Dear Diary

113 9 2
                                    

Dear diary
10-10-2015
12.00 WIB

Ketika harapan berubah menjadi suatu kenyataan, apakah itu pantas kita sebut sebagai keajaiban?


Awal September 2006

Ibuku adalah seorang guru pegawai negeri yang mendapat tugas di salah satu SD di desa tempat kami tinggal, tepatnya di SDN 3 Margomulyo. Sebagai seorang ibu rumah tangga yang merangkap menjadi guru, ia harus rela bangun pagi, menyiapkan makanan untuk kami, mengurus rumah dan jika sudah selesai barulah ia mandi lalu menunaikan kewajibannya sebagai sosok pahlawan tanpa tanda jasa.
"Len... bangun. Udah siang" Sekitar pukul 06:00 WIB suara ibu menarikku keluar dari alam mimpi. Nadanya lebih terdengar seperti orang yang sedang berteriak. Mungkin ia sedang memasak di dapur (memang biasanya begitu sih. Ibu membangunkanku cukup dengan berteriak dari dapur saja). Aku segera melipat selimut garis-garis favoritku lalu berjalan ke dapur. Sesampainya di dapur, aku melihat ibu sedang kebingungan mencari sesuatu. "Nyari apaan, mak?"
"Ini lho, nyari sutil(Spatula). Tadi tu udah emak bawa kok sekarang nggak ada".
Alih-alih menjawab, aku malah tertawa terpingkal-pingkal. Bagaimana tidak? Sutil yang di cari ibuku, saat ini sedang berada di genggamannya sendiri.
"La itu di tanganmu mak?"
"Oh iya, ini sutil ya? Iya ding".
Kala itu, aku hanya menganggap ibu sedang bergurau, walau jika ku perhatikan semakin hari ibuku semakin sering lupa.

Pertengahan September 2006

Sifat 'Lupa' ibu makin menjadi, namun aku tidak tanggap. Saat itu aku masih bocah, jadi belum paham betul apa makna 'perhatian' kepada sekitar dan orang lain. Yang aku tau adalah bermain, tertawa, jajan, dan berkumpul dengan teman.
Hingga suatu pagi, aku dan ibuku hendak berangkat ke sekolah dengan mengendarai sepeda motor(saat itu aku masih SD dan kebetulan sekolah tempatku menimba ilmu adalah sekolah tempat ibu mengajar juga). Di tengah perjalanan, kami mendengar suara kereta api. Tak diduga, ibuku langsung menghentikan laju motornya dan segera menepi, malah sampai mau masuk parit sangking tepinya ibu minggir. Aku yang bingung langsung saja menanyakan kenapa ia mematikan motornya dan menepi. Padahal kan di belakang, depan, atau samping kami tidak ada kendaraan lain yang melintas kecuali aku dan ibu.
Dan ia menjawab "Nanti dulu ya Len, ada kereta mau lewat. Kita minggir dulu"
ASTAGA!!! Apa-apaan sih ibu ini! Aku langsung memarahinya karena kesal. Bagaimana tidak? Saat ini kita sedang melalui jalan yang sama sekali tidak ada rel keretanya. Satu-satunya rel kereta yang ada masih terletak pada jarak +/- 100 meter dari posisi kami. Dan seumur-umur rute perjalanan kami untuk sampai ke sekolah tidak pernah melewati rel itu. Memangnya kereta mau lewat tanah, apa? Aneh sih! Buang-buang waktu saja, udah siang nih! Bisa telat nanti Elen.
Setelah aku selesai mengoceh dan kereta sudah lewat, tiba-tiba ibu bilang "o iya ding, kereta kan jalannya lewat sana ya, bukan lewat sini" sembari jemarinya menunjuk kereta yang masih terlihat ujung gerbongnya. Astagaaaaaa!!!! Errr!!! Saat itu aku kesal sekali dengan tingkah ibu.


Akhir September 2006

Beberapa bulan terakhir, ibuku jadi aneh. Kadang aku merasa itu bukan sosok ibu. Ia seperti orang asing. Semakin hari, tingkah nya makin aneh-aneh saja. Pelupanya semakin parah, penglihatannya kabur, dia sering mengeluh sakit kepala. Saat dikelas, ia lebih sering tidur ketimbang mengajar. Bahkan yang lebih parah, ia pernah lupa sama namaku! Sudah begitu, ia sekarang mempunyai hobi baru, yaitu MARAH-MARAH!
Sebenarnya sih, selama beberapa bulan terakhir ini juga ibu ditemani dengan ayah sudah mengunjungi banyak dokter, rumah sakit, tabib dan pengobatan lainnya. Namun diagnosa dari masing-masing tempat yang dikunjungi malah jadi macam-macam. Ada yang ngomong ibu tidak ada penyakit apapun, ada yang ngomong ibu kecapek'an, tekanan darah tinggi, dan masih banyak lagi. Malah ada pula yang ngomong ini kiriman dari orang. Wuisss... ngeri ya :D


09 Oktober 2006

Udara malam berhembus pelan. Lembayung senja tlah lama pergi, mengantar sang mega kembali ke peraduan. Pucuk dedaunan mangga saling berpagutan. Hening. Pandanganku jauh menerawang ke antah berantah. Melalui jendela kamar, kupandangi gugusan bintang yang tersebar bak pasir di langit malam. Sejenak, langit tampak seperti bentangan kanvas hitam dengan percikkan tinta putih dan bulatan bulan yang menempel.
Siang tadi... semua keluargaku berkumpul. Dari mulai kakek, nenek, paman, bibi, tante, kemenakan, abang, dan adikku yang masih berumur tiga tahun. Kami berkumpul di kediamanku, minus tanpa kehadiran ayah dan ibu. Karena, ibu dan ayah ku sudah pergi sejak petang(pagi) tadi. Kata mereka sih berobat. Ntah lah. Di umur yang masih 8 tahun, aku lebih mendambakan oleh-oleh "bakso" yang tadi petang ayah dan ibuku janjikan ketimbang menanyakan tentang "berobat" yang lebih spesifik.
Aku, adikku, dan para keponakan bermain di ruang tamu, sedangkan keluargaku yang sudah dewasa berkumpul di ruang tengah, entah apa yang mereka bicarakan.

Dalam Kenangan (Mengenang 9 Tahun Pasca Operasi Ibu)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang