Seoul dengan segala gemerlap kehidupan masyarakatnya, surga bagi para pencinta musik dan fahsion. Kota yang tidak pernah tidur, selalu sibuk bahkan tak jarang terlampau sibuk, tapi tidak pada malam itu. Tepat di malam tahun baru, Seoul bagai kota mati tak berpenghuni--hal yang mustahil terjadi bahkan di desa kecil nan terpencil sekalipun. Sangat sepi dan mencekam.
Waktu itu, hujan turun dengan sangat deras ketika seorang pria bertubuh tinggi, berpakaian serba hitam, keluar dengan langkah tergesa-gesa meninggalkan sebuah appartment dan langsung menghilang di balik gelapnya malam.
Tak berapa lama kemudian, dari dalam appartment itu terdengar sebuah jeritan yang amat memilukan. Gemanya terdengar hingga beberapa jauh jaraknya. Hanya sekali, lalu tertelan oleh gemuruh halilintar yang menggelegar di angkasa. Hujan turun semakin deras.
"Appa...!" seorang anak laki-laki--usianya sekitar 7 tahun dan mengenakan piama tidur--berjalan tertatih mendapati tubuh ayahnya yang telah terbujur kaku. Ia mengguncang-guncangkan jasad pria itu sambil terus memanggil-manggil namanya. "Oemma...." tidak jauh dari jasad sang ayah, tergeletak sesosok jasad lain yang sangat ia kenali. Suaranya terdengar lirih memanggil nama kedua orang yang amat disayanginya itu. Ia memeluk jazad keduanya dengan sangat erat. Mereka menjadi korban kebiadaban seorang pembunuh berdarah dingin.
Bermandikan lumuran darah segar di sekujur piama tidur yang dikenakkannya, anak laki-laki itu tak henti meratapi kemalangan nasibnya.
"Appa! Oemma!" Ia terus berteriak, tapi teriakan nyaringnya itu ternyata tidak cukup kencang untuk mengalahkan suara gemuruh halilintar yang terus menderu di luar tempat tinggalnya. Air mata mengucur deras, membangkitkan kali-kali mati di kedua pipinya.
* * *
"Selamat tahun baru, Dongie-ya!" Sebuah pelukkan memaksa tubuh mungil Dongie--begitu dia biasa disapa--bocah berusia 8 tahun itu ketika sebuah video dimainkan oleh pengasuhnya, nyonya Gong.
Video berdurasi singkat itu menjadi satu-satunya peninggalan sekaligus kenangan orang tua Dongie yang meninggal dunia dalam sebuah kecelakaan lalu lintas, 3 tahun silam.
Dongie yang turut menjadi korban harus rela kehilangan salah satu fungsi dari anggota tubuhnya yang paling berharga. Ia tidak dapat berjalan. Sama sekali tidak dapat menggunakan kedua kakinya untuk berpijak. Dongie kecil tumbuh tanpa memiliki seorang temanpun. Hanya si tua nyonya Gong lah yang selalu setia bermain dan menemaninya.
Malam itu, usai menyaksikan pemutaran video oleh nyonya Gong, Dongie sepakat untuk lekas tidur. Ia menatap penuh pada nyonya Gong, saat wanita yang usianya sudah lebih dari setengah abad itu memakaikan selimut kepadanya. Tidak lupa sebuah kecupan manis turut ia sematkan pada kening Dongie sebelum dirinya meninggalkan kamar tidur tuan mudanya. Kebiasaan yang sudah menjadi sebuah keharusan.
"Jaljayo Mrs. Gong!" Ujar Dongie yang dibalas dengan seulas senyuman manis khas nyonya Gong. Wajahnya yang telah keriput rupanya tidak sampai menghilangkan kecantikkan semasa mudanya.
"Selamat malam, Dongie-ya. Saranghae!" Katanya lalu perlahan menghilang di balik pintu. Dongie lalu memejamkan matanya. Sembari memeluk Fro, boneka ikan badutnya, Dongie terlelap dalam mimpi indah.
Tepat tengah malam, sekitar pukul 12 lebih 34 menit. Ketika hujan sudah mulai reda--hanya sesekali terdengar rintikkannya jatuh menghantam atap--Dongie kecil terjaga dari tidurnya oleh suara gaduh yang samar terdengar. Suara gaduh itu berasal dari luar kamar tidurnya.
"Mrs. Gong?" Tebak Dongie. Raut wajah ketakutan sedikit tersirat di wajahnya. "Mrs. Gong. Apa itu kau?" Tanya nya lagi. Kali ini intonasi suaranya sedikit dibuat tinggi. Namun sama sekali tidak ada jawaban.
KAMU SEDANG MEMBACA
Scream Seoul...
FanfictionDalam jiwamu aku bersembunyi. Di sudut tergelap dalam hatimu aku menunggu saatku dibangkitkan. Tidak ada seorangpun yang mengetahuimu jauh lebih baik dari yang aku ketahui. Karena aku adalah dirimu yang lain.