Logika, Pikiran, dan Kepastian

11 2 0
                                    

Logika

Alunan santai dan lembut musik jazz yang mengalun di ruangan itu menghipnotis seluruh penghuninya. Hanya senda gurau antar teman, kekasih, dan keluarga yang berkumpul di satu meja sebagai pengisi kesunyian. Tak jarang sapaan ramah dari para pegawai dan barista menjadi selingan. Suasana nyaman yang diciptakan oleh beberapa kursi nyaman di kafe itu seolah menjadi pengusir lelah.

Adapun seorang gadis berambut merah kecoklatan yang sedang sibuk dengan smartphone-nya. Terlihat dirinya bersandar di kursinya dengan posisi yang nyaman sembari jari-jemarinya menari di atas benda kecil persegi panjang tersebut. Sesekali ia seruput minumannya yang ia pesan. Kaos lengan panjangnya yang berwarna hijau itu ia gulung sedikit sehingga tidak mengganggu dirinya.

Ada juga gadis lain yang berhijab merah muda duduk di meja yang sama dengannya, berseberangan darinya. Ia membaca-baca sebuah buku yang agak tebal sembari sesekali memakan cheesecake-nya dengan sebuah garpu kecil. Keheningan menyelimuti mereka berdua. Tidak ada yang mau memecahkan kesunyian hingga sang gadis bertanya, "Adin, kebahagiaan itu apa?"

Merasa namanya terpanggil, gadis berkaos hijau itu menyahutnya dengan kembali bertanya tanpa memalingkan fokusnya kepada sang lawan bicara sedikit pun, "Ada angin apa kamu tanya seperti itu, Nona Diana?"

"Penasaran," jawab lawan bicaranya, Diana.

Adin hanya mendengus cuek, "Kamu itu bodoh."

Sontak, Diana menghentikan aktivitas membacanya sejenak dan menatap Adin. Air mukanya menunjukkan kesan kebingungan, "Maksudnya?"

"Kamu mengajukan pertanyaan retoris," jawab Adin, singkat.

"Retoris? Bagaimana?" tanya Diana lagi.

"Kebahagiaan itu adalah perasaan senang," ujar Adin, "Mudah, 'kan?"

"Bukan itu yang aku maksudkan," sanggah Diana, "Maksudku, bagaimana cara mendapatkan kebahagiaan sejati?"

"Mati."

Diana kembali memasang air muka yang kebingungan, malah makin kentara. Adin menaruh smartphone-nya di atas meja dan menarik napas panjang sebelum menatap Diana kembali. Ia mengambil posisi yang lebih santai dan melipat kedua tangannya di depan dada, "Mati."

Diana terpatung selama beberapa saat sebelum kembali bertanya dengan pelan, "Kenapa ... ?"

"Kalau bisa mendapatkan kebahagiaan sejati di dunia, kenapa ada surga? Kalau semisal memang ada kebahagiaan sejati di dunia, kenapa masih ada orang yang belum menemukannya dan bertanya-tanya? Kenapa masih menjadi hal yang ambigu dan subjektif?" tanya Dian, bertubi-tubi, "Mungkin, maksudmu adalah kebahagiaan yang kamu inginkan. Mendapatkan kekasih tampan, nilai bagus, keluarga bahagia. Konsep kebahagiaan di dunia tidak berlangsung lama dan berkelanjutan walaupun kamu mendapat semua yang kamu inginkan, namun hampir semua orang tetap berharap akan kebahagiaan yang tiada pernah akan berakhir. Kalau mau bahagia terus-menerus, cukup jadi orang baik sampai layak masuk surga, kemudian tinggal tunggu ajalmu."

Nadia terdiam. Terlihat jelas pikirannya sedang memproses kata-kata Dian barusan. Dian tetap mempertahankan kontak mata yang intens dengan sahabatnya itu. Keheningan menyelimuti mereka selama beberapa detik sampai Nadia membuka suaranya lagi, "Agak ... agak masuk akal."

"Memang masuk akal," ujar Dian, ia berdiri mengambil tasnya dan berdiri dari kursinya. "Salah satu contoh kebahagiaan adalah saat temanmu mentraktirmu."

Setelah berkata seperti itu, Dian beranjak pergi, meninggalkan Diana yang lagi-lagi kaget oleh tingkah lakunya. Ia hanya memandangi Dian yang sedang berjalan keluar kafe dengan tampang tak percaya, berharap semua ini hanya candaannya, tetapi Dian tak kunjung berbalik maupun menengok ke belakang.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Feb 10, 2017 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Mix-up! Short Stories CompilationTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang