnya sepenggal senja yang tersisa di langit malam. "tidak, Gus," jawabnya, "Akulah yang hilang."

KatarsisWhere stories live. Discover now