"Gue absen deh hari ini," ujarku setelah meneguk segelas smoothies dari atas meja.
"Serius? Michael ikut, kok." Aku dapat mendengar suara Dayanti yang penuh dengan nada protes dari seberang sana. "Kan lo belum dapet nomer telepon si penyanyi yang lo bilang 'Fuckable' tempo hari itu?"
Bohong. Aku hanya mengatakan bahwa penyanyi bar itu cantik, tidak sedikitpun menyebutkan bahwa ia fuckable atau apalah yang Dayanti sebutkan barusan. Dayanti pernah menyebutkan bahwa aku bukan penggila wanita dan semacamnya, which is true, aku malah lebih memilih jika aku bisa menikahi kasurku, menghabiskan sisa hidup dengan komputerku yang spesifikasinya super lengkap serta mendengarkan musik dari band kesukaanku setiap hari.
Alright, call me a freak.
"Yang itu skip dulu deh," aku bercanda, menatap langit Sydney yang cerah di bawah sinar matahari dari jendela kamarku. "Gue baru inget kalau ada acara sendiri malem ini."
Tawa Dayanti pecah seketika,"Jomblo banget lo."
Sialan. Sebenarnya aku bisa saja mengingatkan nasib Dayanti yang tidak jauh berbeda denganku, tapi tidak jadi karena aku sayang Dayanti. "Fuck you. Urusin Ashton dulu sana."
"Apaan, sih? Dia bukan siapa-siapa,Luke," jawab Dayanti pelan. Kalau boleh jujur, aku, sebagai sahabat, amat mendukung kedekatan Ashton dan Dayanti. Aku rasa Dayanti perlu tahu batas kekuatan hatinya, dan ia juga harus sadar bahwa menunggu seseorang yang tak akan kembali itu sia-sia. Ah, sudahlah.
Waktu itu, sehabis Dayanti menyelesaikan presentasi dadakannya dengan baik, di malam ketika kami berdua akan berdansa, ketika aku mendoakan semoga ia menemukan lelaki yang ganteng, aku benar-benar melakukannya dengan tulus.
Aku juga berharap supaya ia menemukan lelaki yang baik. Intinya, aku hanya ingin dia bahagia.
"Gue kasih tahu satu hal ya, Ti," aku berdehem, "Lelaki itu enggak selamanya kuat menunggu."
Beberapa saat tak ada jawaban dari Dayanti sebelum akhirnya dia mendengus kesal,"Yang punya hati siapa? Gue enggak butuh intervensi dari lo soal hubungan gue sama Ashton. Lagian, cowok womanless kayak lo ngerti apa sih?"
See? Aku bahkan tidak menyebutkan nama siapa pun.
Aku tertawa keras. "Malah ketawa lagi," ucapnya sinis. "Tapi serius lo enggak mau join? Bakal rame lho, Luke," ajaknya sekali lagi.
"Iya, serius. Lagi enggak mood untuk nunggu Michael sober enough to go home," jawabku setengah berbohong. Karena sebenarnya Michael bukan seorang alcoholic dan Dayanti tahu itu.
"Big lie." Aku terkekeh. "Yaudah deh," Dayanti menyerah pada akhirnya.
"Have fun, ya, babe."
"Will do."
Setelah itu sambungan telepon terputus. Hari ini hari Sabtu dimana kami semua libur. Awalnya aku berencana untuk ikut makan-makan bersama teman kerja, cuma baru ingat kalau aku punya rencana lain jadi aku batalkan rencanaku bersama mereka.
Percaya, Dayanti juga tidak akan menikmati malamnya. Dia bukan tipe perempuan yang bisa dengan mudah mengobrol dengan siapa saja. Juga bukan tipe wanita yang mau menghabiskan malamnya sia-sia dengan mabuk belasan gelas vodka.
|||
Sebenarnya, malam ini aku mau menonton konser band favoritku, Green Day di tengah kota Sydney. Dan aku baru ingat bahwa konsernya diselenggarakan hari ini ketika aku melihat posternya di stasiun kereta. Mungkin kalian bisa menilai bahwa aku adalah lelaki yang kaku, dan memang begitu kenyataannya.
KAMU SEDANG MEMBACA
A Night at The Back Row // L.H ✔
Fanfiction"The spotlight is there, but she's with me at the back row." One of Safety Pin spin-off. This one will tell you the story about Luke, a worker who loves to watch band concert.