02

522 40 7
                                    






Hal terindah yang selama ini hanya ada dalam anganku saja kini terjadi didepan mataku. Potret pertama yang aku lihat ketika membuka mata adalah sosoknya yang sangat kudamba. Tampan dan menawan sudah mengalir didalam darahnya. Ia sosok yang begitu sempurna, sosok yang didambakan oleh seluruh wanita didunia. Sudah beruntungkah aku Tuhan?

"Pagi sayang" ia perlahan membuka matanya "berhenti memandangiku" lalu ia menarik selimut yang ada didadanya sehingga menutupi mukanya.

Kelakuannya mengundang gelak tawaku untuk muncul. Apakah ia memang pria yang sudah memasuki umur kepala empat?

"Apa yang kau tertawakan?" ia masih saja menyembunyikan wajahnya didalam selimut "berhentilah tertawa Audrey."

Namun aku tak kunjung berhenti tertawa melihat kelakuannya. Apa yang ia malukan?

"Ada apa denganmu Justin? Kenapa kau menutup muka?"

"Kau memandangiku." Ucapnya ketus yang membuat Audrey kebingungan.

"Lalu masalahnya?"

"Kau bisa melihat kalau aku sudah mulai keriput." Jawaban Justin berhasil membuat Audrey tertawa terpingkal-pingkal dibuatnya. Bagaimana bisa ia berpikiran seperti itu.

"Sudahku bilang berhenti tertawa!" Justin mengeram dibalik selimut sambil menggerak-gerakan badannya seolah lagi memasang pertahanannya.

"Astaga Justin aku baru sadar kalau aku menikah dengan pria tua, bagaimana ini?" godaku yang berhasil membuat Justin melempar selimutnya yang tadi sempat menutupi wajahnya.

"Sudah kuduga! Aku tidak cukup tampan lagi. Sial! Dylan berengsek itu pasti akan merebutmu lagi!" Justin meracau yang tidak jelas dan aku terkejut ketika ia menyebutkan nama Dylan, lelaki yang pernah mencintaiku dan yang sempat memberikan kehidupannya untukku dan Sky ketika aku dan Justin tidak lagi bersama.

"Justin! Apa kau gila? Dylan tidak pernah merebutku darimu" aku mencoba memperingati Justin " dan satu lagi dia bukan lelaki berengsek."

"Terus saja membelanya." Dengan perkataan itu Justin berjalan kekamar mandi dan membanting pintunya. Apa ia dalam masa period? Kenapa sensitive sekali.

***

Justin baru saja turun kedapur ketika sarapan telah terhidangkan diatas meja makan, baru saja ia ingin meminta maaf atas sikapnya kepada Audrey, ia malah melihat laki-laki terakhir yang ingin dilihatnya didunia –Dylan- dan mengurungkan niatnya untuk meminta maaf.

"Hai Justin." Dylan terlihat ingin membangun hubungan yang baik dengan mulai menyapa Justin namun Justin hanya memasang tampang datarnya tanpa memperdulikan sapaannya. Audrey yang melihat pancaran perang dimata Justin hanya bisa menggeleng-gelengkan kepala.

"Morning mom, dad" sapa Sky ketika ia barus saja sampai dimeja makan dan mencium kedua orang tuanya, dan ketika ekor matanya menangkap sosok lain ditengah-tengah mereka ia langsung menolehkan kepalanya dan terkejut.

"OH MY GOD! DADDY!" Sky langsung meloncat kegirangan dan langsung melesat tanpa memperdulikan kalau ia seorang wanita hamil "I MISS YOU!" ia langsung menerjang tubuh Dylan itu dengan pelukannya.

"easy girl, kau sedang hamil." Dylan langsung berdiri dan menenangkan Sky yang terus meloncat-loncat "Sky berhenti meloncat, nanti anakmu geger otak." canda Dylan yang terkekeh melihat Sky masih saja sama seperti gadis kecilnya dulu.

"daddy dari mana saja? Kenapa tidak menemuiku lagi? Apa kau sudah menemukan wanita baru dihidupmu? Oh cmon daddy kau milikku seorang, tidak ada wanita lain didalam hidupmu." Sky merengek seolah gadis kecil yang tidak dibolehkan membeli mainan baru sambil menarik-narik baju Dylan.

"Hahaha Sky tenanglah, kau satu-satunya gadisku didunia ini." Dylan berucap sambil mengedipkan matanya membuat Sky berteriak dan tersipu malu.

Justin yang melihat kejadian didepan matanya benar-benar muak dan ingin rasanya ia langsung mengusir lelaki yang sedang memegang putrinya itu. Audrey yang menyadari Justin memancarkan aura perang yang lebih besar lagi langsung mengambil alih situasi pagi ini.

"Baiklah bagaimana kalau kita sarapan dulu? Aku sudah dapat mendengar cacing-cacing diperut kalian sudah mulai berdemo." Canda Audrey untuk mencairkan suasana.

Bersamaan dengan itu pula Nathan, Claire dan Kevin ikut bergabung untuk sarapan. Suasana berlangsung hangat dengan penuh canda tawa dari masing-masing anggota keluarga. Semuanya –kecuali Justin- sangat bersemangat menanyai kehidupan Dylan dan Audrey dulu ketika mereka tinggal satu atap.

"Daddy kau ingat ketika aku berumur 7 tahun ada seorang anak laki-laki memberiku permen dan kau bertingkah seperti orang gila karna mengira anak lelaki itu akan mengambil hatiku dan kau mengira kalau aku tidak akan menyayangimu lagi?" Tanya Sky kepada Dylan namun pertanyaan itu sangat mengusik Justin.

"Oh my god Sky kau masih mengingatnya. Bagaimana aku tidak gila kalau gadisku akan diambil lelaki lain, tidak akan segampang itu." Dylan berkata dengan berapi-api seolah kejadian itu baru saja dialaminya.

"Tapi sekarang ada Kevin dad" goda Sky terhadap Dylan. Dylan langsung menatap dengan tatapan permusuhan terhadap Kevin.

"Dan kau young man, karna kau telah mengambilnya dariku awas saja kau melukainya." Dylan mengatakan dengan penuh tatapan peperangan membuat Audrey terkekeh.

"Tidak akan sir" jawan Kevin tegas.

Justin yang tidak tahan melihat interaksi Sky dengan Dylan memutuskan untuk pergi dari meja makan sebelum ia yakin dapat membalikkan meja makan itu dan membuat situasi menjadi kacau. Ia terus saja melangkahkan kakinya keperpustakaan kecil yang juga merangkap sebagai ruangan kerjanya.

Justin menghempaskan tubuhnya diatas sofanya sambil memejamkan mata dan menetralkan kembali emosinya. Kalau ia dapat berkata jujur ia sangat membenci mendengar Sky memanggil kata daddy ke lelaki lain karna itu membuat Justin selalu berpikir kalau Audrey dan Dylan pernah hidup bersama.

Tak hanya memikirkan Audrey namun juga Sky yang sepertinya sangat mengagumi Dylan. Tapi Justin tau ia tidak bisa menyalahkan Sky ataupun Dylan karna bagaimanapun sosok ayah yang Sky tau ialah Dylan dan lelaki itu yang melihat pertumbuhan putrinya bukan dirinya.

Pemikiran itu sangat mengusik hati dan pikiran Justin, seolah ada rasa penyesalan dan bersalah yang terus menggrogoti hatinya perlahan-lahan.

'Atau perasaan itu hanya perasaan egois seorang laki-laki yang tidak ingin dikalahkan oleh lelaki lain?' Pikir Justin. Seolah Justin tidak ingin harga dirinya dikalahkan oleh Dylan begitu saja.

Justin kembali berpikir jikalau Dylan tetap berada didekat mereka maka ia akan menjadi penghalang besar untuk rencananya. Apa ia harus memusnahkan Dylan seperti yang bisa ia lakukan kepada orang-orang yang menjadi penghalang bisnisnya selama ini?

=TBC=
Comment+vote😙

PaybackTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang