"Soewignyo Alessia Sandra!"
Gadis yang merasa namanya itu diteriakkan pun tersentak dari lamunannya. Ia pun dengan gelagapan menatap guru yang menatapnya tajam.
"Paham dengan apa yang ibu jelaskan?"
Sandra membenarkan kacamata bulatnya yang sedikit melorot, "Paham, bu."
"Kalau begitu selesaikan soal didepan."
Mampus, mana gue belum paham lagi materi yang ini; batin Sandra. Tapi bagaimanapun, ia tetap melangkah ke depan kelas.
Ia menggigit-gigit bawah bibirnya sambil mengetuk-ngetukkan spidol yang ada ditangannya. Berharap seketika rumus muncul dikepalanya.
"Cepat, Alessia Sandra!"
Sandra mendecak sebal, terserahlah. Ia menjawab soal dengan asal-asalan, siapa peduli? paling juga dijewer atau apa.
Bu Dika pun mengecek hasil pekerjaan Sandra. Tak lama kemudian ia berdecak menatap kearah Sandra.
"Perhatikan anak-anak!"
Sandra mendengus. Ia pasti menjawab pertanyaannya salah, dan tidak lama lagi akan dihukum.
"Kalau kalian bisa, kalian boleh ngelamun. Tidur sekalian pun nggakpapa kaya si Sandra nih. Jangan kaya si Adlan, ngimpi terus kerjaannya."
Untuk kesekian kalinya, 18 siswa dikelas itu menertawakan Adlaniel O'brien, Siswa paling begajulan satu sekolah.
"Lho, saya ini mengikuti nasehat pak Soekarno bu, bermimpilah setinggi langit."
"Satu-satunya yang setinggi langit dari lo itu badan lo kali, lan." sahut Dani. Wakil ketua kelas mereka. Sekalipun Adlan tidak pernah berkutik setiap teman sekelasnya menertawakannya. Hal itu sedikit membuat Sandra kasihan.
Tapi Adlan pantas mendapatkannya.
------
"Ayo, san!"
"Iya, wait." ujar Sandra sambil menyimpan kacamatanya didalam kotaknya.
"Adlan itu bego banget ga sih, sumpah. Lo liat ga tampangnya dia tadi pas diketawain anak-anak? Kaya orang blo--"
"Menu kantin hari ini apa, bel?" Abel pun mulai nyerocos tentang menu kantin, yang lalu nyambung kemana-mana.
Sandra tidak benar-benar peduli tentang itu. Ia sebenarnya hanya ingin mengalihkan pembicaraan. Entah mengapa, telinganya panas setiap mendengar seseorang menjelek-jelekkan Adlan.
Padahal Sandra sendiri sedang menginjak-injaknya.
Saat sibuk-sibuknya ngerasani rumor yang ada disekolahan, tiba-tiba terdengar suara pukulan dan jeritan. Seketika para siswa mengerubungi sumber suara. Abel, ketua rasan di kelasnya itu tentu tidak mau ketinggalan, yang membuat Sandra terpaksa ikut.
"Siapa lagi yang ngelaporin gue kalo bukan lo, bangsat?!"
Kedua laki-laki itu tak hentinya saling memukul. Lebih tepatnya, salah satu dari mereka. Satunya lagi hanya menghindar. Dan dalam satu sepersekian detik, Sandra mengenali wajah salah satu dari mereka.
Adlan.
Dan karena sedari tadi ia tidak melawan dan hanya menghindar, badan dan wajahnya kini babak belur. Padahal, ia pernah membuat satpam sekolah--yang sedang mencabuli seorang siswi--pingsan dengan sekali hantam.
"San, si Adlan, san!" ujar Abel tak lepas melihat perkelahian Adlan dan laki-laki itu.
Sandra diam saja, ia bingung apa yang harus dilakukan. Jika ia menolong, sama saja seperti menjilat ludahnya sendiri. Tapi kalau tidak ditolong, entah bagaimana keadaan Adlan nanti.
Tunggu, ia peduli apa?
"Bel, gue beli minum dulu ya.", Abel tentu sudah tidak menghiraukannya karena sibuk mengabadikan perkelahian itu.
"Gue nggak pernah ngelaporin lo, Je!"
"Bullshi--"
BYUUUR
Seketika suasana hening. Adlan menurunkan pertahanannya, dan melihat siapa yang berani menyiram Jeremy.
Ia menemukan sesosok gadis yang terengah-engah, sambil membawa sebuah ember sedang yang kosong.
Sandra.
---------
![](https://img.wattpad.com/cover/99606445-288-k57360.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
Missing Memories
Teen Fiction"Kalau begitu, kenapa pergi? Kenapa pergi jika masih sayang?" Lelaki itu tertunduk dalam, menata kata-kata untuk dikeluarkan. "Aku tidak mau jadi pengkhianat, Lan.", Adlan seketika menyambar kedua pundak perempuan itu. "Siapa?! Siapa yang kamu khian...