Jangan pernah mengenang duka, cukup diingat untuk menjadi motivasi di helaan napas berikutnya. Jangan pernah merasa takut atau sendiri, teruslah melangkah dengan pasti dan jangan berhenti untuk memperbaiki arah. Karena yang hilang pasti terganti, sedang yang sakit pasti terobati.
»»»
"Kau pasti bisa melalui ini dengan baik! Jangan menyerah! Semua akan indah pada waktunya. Kau hanya perlu bersabar, semangat!" Begitulah ucapan dari orang kebanyakan saat ada yang mengeluh tentang kehidupan. Aku tersenyum getir sembari menyesap sebatang rokok yang asapnya mengepul ke atas. Yaa ... ucapan mereka itu ibarat asap yang membumbung di langit lalu lenyap, tidak berarti.
"Bicara memang gampang, tapi melakukannya? Tahu apa mereka tentang kehidupan?!" ocehku seraya menatap sudut kota yang gelap dari atas loteng rumah teman. Mata ini tak terhalang oleh apa pun, dengan bebas dapat melihat aktivitas beberapa orang yang sesekali lewat dengan kendaraannya. Entah sejak kapan loteng berukuran sedang ini menjadi tempat favorit. Mungkin, karena ia langsung menghadap ke jalanan atau karena aku dengan mudah melihat bintang-bintang di langit malam. Sendiri, sepi, dan mendamaikan.
Kini, giliran segelas alkohol yang aku tenggak habis. Ucapan ibu terngiang jelas di telinga, melayang masuk ke pikiranku.
"Anna! Ini terakhir kalinya aku memenuhi panggilan dari kepala sekolahmu! Ibu malu, apa kau tidak bisa belajar dengan baik?"
"Tidak bisakah kau menjadi anak yang membanggakan untukku? Kau selalu saja membuat repot. Selalu berfoya-foya, tidak berguna!"
Mengingat itu membuatku tak bisa menahan tawa. Kapan kau akan mengerti, Bu? Entah siapa yang harus disalahkan dalam kondisi ini. Tapi aku tidak berniat menyalahkanmu, Ibu. Karena mungkin ini memang bukan kesalahan kita. Percayalah! Aku tidak menyalahkan siapa pun atas apa yang telah terjadi. Tidak dirimu, tidak juga Ayah dan tentu saja bukan Tuhan. Ia sangat baik, rasanya terlalu bodoh jika aku menyalahkan-Nya. Tenang saja, kupastikan kau tidak akan dipanggil oleh pihak sekolah lagi, karena detik ini, telah kuputuskan untuk berhenti. Yaa ... aku berhenti.
»
Jam di tangan baru menunjukkan pukul 8 malam. Langkahku terseok-seok, berpegang pada dinding rumah sekitar tempat tinggalku. Dari kejauhan aku mendapati keadaan rumah masih gelap, persis seperti yang kutinggalkan tiga hari lalu. Tepat di depan pagar hitam rumahku, berdiri seorang wanita. Wanita yang tidak asing bagiku.
"Anna!" ucapnya setengah berteriak saat mendapati aku berada di hadapannya.
"Ada apa?" balasku malas.
"Ada yang ingin aku bicarakan. Kuharap kau bersedia."
"Apa yang akan kau bicarakan? Kalau itu mengenai sekolah, lebih baik kau kembali. Aku tidak ingin membicarakannya."
"Ini bukan tentang sekolah. Jadi, apakah masih tidak ingin bicara denganku?" Pembawaannya begitu tenang. Aku terdiam sejenak -menimbang- walau akhirnya mengangguk tanda setuju.
»
"Ada apa?" tanyaku setelah kami sudah berada di halaman rumah, kudapati ia sedikit terbatuk-batuk. Aku tersenyum tipis, "Kalau kau tidak kuat dengan asap rokok dariku, lebih baik kau kembali." Dia menggeleng cepat.
"Aku sudah jauh-jauh kemari, aku tidak akan pulang hanya karena asap." Kembali aku tersenyum, kulihat matanya memandang lurus ke depan. Aku tidak mengenal wanita ini, tapi aku tau dia siapa. Namanya Zaara. Sebelum ini, aku tidak pernah bicara dengannya. Ini kali pertama aku ngobrol dengan Zaara, walau kami sekelas. Dia terkenal sebagai orang baik, selalu menebar senyum dan keceriaan adalah ciri khasnya.
"Anna, apa kau bahagia?" tuturnya memecah keheningan yang terjadi cukup lama di antara kami. Aku terdiam, berusaha mencerna yang dia sampaikan. Karena tidak segera mendapat jawaban, kembali ia bersua.
"Bolos sekolah, merokok, meminum minuman keras, pulang larut malam, hura-hura. Apa kau bahagia dengan pilihanmu yang seperti itu?" Aku tersentak, seketika wajahku bersemu merah.
"Lancang! Memangnya kau siapa? Ibuku? Ayahku? Bahkan kau bukan temanku! Berani sekali berbicara seperti itu!?" Bibirnya terkembang, mengulum senyum.
"Hey, kenapa marah? Aku hanya bertanya. Tapi jika dilihat dari reaksimu, sepertinya kau tidak bahagia," jawab Zaara yang semakin membuat jengkel.
"Pergi kau!" usirku tanpa embel-embel, tapi tubuhnya tak bergeming, ia malah berbicara kembali.
"Kalau tidak bahagia, lantas mengapa masih dipertahankan?"
"Bicara apa kau? Kubilang pergi!" usirku lagi, tapi kembali ia berbicara. Zaara sangat cerewet dan sok tahu, menyebalkan! Aku bangkit, hendak meninggalkannya tapi terhenti kala ia bersuara kembali.
"Kenapa harus berhenti jika dirimu masih sanggup berjalan? Tidak inginkah berkompetisi dengan kehidupan? Kau tahu, Anna? yang menyakitkan dari sebuah perjalanan bukanlah soal menang atau kalah, sukses atau gagal, bahagia atau sedih, manis atau pahit, berlian atau sampah. Tapi yang menyakitkan adalah di saat kita hanya menjadi penonton atas kemajuan dan keberhasilan orang-orang. Duduk diam tanpa melakukan apa-apa. Karena nyatanya, menyerah tak semenyenangkan itu! Percayalah!" ucapnya membuatku termangu.
"Jika saja ada yang bisa menghadiahkan hidup yang abadi, maka aku tak akan menolak. Sekali pun memintanya kepada Tuhan, itu tidak akan mungkin. Kau tau apa yang akan aku lakukan dengan kehidupan abadi? Hanya satu. Yaa ... hanya satu, yaitu berbuat, berbuat, dan terus berbuat. Tak sekalipun kubiarkan diri ini terdiam walau hanya sedetik," sambungnya lagi, kembali aku menatap wajah Zaara yang masih memandang lurus kedepan dengan sorot mata tajam.
"Aku tau hatimu tak menginginkan itu, jadi jangan menyerah! Teruslah melangkah!" ucapnya tersenyum sembari menepuk bahuku lembut. Mata ini masih menangkap tubuh Zaara yang menjauh hingga akhirnya lenyap.
"Bodoh! Sejak awal aku sudah memutuskan. Kata-katamu itu tak akan merubah apa pun."
»
Terlahir dari keluarga broken home sangatlah tidak mudah, terlebih dengan adik lelaki di sisiku yang baru berusia 5 tahun. Ibu dan ayah bercerai saat aku duduk di bangku sekolah menengah pertama, tepatnya kelas 2. Semenjak itu, hidup jadi berantakan. Ibu mulai jarang pulang, pernah sekali setelah dia pergi meninggalkan aku bersama Gio -adik lelakiku- yang saat itu baru berumur 3 tahun, dia kembali tanpa diduga dalam kondisi tengah mengandung, memperburuk segalanya. Untuk kesekian kali aku terluka, ini kali kedua ia melakukan kesalahan, yaitu berselingkuh. Aku menyayangkan sikap ibu. Meski begitu aku tetap menyayanginya, bagaimanapun dia adalah ibuku. Hanya saja kecewa yang ditorehkan seolah tak kunjung mengering. Saat ibu mengajak bicara, aku hanya terdiam. Mendengarkan segala penyesalan dan permohonan maafnya. Dalam hati aku berdoa, berharap agar ini tak terulang.
Ibu lebih sering berada di luar daripada di rumah mengurus kami, ia seakan sibuk dengan dunianya. Hatiku meradang tak tenang, takut kalau dia akan melakukan kesalahan yang sama. Setiap kali aku memberikan ibu pengertian, hanya pertengkaran yang timbul, dan semenjak itu kuputuskan untuk tidak mencampuri urusannya lagi. Tanpa kusadari aku tumbuh menjadi seorang wanita yang tidak peduli dengan sekitar, terlebih karena aku sudah tidak mengurus Gio lagi. Karena dia tinggal bersama salah satu kerabat, membuatku semakin bebas.
»
Satu tahun sejak pertemuan itu ....
Zaara adalah sahabat pertamaku. Aku terhenyak merasakan pilu yang amat sangat, saat kudapati informasi mengenai dirinya yang sudah tiada. Ia mengidap kanker pankreas. Aku teramat kehilangan. Tak menyangka jika wanita sebaik dia yang penuh dengan spirit, harus diberikan ujian berat. Terimakasih atas wejanganmu yang sangat berarti, tak'kan kulupa sampai aku bertemu denganmu di surga-Nya, nanti. Tunggu aku Zaara, aku akan datang sebagai manusia yang lebih baik, tentunya.
»
Hari ini aku memulai segalanya dari awal, mencoba merangkai pekat menjadi lengkung pelangi. Aku kembali bersekolah walau harus mengulang. Kulalui hari dengan baik, setelah sekian lama membiarkan diri ini terpuruk, bersyukur atas perubahan sikap ibu yang mulai ikut menata kembali hidupnya. Zaara benar, pada kenyataannya, menyerah memang tak semenyenangkan itu!
-End-
KAMU SEDANG MEMBACA
'Pekat'
Teen FictionPada kenyataannya, menyerah memang tak semenyenangkan itu ....