Prolog

16 1 3
                                    

Bip
Bip
Bip

Riza mengangkat panggilan dari Heri, sembari keluar dari kereta yang telah membawanya ke tujuan pondok cina untuk bertemu dengan kakak tingkat di kampusnya.

“Lo udah sampe dimana sih, Za?”

“Sabar dulu dong, gue lagi antri ini lagi mau keluar. Lo dimananya, Bang?”

“Gue di kafe pas banget di sebelah kiri gang pocin-nya.”

“Tadi katanya otw jemput gue, gimana sih lo!”

“Tiba-tiba gue mager, hehehe.”

Riza mengembuskan napas lelahnya, setelah keluar dari area stasiun pondok cina dan berjalan di trotoar dalam diam. Ia memasukan kembali ponselnya ke dalam saku celana dan fokus pada jalan di depannya, karena tempat-tempat seperti ini sangat rawan pencopet apalagi ini sudah cukup malam.

“Hujan lagi,” gerutunya kesal, ia berhenti sejenak di warung untuk membuka payung pink mudanya. “Hoam, ngantuk banget anjir!”

Riza mengambil langkah belok ke sebelah kiri, sesuai petunjuk yang diarahkan Heri. Suara berisiknya kendaraan masih sangat terdengar, apalagi hari ini adalah hari senin—hari yang sangat sibuk dan kondisi kereta yang sangat sesak saat jam pulang bekerja.

Tap
Tap
Tap

Langkah suara kaki lain, membuat Riza menegakan kepalanya yang sejak tadi menunduk. Seorang gadis berhijab hitam yang sejak tadi melangkah di depannya, kedua kakinya melangkah pelan dengan kepala yang tidak melihat ke sebelah kanan atau kiri. Riza memperhatikan sekitar, di depan kafe ini bukan jalan yang tepat untuk menyebrangi jalanan, apalagi kendaraan yang melaju begitu cepat tanpa henti.

Reflek rasa mengantuknya hilang dengan sempurna dan payung pinknya ia lepaskan begitu saja, kedua matanya terbelalak kaget sambil berlari secepat mungkin. Tangan kanan Riza dengan cepat bertindak menarik cardigan bagian tangan gadis itu yang tertutup dan bernapas lega dalam kepanikannya.

“Aduh, Mba yang bener aja kalau mau nyebrang jalan! Astagfirullah, kalau mau sebrang liat tempatnya dulu Mba. Jangan sembarangan kayak gini, tadi truk dari sebelah kanan hampir mau tabrak Mba.”

“....”

Gadis itu sama terkejutnya, napasnya memburu dan malah meninggalkan Riza yang sudah menolongnya begitu saja tanpa ucapan terima kasih atau semacamnya. Riza yang diperlakukan seperti itu, hanya memijat keningnya sambil mengawasi gadis yang kini sudah masuk ke dalam taksi. Setelah memastikan dari jauh bahwa gadis itu sudah aman, Riza masuk ke dalam kafe.

Riza memungut payung pink miliknya yang jatuh di samping trotoar, setelah melipatnya ia masuk ke dalam kafe. Kepalanya jadi pusing, karena rasa terkejutnya tadi.

“Lo kenapa, Za? Tadi siapa?” lontar Heri yang menyambut kedatangan Riza di lantai 1 kafe boy.

Riza menggeleng pelan. “Gue enggak tahu, intinya itu cewek mau nyebrang tapi gak liat kanan-kirinya.”

“Kayaknya dia lagi setres deh, atau bisa jadi tidur sambil jalan gitu?” balas Heri menebaknya.

“Gue enggak tahu, syukur itu cewek gak nuduh gue apa-apa.” Riza menengadahkan tangan kanannya. “Mana makalah gue, Bang? Cepetan gue butuh banget sekalian sama file-nya juga.”

Heri mengeluarkan sepuluh lembar isi makalah pesanan Riza sebagai tugas kuliah di semester 2 ini. Ia menyesap gula aren kopi-nya sampai setengah gelas dan mematikan bahan tembakau itu di asbak kotak, lalu menegakan posisi duduknya.

“75 ribu—joki tugas lo sama 25 ribu—ongkos gue dari rumah cuman buat ke sini doang. File udah gue kirim, tapi belum dibaca sama lo,” tukas Heri mengangkat sebelah alisnya.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Mar 31, 2023 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

About YouTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang