2

164K 5K 107
                                    

Aku terbangun. Kurasakan lengan Axello masih melingkari tubuhku.

Ah, apa yang akan ia katakan jika ia terbangun nanti? Apakah ia akan mengatakan bahwa apa yang baru saja terjadi ini merupakan sebuah kesalahan?

Aku tidak akan sanggup mendengarnya nanti. Sebaiknya aku pergi sebelum ia terbangun dan tersadar dari mabuknya.

Perlahan aku beringsut. Dengan sangat hati-hati kulepaskan lengan kokohnya. Ia menggeliatkan tubuhnya.

Aku menelan ludah. Tubuh liat berotot itu yang semalam menindih dan mencumbuku tanpa perlawanan sedikitpun.

Kuabaikan rasa nyeri yang menyengat pada kewanitaanku. Kupunguti gaunku yang berserakan di lantai, kukenakan seadanya.

Kuraih tas tanganku dan mengendap, berjingkat seperti pencuri. Kutinggalkan apartemen Axello, turun ke apartemenku sendiri.

Masih pukul tiga dini hari. Aku memasukkan beberapa pakaianku ke dalam koper, laptop dan keperluanku lainnya.

Aku tidak sanggup bertemu dengannya lagi. Ia mengambil semua milikku. Hatiku, perasaanku, keperawananku, hidupku. Aku tidak akan pernah menyesal karenanya. Aku mencintainya. Kuharap ia akan menemukan kebahagiaannya bersama orang yang dicintainya. Dengan tertatih aku menuju taxi yang kupesan.

Mungkin aku terlalu terburu-buru mengambil keputusan. Tapi aku tidak ingin melihatnya merasa bersalah ketika mendapati keadaan kami saat ia terbangun nanti, menyadari bahwa ia sudah mengambil semuanya dariku.

Aku rela. Aku mengikhlaskan apa yang sudah terenggut dariku olehnya.

Yang ingin kulakukan sekarang hanyalah menenangkan diriku. Dan menyendiri sementara waktu, kupikir akan sangat baik untukku.

Dalam waktu kurang dari dua setengah jam setelahnya aku sudah berada di dalam pesawat.

=====*=====

Hampir dua bulan aku berada di sini.

Bali. Pulau eksotik yang mampu membuatku betah berlama-lama dengan pantai dan adat istiadatnya yang mengagumkan.

Pagi ini tubuhku terasa lemas. Akhir-akhir ini aku selalu merasa tidak enak badan. Seringkali aku harus berlari ke kamar mandi karena rasa mual yang tidak bisa kutahan.

"Mual lagi?" aku menoleh.

Ayu sahabatku membantuku memijat tengkukku dan mengoleskan minyak angin.

"Kurasa kau harus ke dokter, Lex," ujarnya. Aku menggeleng lemah.

"Paling tidak, dokter bisa memberimu obat untuk mengurangi mual-mu," bujuknya membuatku ingin menangis.

Aku tidak menyalahkan takdir. Aku juga tidak menyalahkan Axello. Aku tidak menyesali kejadian malam itu. Aku tau, Axello tidak sadar melakukannya. Semua salahku. Aku yang terlalu terlena oleh sentuhan Axello yang selama ini begitu kuinginkan dan kurindukan.

"Mau sampai kapan kau seperti ini, Lex?" aku menggeleng.

Ayu menatapku iba. Ia tau semua yang terjadi padaku. Ia selalu peka dengan perubahanku. Aku seperti buku yang terbuka baginya. Ia bisa membaca semuanya dari raut wajahku.

"Seharusnya kau menemuinya, menceritakan semuanya. Aku yakin, Axello pasti mau bertanggung jawab," sarannya entah untuk keberapa kalinya.

"Tidak! Biar saja seperti ini, Ay. Ini semua salahku," tolakku seperti biasa.

"Tapi Axello harus tau bahwa kau hamil anaknya! Axello berhak tau, Lex!"

"Tidak! Jangan! Biarkan Axello bahagia dengan pilihannya, Ay. Dia bahkan tidak tau kalau kami berhubungan malam itu. Dia sedang dalam pengaruh alkohol. Dan aku... aku akan merawatnya sendiri. Aku pasti bisa," kuusap perutku yang masih terlihat datar.

I'm Yours (Sudah terbit di Google Play Books)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang