Ia diam. Namun sepasang telinganya bersiaga, selalu mendengarkan ucapan yang terlontar dari lawan bicaranya. Secangkir kopi hitam dalam pandangannya mungkin telah mulai dingin. Namun siapa peduli? Ia lebih suka dengan setiap kata yang keluar dari gadis dihadapannya itu daripada sekedar secangkir kopi yang membuatnya candu.
Gadis yang penuh semangat. Klise memang.
"Kenapa kamu berhenti bercerita?" lelaki itu menegakkan kembali punggungnya yang semula bersandar pada sofa kafe yang biasa mereka datangi tiap luang. Alisnya meninggi, seolah memperkuat mimik penekanan kalimatnya.
Wajahnya memang mengintimidasi, namun gadis dihadapannya selalu tersenyum. Tidak sekalipun ia takut dengan wajah yang terkesan sarkastik.
"Aku butuh nafas, Abhra," gadis itu berujar. Ia menekankan pada nama lelaki yang duduk dihadapannya, memandangnya dengan sepasang mata elang yang anehnya mata itu nampak teduh.
Abhra Himawan tersenyum. Ia mengangguk dalam. Kali ini disesapnya kopi yang sejak tadi hanya ia jadikan benda figuran sementara sang gadis bercerita. Seolah kopi yang selalu membuat dia candu hanya sambil lalu. Pemeran utamanya tetap gadis itu.
"Sebenarnya aku capek harus menceritakan ulang novel 'If you Could See me Now'-nya Cecilia Ahern," ia mengeluh.
"Kamu sudah berjanji akan bercerita."
"Tapi kamu yang paksa, Abhra Himawan."
Dan sepasang mata gadis itu menatap sekilas sepasang mata kelabu sendu lelaki itu. Ia mengalihkan pandangan, menatap waitress yang tengah berjongkok merapikan piring pecah ulah anak kecil pemilik kafe. Lalu setelah ia jengah menatap waitress yang tak kunjung menyelesaikan pecahan piring, ia menggumamkan kata, "kamu perlu bicara, sepertinya."
Dada Abhra mengembang, ia menarik udara sekuat-kuatnya, hingga detik ke empat ia melepaskannya. "Aku hanya perlu kamu bercerita," lagi-lagi nadanya mengintimidasi.
"Tapi aku tidak mau bercerita ketika entah otakmu tengah berevolusi di galaksi mana yang aku tidak tahu," tidak pernah mau kalah gadis itu menekan dibeberapa kalimatnya. Nada suaranya tak lagi tenang, ia nampak kesal.
"Aku cuma kesal aja. Seolah aku adalah sebuah bentuk dari kesalahan."
"Semua orang gak ada yang sempurna. Kita disuruh hidup, bukan disuruh sempurna."
"Karena orang yang sudah sempurna macam kamu mana tahu," Abhra lagi-lagi tersenyum skeptis.
Kamu yang tidak tahu.
Namun Lata hanya menelan salivanya. Ia enggan berdebat, membuat suasana akan membebat. Sampai pada akhirnya Lata mengalah. Abhra hanya menginginkan dia untuk bercerita. Bukan sepenuhnya menginginkan dia. Sepihak memang.
Gadis itu berdiri, merapikan vest warna krem nya yang bertengger pada pundaknya, "kamu harus mencoba teh sesekali. Kamu harus meminum ini supaya tenang. Aku yang mentraktir," lebih baik ia meninggalkan Abhra sejenak.
Sementara Abhra mengangguk. Ia selalu suka sikap gadis itu yang dewasa.
"Ini," Lata meletakan secangkir teh di hadapan Abhra setelah lima menit ia meninggalkannya, "Bikin tenang."
Abhra menyeruput sedikit teh yang dipesankan . Benar. Teh ini beda dengan teh celup yan ada di kantin kantornya, lebih variatif rasanya. Aromanya juga lebih berkarakter, seperti ada campuran rempah-rempahnya. Entahlah ia tidak begitu tahu tentang teh. Dan lagi, ia tidak menyangka kafe kecil di pinggiran kota menjual teh jenis ini.
"Namanya Chai Tea. Tidak ada kafeinnya. Aman. Kamu terlalu banyak kafein, jadi insomnia."
Ia meletakan secangkir teh yang baru ia seruput sedikit, "enak. Tapi lebih enak kopi. Kamu yang sesekali harus minum kafein."
KAMU SEDANG MEMBACA
NTdTK - Introvert
Short StoryDunia hanya tahu tentang betapa sempurnanya Nona Teh. Pada dasar cangkirnya, ia menyembunyikan pahitnya. Ia tidak memamerkan betapa dunia seolah berotasi dengan tidak adilnya. Ia menenangkan, namun beriak di dalam.