Si Pencakar Langit

48 3 2
                                    


Angga menatap gedung tinggi yang begitu tinggi. Megah, tinggi, kuat, dan tampak gagah. Tingginya seakan-akan ingin menyentuh langit. Ah, itukah sebabnya mereka mendapat julukan gedung pencakar langit? Ia ingat dulu seberapa luasnya tanah yang sudah menjadi apartemen megah itu. Sebuah tempat tinggal bagi para borjuis yang bermandikan uang.


Sore itu angin bertiup pelan. Angga ingat bagaimana serunya dulu ketika di waktu yang sama ini, ia bersama yang lainnya bermain bola. Bahkan teriakan gol dan jeritan anak-anak kecil lainnya masih terdengar begitu jernih, seakan-akan Angga menyaksikan mereka tengah bermain sekarang.


Sudah berapa lamakah para anak kecil itu terakhir kali bermain di sini? Ah ya, ketika Angga masih kecil. Umur berapakah ia? 10 tahun? 11 tahun? Kini Angga sudah bukan anak kecil lagi. Ia sudah menggenggam gelar strata satu di belakang namanya. Bertahun-tahun merantau, sekembalinya ia, didapatinya lapangan hijaunya dulu telah berganti menjadi gedung tinggi.


Miris bukan? Tanah hijau yang setiap hujannya selalu becek ketika hujan itu tergantikan oleh halaman luas bersemen. Dulu tak ada pohon, kini terdapat petak-petak kecil yang ditumbuhi pohon berukuran sedang. Angga bahkan ingat dulu mereka tak peduli seberapa panasnya cuaca. Mereka tetap berlari mencetak angka dengan sandal sebagai gawangnya. Dulu tak hanya mereka saja yang bermain bola, terkadang anak-anak lain juga membawa layang-layang mereka dan menerbangkannya di lapangan yang sangat luas itu. Ah, pemandangan yang sangat indah bukan? Bukankah dunia seharusnya terlihat seperti itu?


Si pencakar langit sepertinya telah merebut tawa riang anak-anak kecil yang dulunya sering bermain di lapangan ini. Bahkan pemandangan hijau gunung Merapi yang setiap paginya bisa mereka lihat telah ditutupi oleh cerahnya warna si pencakar langit.


Angga menutup matanya. Setahunya, mereka sama sekali tak pernah menggangu orang-orang itu. Mereka hanya main bola. Mereka hanya bersenang-senang. Mungkin dirinya yang dulu tak tahu apa-apa soal akta. Suara tawa yang terdengar seperti alunan musik bersama dengan hembusan angin kala sore telah tergantikan oleh suara kendaraan mewah yang berlalu-lalang dari sana.


Angga menyadarinya. Dunia ini penuh dengan orang-orang yang haus akan hasrat. Hasrat untuk mencapai kepentingan-kepentingan mereka dan tak peduli dengan yang lainnya. Mereka tak peduli dengan yang lain selama keinginan mereka tercapai.


Si pencakar langit sama sekali tak salah. Ia hanyalah sebuah pion. Sama halnya sebuah catur, raja mengatur pionnya untuk meraih kemenangan. Si pencakar langit tak punya pilihan lain selain mengikuti kemauan sang raja. Ia hanya bisa seperti itu. Ia bahkan tak tahu jika ia baru saja menghapus tawa riang-riang anak-anak yang selalu digembar-gemborkan sebagai tunas bangsa. Karena ia tidak tahu apa-apa.


Angga membuka matanya. Ia menghela napas. Ya benar, pikirnya. Si pencakar langit tak tahu apa-apa. Ia hanya bisa berdiri megah seperti itu. Dikendalikan oleh sang raja dan diam menjadi saksi bisu.

Inspired by Silampukau – Bola Raya


Love & Peace

kjungxy.

Si Pencakar LangitTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang