Saat kau hanya dihadapkan dengan kanvas kosong. Menanggung hidupmu dalam kanvas kosong. Tapi memang kosong, seperti otakmu.
Kau berpikir tentang kecantikan Proserpine, putri Demeter. Atau mungkin kecantikan Aprodhite yang tak dapat digambarkan.
Mungkinkah kau mengisi kekosongan dengan mereka?
Atau kau membutuhkan sedikit rasa dan sensasi berbeda?
..
Seperti saat-saat dulu yang terasa begitu kusam. Hitam dan putih. Masa laluku terbelenggu dalam hujan. Bukan hujan deras dengan halilintar, aku membencinya. Ayahku menjadi korban dilautan saat hujan datang dengan halilintar. Aku membencinya.Aku suka hujan. Hujan ringan, serintik demi rintik. Dinginnya tak membekukan, petirnya yang membuatku berkedip berulang, anginnya tak menusuk rusuk. Hanya nada-nada ringan rintik hujan membentur atap dan jalanan.
Aku suka itu.
Seperti aku menyukai dirinya, yang duduk di kursi pojok sana. Nomor 13. Nomor yang awalnya kuanggap angka sial, yang ternyata jadi sebuah keberuntungan tak terduga.
Di bangku itu sosok mempesona itu menghabiskan waktunya disini. Hampir 4 jam dia disini, dengan laptop yang menyala terus menerus dan Frappe serta cake setengah habis yang dia pesan sudah untuk kedua kali. Kabel charger laptopnya membentang di bawah meja, sampai ke stopkontak yang hanya 1 meter dari tempatnya duduk.
Aku dapat melihat apa yang dia buka. Microsoft word, Lembar kerja putih polos dengan garis lurus yang berkedip-kedip sejak tadi. White paper syndrom. Dia mati gaya di depan lembar kerja itu. Sekali dua kali aku melihatnya menulis sebaris kata, atau hanya dua-tiga patah kata. Terdiam sejenak lalu menghapusnya. Kembali menatap jalanan luar.
Mungkin dia penulis. Sedang ingin menulis. Lalu keluar sejenak untuk... yaah mencari inspirasi. Menemukan cafe mungil milikku yang tak pesohor ini. Mampir untuk menulis sejenak dan mengisi perut. Tapi malah makanan lebih banyak diserapnya ketimbang lembar kosong yang berkedip-kedip diisinya.
Aku dapat mendengar jam berdetik keras. Satu-dua,Kembali terus berputar sampai enampuluh lalu berulang. Dia terus berputar sampai sosok itu berdiri. Penuh membawa laptopnya dalam tas. Meninggalkan cangkir frappe yang entah apa masih berisi dan juga separuh cake stroberi dan pisau roti juga garpu di meja.
Dia datang menyambangiku di kasir. "Berapa banyak yang harus kubayar untuk 2 cangkir frape, 1 tiramisu dan 1 cake stroberi juga 4 jam kuhabiskan disini?" Tanya sosok itu sambil membuka dompetnya. "22.000 won. Anda tak perlu membayar 4 jam yang Anda habiskan disini. Sepanjang Anda puas dengan layanan kami, kami tak pernah keberatan," aku tersenyum simpul.
"Baiklah, kembali 3.000 won, simpan saja. Untukmu, bukan untuk toko ini. Terima kasih telah memandangiku 4 jam ini, kau memberiku inspirasi. Kau cantik, aku benar-benar berterima kasih. Namaku Bae jinyong. Kapan-kapan aku kembali kemari!"
Dan dia pun berlalu. Berbalik menghadap rembesan cahaya matahari dari mozaik kaca cafeku lalu berjalan perlahan. Terlihat berat langkahnya, tapi aku tak diizinkan berharap. Dia mulai samar menjauh, lalu hilang berbelok ke kanan.
Mungkin ingin kembali ke rumah atau mampir membeli sesuatu.
Aku kesudut sana. 13.
Kupandangi meja itu, menggambarkan keagungan dirimu yang duduk disini tertimpa biasan cahaya mentari. Membuat seolah dirimu makhkuk spesial yang tak ada dua.
Sesuatu tertindih dibawah piring kecil tipis tempat cake stroberi itu ditaruh. Kartu nama. Namamu, nomor ponsel serta alamat tinggal mu ya .
"Park hana. Datanglah ke rumahku, jika kau menyukaiku "