Satu

865 32 1
                                    

Hujan sangat deras mengguyur seisi bumi terutama di pemakaman saat ini, disaat semua orang yang tulus akan sangat merasa kehilangan Ralph Kadie yang sangat terkenal akan sifat dermawannya yang sangat disukai banyak orang karena pria yang genap berumur enam puluh tahun itu akan langsung turun ke tempat tempat daerah konflik untuk sekedar membagikan seperti makanan dan lain sebagainya kepada mereka yang memiliki wajah kesepian karena di daerah konflik tentu saja akan banyak anak anak serta orang tua yang kehilangan keluarga mereka dan disanalah Ralph berada, bahkan tak sungkan Ralph memasak untuk mereka karena dia memang pandai memasak dan terpaksa kepala koki di rumahnya yang besar itu memberikan private untuk tuanya yang masih bersekolah pada tingkat pertama itu mengajarkan memasak bacon yang lebih sederhana sebagai awal pelajaran memasaknya, dan sampai dia wafat tak hentinya dia menyalurkan bakatnya yang sudah setara seperti koki di restoran berbintang untuk memasak makanan untuk keluarganya meski mereka banyak memiliki koki. Tidak seperti orang kaya lainnya yang senang menyuruh memasak untuk mengisi perut di saat para pelayan mereka beristirahat, Ralph lebih memilih membiasakan dirinya dan keluarganya untuk menjaga sikap kepada para pelayan yang sebenarnya juga harus diberi rasa hormat untuk membuat makanan mereka sendiri jika semua orang di rumahnya yang megah ini sedang beristirahat.

"Aku iri sekali karena daddy bertemu kembali dengan granpa, grandma dan mommy disana." Jillian menitikan sedikit airmata karena kehilangan dan berahir sebatang kara di dunia ini meski paman dan bibinya tentu saja akan memasang wajah malaikat dengan berpura pura menenangkannya seperti layaknya orang baik seperti sekarang.

"Layce sebaiknya kita pulang." Jillian memanggil sahabatnya yang sedari tadi berdiri memayunginya dari belakang.

"Paman dan bibi pulanglah, jangan mengganggu ayahku lagi." Jillian mengenakan kaca hitamnya kembali sambil mengusap usap hidungnya yang memerah karena menangis semalaman meninggalkan paman dan bibinya dengan muka masam di hadapan semua orang orang.

Sementara di dalam mobil Jillian menjejakan tangan dan keningnya di kaca mobil yang di hiasi air hujan yang merambat turun kebawah secara bergantian.

Tak sanggup menahan sesak di dadanya, wanita yang memiliki rambut berwarna madu tersebut menangis terseduh seduh mengingat kembali masa masa bahagianya saat keluarganya masih lengkap yang Jika merasakan kesulitan akan sesuatu masih dapat berlindung kepada ayahnya setelah kematian ibunya, namun sekarang Jillian harus mengemban masalahnya sendirian dan itu sangat tidak masuk akal saat semuanya sedang berjalan sebagaimana mestinya, dan Layce yang turut berduka ikut menangis tak tahan melihat kepedihan nonanya yang turut ia rasakan dengan tulus sambil menangis d pundak punggung nonanya pelan, begitu juga dengan sopir didepan yang beberapa kali terdengar menarik ingusnya beberapa kali karena tentu saja kalau Tony lebih merasa kehilangan semenjak tuannya di dalam tanah merah tersebut.

*

"Apa tidak ada cara lain sir untuk memenjarakan mafia tersebut?" tanya Jonathan terlihat gemas melihat atasannya yang terlihat lelah memikirkan sesuatu.

"Kita melaporkan atasanmu ke bagian pelanggaran kode etik bila perlu!" Jonathan menggebrak gebrak meja atasannya tersebut supaya sadar akan kematian teman temannya yang rela mengorbankan nyawa mereka demi menangkap para srigala srigala pemakan daging tersebut, namun pengorbanan mereka berahir sia sia karena salah satu petinggi kepolisian menjalin kekerabatan cukup kuat dengan ketua mafia tersebut yang memiliki jaringan dimana mana.

"Itu terasa sulit karena di setiap instansi kepolisian memiliki kunci takdir mereka sendiri sendiri, sedangkan kita hanya akan diberi makanan basi oleh mereka yang memiliki wajah seperti burung gagak itu!" yah sebenarnya itu sudah menjadi rahasia umum jika mereka bekerja sama di pasar gelap bersama para penjahat penjahat yang akan mengisi kantung mereka, namun kematian sahabat sahabat mereka yang berahir sia sia padahal mereka mengorbankan segalanya meninggalkan orangtua, anak, istri mereka membuat Jonathan merasa berang dan ingin rasanya menghancurkan seisi rungan berwarna cream tersebut.

Jonathan ColinsTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang