Prolog

9K 720 112
                                    

-- Jakarta, 20:00 WIB

Di suatu sudut sepi di kota Jakarta, seorang wanita berjalan sendirian di trotoar yang sempit. Di bawah cahaya lampu yang remang-remang, ia memperhatikan langkahnya supaya tidak tersandung oleh permukaan trotoar yang tidak rata dan memastikan agar sepatu hak tingginya tidak tersangkut. Kemeja putih lengan panjang dan rok hitam selutut sedikit menunjukkan lekuk tubuhnya yang langsing semampai. Rambutnya yang dikonde sedikit berantakan, dan riasan wajahnya sedikit luntur. 

Bau sampah menyengat ketika ia mendekati tikungan di ujung trotoar. Sambil menutup hidung, wanita itu mempercepat langkahnya. Matanya yang sigap mengamati ada sebuah warung yang menutupi trotoar di mana ia sedang berjalan. Dengan terpaksa, ia turun dari trotoar untuk melanjutkan perjalanannya.

Tiga pemuda duduk di bangku warung tersebut. Mereka bagaikan hyena yang sedang mengintai mangsanya. Ketika wanita itu melintas di hadapan mereka, mereka bersiul-siul mengganggunya. 

"Eh, cewek. Ngapain pulang sendirian malam-malam?"

"Kok diem aja sih? Sini Abang temenin."

"Eh, malah pergi, hahahaha."

"Lumayan, tuh, kayanya."

Raut wajah wanita itu menegang. Ia mendekap tasnya di dada dan mempercepat langkahnya, setengah berlari. Namun, para pemuda itu mengejarnya. Sepatu hak membuat wanita itu sulit berlari. Ia hampir terjatuh.

"TOLONG!!!" teriak wanita itu.

Akan tetapi, teriakannya seperti habis ditelan malam. Dengan panik, ia menoleh ke sekitarnya. Jalanan sepi. Tidak ada siapa-siapa selain ketiga pemuda tersebut. Wanita itu merogoh tasnya. Tiba-tiba terdengar bunyi alarm keras yang memekakkan telinga. 

NGUING! NGUING! NGUING! 

Para pemuda itu terkejut. Sambil menutup telinga, mereka mundur dan berlari menjauh.

Langkah mereka dihadang oleh seorang perempuan bertopeng dan berpakaian serba hitam. Ia mengenakan kaos ketat berwarna hitam, dibalut jaket kulit berwarna hitam, dipadukan dengan rok flare mini berwarna hitam pula. Kakinya yang jenjang dibalut leggings hitam dan sepatu boot kulit hitam.

"Mau lari ke mana kalian?" panggil si-serba-hitam. "Mungkin kalian perlu diberikan pelajaran agar tidak mengganggu perempuan lagi."

"Ah, ternyata cewek lagi," kata salah satu pemuda jalanan itu.

"Uhui, yang ini aja, deh, Bos, kayanya lebih seru," sahut rekannya, memandangi pakaian si-serba-hitam  yang ketat mengikuti lekuk tubuhnya.

"Ayo kita main," kata si-serba-hitam.

Ia mengeluarkan sebuah tongkat pendek dari tas pinggangnya dan menariknya menjadi panjang. Mereka terkesiap, tidak menyangka perempuan yang ini berani melawan. Salah satu pemuda memberanikan diri maju untuk menyerangnya. Ia mengepalkan tinjunya dan mengarahkan ke si-serba-hitam. PLAK! Ia tak berhasil menyentuhnya. Tongkat si-serba-hitam menangkal serangannya. Pemuda itu memegangi lengannya sambil meringis kesakitan.

"Bersamaan!" seru pemuda yang lain.

Ketiga pemuda itu maju serentak. Pemuda pertama mencoba menyerang dari belakang. Pemuda kedua mencoba menyerang dari bawah, berusaha menjatuhkan kakinya. Pemuda ketiga mengambil batu bata dan melemparnya ke arah si-serba-hitam. 

Dalam hitungan detik, si-serba-hitam mengatasi serangan ketiganya. Ia menyikut pemuda pertama di bagian perut. Kemudian ia menendang wajah pemuda kedua. Ia menangkis batu bata bagaikan pemain kasti menangkis bola. Batu bata tersebut terlempar kembali ke arah pemuda ketiga dan menimpa kakinya. Terakhir, ia memukul mereka di titik yang tidak mematikan namun mencegah mereka untuk menyerangnya kembali. Para pemuda itu mengerang kesakitan. Wajah mereka lebam. Mulut mereka sedikit berdarah.

Si-serba-hitam mengikat mereka dan menyeret mereka ke trotoar. Ia mengeluarkan karton, menuliskan "MESUM" di atas kartonnya, dan memasang tali rafia untuk membuat kalung. Kemudian ia mengalungkan karton tersebut ke leher salah satu pemuda.

"Kapok, nggak?"

"Ampun!" mereka berteriak kompak.

"Awas kalau kalian ketahuan mengganggu ketenangan lingkungan lagi."

Si-serba-hitam pun menghilang di tengah kegelapan malam.

Catatan penulis: Sejak awal saya berencana menulis Jakarta Vigilante dalam Bahasa Indonesia, tetapi karena kurang kenalan pembaca Indonesia, saya memutuskan untuk menulis beberapa bab dalam Bahasa Inggris. Saya akan melihat versi mana yang mendapat respon lebih baik untuk memutuskan kelanjutannya. Kalau Bahasa Inggris lebih laku, saya lanjutkan Bahasa Inggris, vice versa. Kalau dua-duanya tidak laku,  ya sudah pasrah. XD (Gak kok bercanda, akan saya promosikan terus). Versi Bahasa Indonesia tidak sekadar terjemahan dari Bahasa Inggris, sudah ditambahi beberapa kalimat supaya lebih detil.

Jakarta Vigilante ☆ [SUDAH TERBIT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang