Radit dengan seragam PDH duduk di depan kantor Pasi Pers menatap foto gadis bermata violet dalam layar handphone, ibu jarinya mengusap berkali - kali, bergumam lirih, "Kemanakah kamu menghilang bunga gunungku?"
Lalu termenung mengingat masa itu, masa dimana dia baru mengenal arti rasa sayang yang sesungguhnya.
"Inge, nanti aku tunggu di terminal Tidar tempat biasa mangkalnya engkel jurusan Kopeng, jangan telat ya kita jam sebelas berangkat." Radit kembali memakai helm siap melaju menuju sekolahnya setelah mengantar Inge, gadis pujaan hati yang sudah setahun dipacari.
"Kayaknya hari ini aku nggak ikut naik rasanya lelah dari kemarin sibuk latihan pramuka, mungkin minggu depan Inge bisa ikut." Inge tersenyum, siap melangkah masuk gerbang.
"Ya sudah, nanti kubawakan edelweis saja buatmu." Radit menstarter tiger merahnya.
"Hati – hati Mas Radit," teriak Inge, Radit sudah melajukan motornya beberapa meter, hanya dibalas lambaian tangan.
Mayang Ineke, nama aslinya tapi saat lidah masa kecilnya tidak fasih mengucapkan Ine, yang keluar dari mulutnya kata Inge, panggilan itu melekat sampai dewasa. Inge, gadis ayu berambut panjang hitam legam berhidung mancung pemilik warna mata dan wajah yang istimewa karena berbeda dengan kebanyakan orang Indonesia. Bukan coklat seperti warna mata orang Indonesia, tapi warna hitam pekat, saat benar – benar diperhatikan pekatnya bukan karena hitam tapi semburat warna violet, wajah Indonesianya juga samar – samar ada campuran hampir mirip orang Timur Tengah.
Hal yang selalu menimbulkan teka – teki di hati bukankah kedua orang tuanya asli Indonesia? tapi selalu di jawab simpel oleh Inge jika hal itu ditanyakannya 'mungkin karena pas hamil sampai melahirkan Mama ada di Mesir jadi mirip – mirip orang sana' padahal apa hubungan dari semua itu. Walau jawaban itu tidak sepenuhnya memenuhi rasa penasarannya tapi tidak masalah buat Radit, yang dia tahu hanya rasa suka dan terpesona saat menatapnya dan tak ingin segera perpaling.
Pertemuan pertama Radit dengan Inge adalah 17 Agustus dua tahun yang lalu saat naik puncak Merbabu, merayakan tujuh belasan di gunung yang memiliki tujuh puncak itu. Dengan dua puncak tertinggi, tertinggi pertama adalah puncak Trianggulasi 3142 meter di atas permukaan laut, puncak tertinggi kedua adalah puncak Syarif atau Pregodalem dengan ketinggian 3119 meter diatas permukaan laut, gunung paling indah di pulau Jawa orang bilang Rinjaninya Jawa.
Sedikit berlebihan memang, tapi itulah ungkapan gambaran keindahan gunung Merbabu walau sebenarnya sangat berbeda dengan keindahan asli gunung terindah di Indonesia itu, gunung Rinjani di Lombok Nusa Tenggara Barat. Itu kalimat yang sering terucap begitu saja dari para pendaki pencinta alam menggambarkan betapa indahnya saat kita menyusuri jalan menuju puncak dan saat berada di atas puncaknya.
Saat itu Inge pemula tapi semangat dan kekuatannya untuk bisa naik sampai puncak sangat kuat. Radit yang saat itu tidak begitu memperhatikannya tergerak beranjak karena mendengar Hafiz ketua kelompoknya marah di luar basecamp.
"Kamu terlihat sangat lemah begitu masih tidak mau menuruti perintahku, siapa yang bertanggung jawab kalau terjadi apa – apa denganmu nanti? pasti aku yang ditanya lebih dulu, sudah kamu berhenti saja disini!" Hafiz menatap tajam, marahnya bukan karena benci tapi hanya karena rasa tanggung jawabnya sebagai ketua, memastikan anggotanya selamat dalam pendakian.
"Mas Hafiz aku mohon, ini pendakian pertama Inge berhenti disini sama saja nyerah dong belum apa – apa sudah k.o duluan, aku pasti kuat gini saja deh, kalau nanti Inge nggak kuat sampai puncak ini jadi pendakian pertama dan terakhir, please ..." Inge sangat memohon menatap Hafiz, dia bukan hanya ketua kelompoknya tapi juga sudah sangat dikenal dekat makanya Inge berani membantah, Hafiz adalah kakak sepupunya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Edelweis Terakhir
Romance"Aku ingin kamu menemaniku malam ini. Seandainya ini jadi malam terakhirku, aku ingin kamu ada bersamaku." Inge menengadah. "Jangan katakan hal itu. Jika ini malam terakhirmu, berarti juga malam terakhir bagiku." Radit menatap dalam. "Tidak, Mas Rad...