1

514 39 11
                                    

.

Berapapun tangan yang terulur, tak akan mampu memungut apa yang telah tertebar dan tak akan pula mampu menebar apa yang telah dipungut. Siapa yang mampu menolak lengan takdir? Sekalipun seluruh waktu kuhabiskan untuk berdoa dan mengharapkan beberapa detik mundur, tak akan mampu merubah apapun yang telah direncanakan oleh-Nya. Kadang aku ingin meronta ketika mereka bisa dengan mudah berkata, selalu ada rahasia di dalam catatan takdir-Nya, meskipun catatan itu akan menorehkan luka yang sangat menyakitkan. Sungguh, kenyataan ini, susah membuatku percaya...

-Luhan-

.

.

.

~***~VAPHILORM~***~

.

.

Bias cakrawala senja menerobos masuk ke dalam celah-celah gorden transparan ruangan bercat putih membosankan itu. Bias jingganya menerpa separuh wajah dan rambut cokelat madu pria cantik yang tengah duduk menyender di ranjang rumah sakit dengan tatapan lemah ke arah layar televisi yang menggantung dihadapannya.

Menunggu.

Sudah 30 menit berlalu sejak ia menyalakan televisi yang masih menampilkan sebuah acara talkshow yang penuh dengan unsur komedi, tapi wajahnya tetap datar, bibir mungilnya tetap terkatup rapat, hingga bias cahaya jingga yang menerobos celah-celah gorden transparan rumah sakit itu berpendar dan menghilang, bersamaan dengan acara talkshow yang hampir mencapai segmen terakhir. Soundtrack acara talkshow mengalun, dan posisi duduk pria cantik tadi sontak menegak. Wajahnya yang semula layu kini tampak sedikit bersemangat. Mata rusanya menatap lekat pada layar televisi yang akhirnya memutarkan soundtrack dan cuplikan-cuplikan drama romantis itu. Bukan, pria cantik itu bersemangat bukan karena ia suka dengan jalan cerita drama romantisnya, melainkan pada pemeran utama prianya, sosok pria tampan berkulit pucat yang sangat dikenalnya.

"Sehun..."

Pria itu tersenyum tipis setelah menyebutkan nama aktor tampan itu dengan bibirnya. Nama pria itu seolah seperti mantera, yang dengan ajaib mampu mengembalikan semangat hidupnya yang semakin hari semakin menipis.

Kini tangan kecilnya sudah terangkat, menopang dagunya yang tak begitu runcing. Matanya menatap lurus pada wajah aktor tampan itu dengan sudut-sudut bibir yang masih tetap tersungging naik, membentuk sebuah senyuman yang cantik.

"Kau bahkan sudah sukses sebagai aktor, sesuai dengan mimpimu Sehuna..." gumam pria cantik itu.

Bibirnya tak pernah berhenti tersenyum sepanjang wajah pria pucat itu terpampang di layar televisi, namun beberapa saat berubah cemberut ketika iklan komersial mulai ditayangkan untuk jeda setiap scene dalam dramanya. Pria cantik itu sebenarnya masih sangat ingin menonton sampai akhir, namun mengurungkan niatnya ketika seorang perawat masuk ke dalam kamar rawatnya yang membosankan. Perawat wanita itu memeriksa beberapa peralatan yang menempel-nempel di tubuhnya sebelum akhirnya melemparkan senyum hangatnya pada pria cantik tadi.

"Tuan Kim Luhan, sore ini anda sudah diperbolehkan pulang oleh Dokter. Semuanya sudah dipersiapkan oleh pihak rumah sakit Beijing dan juga keluarga anda."

Perawat itu menyerahkan selembar kertas yang –katanya- harus dia tanda tangani, dan Luhan memberikannya.

"Suster, bisa tolong panggilkan Ibuku? Ada hal penting yang ingin ku katakan padanya."

Perawat itu mengangguk, tetap dengan senyuman hangat di bibirnya.

"Baiklah, tunggu sebentar."

Perawat itu masih sempat merapikan posisi selimut Luhan yang sudah melorot sampai ke lutut. Luhan hanya diam, lalu kembali pada posisinya, menyandar pada bantal-bantal yang di susun tinggi di belakang punggungnya hingga perawat itu keluar dari ruangan.

VaphilormTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang