"Bahkan setelah semua yang udah gue lakuin ke lo?" tanya laki-laki jakung itu dengan nada rendah. Rasanya semua yang dia lakukan dulu, rasanya itu semua sia-sia. Sekarang degup jantung laki-laki itu sangat kencang. Berharap jawaban yang keluar sesuai harapannya.
"Bahkan dengan itu"
Deg ,
Waktu seolah lenyap ditelan masa.
"Tapi, Rin. Kalau bukan gue, setidaknya jangan dia. Dia itu jahat" laki-laki itu terus meyakinkan. Berharap Arini mengerti, bahwa semua yang Arini putuskan tak baik untuk dirinya sendiri.
"Dia nggak jahat. Udah, gue muak lihat lo. Sekarang pergi, dan jangan kembali lagi. Gue benci sama lo" teriak Arini, air matanya menetes. Seolah kalimat itu bukan dia yang mengucapkan.
"Gue bakal pergi. Karena gue yakin, mereka yang pergi pasti bakalan lebih berharga lagi saat mereka kembali. Gue harap lo bahagia," laki-laki itu mengeluarkan sebuah buku dari dalam tasnya. "Ini, gue harap lo nggak menolaknya. Sambungan ceritanya bakalan utuh setelah gue balik kesini lagi. Gue harap gue bisa balik. Dan gue harap lo jaga ini baik-baik. Setidaknya ini permintaan gue yang terakhir, sebelum gue pergi jauh dari lo"
Arini tak menerima buku itu. Laki-laki itu hanya meletakkannya di atas aspal begitu saja.
Tak ada sepatah katapun lagi yang keluar dari mulut Arini. Entah kenapa kenyataan terlalu pahit untuk dikecap. Dia hanya menangis dan menatap punggung laki-laki itu yang semakin menjauh. Waktu seolah lenyap. Semua orang pergi. Tanpa perduli pada Arini.
"Maafin gue" lirihnya di sela-sela isakannya.
Ini cerita tentang sebuah penyesalan dan betapa berharganya setiap mereka yang pergi.
•••
KAMU SEDANG MEMBACA
Pudih Lura
Teen FictionNamanya Arini. Tinggal di panti asuhan sejak usia 6 tahun. Dia memiliki sahabat bernama Aris dan Hadis. Waktu berlalu, 6 tahun kemudian Arini bertemu ibunya, dan tinggal bersama. Sejak saat itu semua berubah. Semua rahasia yang tak pernah Arini...