Sang Pagi sekali lagi datang, namun rasanya tetap sama. Pernah ia tanya birunya langit, mereka hanya bisa diam membisu. Kalau ditanya apakah Camelia muak, tentu saja. Setiap bangun tidur, dirinya diserang rasa sakit kepala yang dahsyat setelah tahu mimpi indahnya berakhir dan harus menjalani kehidupan nyata. Lalu setelah itu, ia akan dipaksa mandi dan berangkat ke kampus untuk menuntut ilmu dan bertemu dengan orang-orang yang tidak penting sama sekali baginya. Dan, terlepas dari itu semua, Camelia harus mengulangi hal tersebut. Lagi dan lagi setiap hari. Begitu hampa.
"Kamu kenapa, Mel?" tanya Dahlia saat anak satu-satunya tiba di meja makan. Dahlia sedang mengoleskan selai cokelat di atas roti tawar berwarna putih dengan pinggirannya yang berwarna cokelat gelap karena dipanggang. "Kok, badmood, gitu?"
Camelia menghela napas. "Enggak ada apa-apa." Hanya itu yang dikatakannya. Dahlia adalah orang yang sibuk, ia mungkin lupa kalau wajah Camelia selalu begini setiap pagi.
"Kamu kapan UAS-nya?"
Camelia meneguk susu putih yang sudah ibunya siapkan sebelum menjawab pertanyaan. "Hari ini," sahutnya enteng.
"SEKARANG?!"
Camelia mengangguk mantap.
Dahlia memejamkan matanya lalu kemudian mengatur napasnya. "Kok, semalem kamu enggak belajar, sih?"
Perlahan-lahan Camelia mulai mengunyah roti di tangannya. Selai cokelat dan roti yang lembut menyatu dalam mulut, memberikan sensasi manis dan gurih yang tidak bisa dijabarkan. Kalau Dahlia bukan seorang manajer di perusahaan, Camelia yakin dia akan menjadi seorang pembuat roti nomor satu di Kota Bogor ini.
"Mama jangan panik, aku yang UAS aja enggak panik," kata Camelia dengan kunyahan yang enggan berhenti.
Dahlia menggelengkan kepalanya sambil berdecak-decak. "IPK kamu semester kemarin berapa, coba?"
Gadis itu masih saja mengunyah sarapannya. Sehelai roti sudah ludes dilahap, kini tinggal helai yang kedua. Mulut Camelia sekarang sudah seperti balon yang hendak meletup, namun Dahlia sepertinya yang akan meletup duluan. "Mama ternyata lupa."
Dahlia kini terdiam. "Ya udah, cepet habisin rotinya terus berangkat kuliah. Baca doa sebelum ngerjain soal, jangan buru-buru kalau jawab pertanyaan," rentetnya. Camelia bercita-cita membuat lagu RAP untuk ibunya kalau saja ia masih menambah kalimatnya lagi.
"Ma," ujar Camelia tersadar sesuatu. "Kenapa mama enggak pernah sarapan, sih?" tanyanya sambil menatap cangkir teh. Dari aromanya saja, Camelia tahu kalau itu bukan teh biasa, melainkan teh herbal yang rasanya pasti pahit. Camelia sebelumnya tidak pernah penasaran, tapi lama-kelamaan itu mengganggunya selama dua bulanan ini.
Dahlia terlonjak. Lehernya terlihat tercekat, menahan udara yang ingin melalui kerongkongannya dengan bebas. "Hmm ... soalnya kalau sarapan pagi, mama suka ngantuk di kantor."
"Kalau gitu, kenapa aku sarapan tiap pagi? Pantesan aja aku sering ngantuk di kelas."
Dahlia mencubit lengan Camelia. "Yeee! Itu mah karena kamu doyan tidur!" Ia kemudian tersenyum lembut. "Mama biasanya sarapan ... jam ... sepuluh, Sayang."
KAMU SEDANG MEMBACA
Kafe Dhuha
General FictionSemenjak orang tuanya bercerai, hidup Camelia Furqon terasa hambar. Namun, badai tidak sampai di situ. Kabar orang tuanya akan menikah dengan orang lain membuatnya kecewa dan marah hingga gadis itu memilih kabur. Ia pergi ke Kota Malang dan tinggal...