o n e s h o t

159 41 23
                                    

Suara ketukan meja berasal dari bangku paling sudut di kelas XII-4. Nampak seorang gadis berambut hitam pekat sedang memainkan jarinya di atas meja, sehingga menghasilkan bunyi suara yang hampir mengganggu seisi ruangan. Ekspresinya pun sulit terbaca, melamun entah memikirkan apa. Tatapannya lurus ke depan, namun pikirannya tengah berliar ke mana-mana.

Seorang laki-laki dengan tinggi badan nyaris sama dengan gadis itu, datang menghampirinya.

"Selamat Pagi.." Elfan menyapa. Tentu saja dengan ujung bibirnya yang selalu ditarik ke atas.

Felin hanya melirik Elfan dengan tatapan malas, tidak membalas sapaan anak laki-laki itu sepatah katapun.

"Kau ini kenapa sih?" tanyanya.

Yang bernama Felin itu tetap tidak menggubris perkataan lelaki di sampingnya. Tas ransel yang sebelumnya ada di belakang punggung Felin, kini sudah diletakkan di atas mejanya. Felin mendorong kursinya sedikit ke depan, lalu didaratkan kepalanya yang penuh dengan pikiran itu di atas tas ranselnya. Isi tas yang tidak begitu penuh membuatnya menyesal menempati kepalanya di atas tasnya sendiri. Inisiatif untuk membawa bantal di dalam ranselnya sudah terlintas di otak gadis itu, tapi selalu gagal karena Elfan selalu melarangnya.

"Gara-gara kau aku jadi tidak membawa bantal, cih," cibir Felin tiba-tiba.

Elfan menghela napasnya. "Kalau kau mau cari mati, bawa saja bantal sialanmu itu. Para guru pasti akan membunuhmu."

Kedua kalinya, Felin mencibir kesal. Bibirnya dikerucutkan, membuat Elfan semakin gemas ingin menguncir mulut gadis di sampingnya.

"Hei," Felin menoleh. "Kuperingatkan untuk tidak memanyunkan bibirmu di depan anak lelaki."

Felin mengerutkan dahinya, heran. "Kenapa? Itu hakku, kau selalu seenaknya melarangku. Menyebalkan."

Elfan tetap mengembangkan senyumnya, tentu saja sambil menatap manik kecokelatan mata gadis itu. Anak laki-laki itu tidak menjawab pertanyaan Felin, berharap bahwa gadis itu akan mengerti dengan sendirinya--apa maksud dari ucapannya.

"Aku membeli video games terbaru untukmu," ujar Elfan.

"Mana?"

"Aku akan kembali, tunggu dan jangan tertidur," katanya layak memerintah.

Elfan beranjak dari kursinya, menuju bangkunya. Lalu dia merogoh isi tasnya, mencari barang yang dimaksudnya itu untuk Felin. Tidak perlu menunggu selama satu menit untuk menemukan sosok Elfan di depan gadis itu, karena anak laki-laki itu datang dengan waktu cepat bersamaan dengan sebuah video games di tangannya.

"Untukku, kan?" Tanpa diperintah, Felin menarik video games di tangan Elfan dengan cepat. Elfan yang melihat itu hanya menatap Felin dengan tatapan seperti biasanya.

"ASTAGAA! KAU GILA, HAH?! Video games ini sulit ditemukan! Kau membeli ini dimana? Pasti mahal sekali," komentarnya dengan nada tinggi di awal kalimat--karena terkejutnya.

"Dimana aku menemukannya.. itu tidak penting. Anggap saja ini kado dariku," jawabnya, menggantungkan pertanyaan Felin yang semakin penasaran. Tapi, seorang Felin Pricillia mana mungkin memeperdulikan hal seperti itu? Dimana asal video games itu memang tidak penting, yang terpenting adalah dia mempunyai barang itu sekarang -dengan harga gratis tentunya.

"Aaah, kau sahabat terbaikku, aku mencintaimuu," pekik Felin kegirangan. Ucapannya itu membuat timbul warna kemerahan di pipi Elfan. Anak laki-laki itu berdoa supaya Felin tidak menyaksikan wajahnya yang berwarna mirip seperti kepiting rebus.

Tapi, apakah Felin bersungguh-sungguh dengan ucapannya? Atau ucapan 'aku mencintaimu' hanya sebatas ucapan belaka?

Felin memeluk Elfan yang masih kaku ditempatnya, membuat jantung Elfan berdegup kencang, seperti telah memenangkan lari maraton. Seolah-olah dalam dirinya ada seekor kuda yang berlari dengan kecepatan tinggi.

Midnight Moon | OSTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang