Prelude

54 6 0
                                    


Senyuman manis itu selalu terpatri pada wajah rupawannya, tak pernah sekali pun luput dari pandangan. Apalagi saat waktunya pulang sekolah. Bisa dibilang waktu pulang sekolah adalah waktu yang paling ia tunggu-tunggu dari seluruh rangkaian kegiatan sekolah yang ada.

Bukan karna ia senang, akhirnya waktu kembali bersantai dengan kasur kesayangan telah tiba. Ada alasan lain yang membuat perutnya terasa mulas seperti di penuhi oleh kupu-kupu yang berterbangan saat waktu pulang datang. Karna siapa sangka, waktu pulang sekolah adalah waktu dimana seluruh murid sekolah yang melintasinya akan menyapa bahkan menawarkan tumpangan pulang bersama.

Memang sih, gadis satu ini memang memiliki eksistensi yang tinggi di sekolah. Wajahnya yang rupawan, didukung dengan fisik yang bisa diacungi jempol membuat nama Hazel melonjak tinggi semenjak pertama kali ia masuk sekolah.

Hazel yang dulu hanya berkehidupan sedehana di sekolah mulai berubah, kepolosan dan keluguannya berubah, dan tergantikan dengan kebohongan dan juga ke licikan.

Segala hal yang menyangkut dirinya berubah menjadi serba palsu. Senyum manisnya, caranya berucap, caranya bertingkah dan hampir segala yang ia tunjukan di publik hanyalah bohong belaka.

Jika ia sudah berada di rumah, Hazel, si manis murah senyum yang bertutur kata lembut itu berubah menjadi anak bungsu yang judes dan terkadang membentak sang ibu jika keinginannya tidak tercapai.

Dan disinilah Hazel berada, berjalan menyusuri koridor sekolah setelah bel pulang sekolah berdering. Seluruh perhatian mulai teralihkan padanya, dan itu adalah hal paling menyanangkan. Di sebelah kirinya, Hollly –sahabat Hazel- Nampak berjalan mendampingi gadis tersebut.

Ia memasang senyum semanis mungkin. Dengan lembut ia menolak seluruh tawaran tumpangan pulang bersama. Sama seperti hari-hari sebelumnya.

Namun untuk pertama kalinya, Hazel tidak dapat mempertahankan senyum terbaiknya saat menyadari sebuah mobil sedan berwarna hitam terparkir rapi di pekarangan sekolah. Mobil itu nampak tidak begitu asing di matanya. Dan detik berikutnya ia sadar akan sesuatu.

Tidak biasanya sang ibu datang menjemput. Dengan gaya kasualnya sang ibu turun dari mobil dan menghampiri putri semata wayangnya yang tengah menatap mobil pribadi sang ibu dengan tatapan bingung bercampur sebal.

Jika seperti ini, eksistensinya sebagai seseorang yang mandiri akan hancur jika orang-orang sadar dengan kehadiran sang ibu. Ia mencebikkan bibirnya, berusaha untuk memasang kesan menyebalkan agar sang ibu sadar akan hal tersebut.

Dan sang ibu hanya dapat membalasnya dengan tatapan bingung. Namun di tengah kebingungannya itu ia tersenyum, berusaha menyalurkan afeksi dari senyum lembutnya secara tersirat.

"Hai, Tante!" Sahut Holly memecah canggungan yang terbangun diantara keduanya. Ia menjabat tangan Sarah untuk ia salami, lalu menyenggol siku Hazel pelan.

Hazel terbangun dari lamunannya dan ikut menyalami tangan sang ibu. Ia diam, menunggu Sarah menjawab pertanyaan yang sudah terpatri jelas di wajahnya. Tentu saja mengenai tujuan Sarah datang untuk menjemputnya.

Lalu detik berikutnya Sarah bersuara, "Hari ini papa ngajak makan malam, jadi mama dating jemput supaya kamu enggak pulang malam." Jelas Sarah.

Sang anak mengigit bagian dalam bibirnya, menahan rasa malu dan kesal dalam waktu bersamaan. Tapi ia masih ingat lokasi dirinya berada, ini sekolah, dan ini bukan saat yang tepat untuk melepas topengnya.

"Mama.. Kalau mau Hazel pulang cepet ya tinggal bilang, gak usah sampai repot-repot jemput." Kata Hazel semanis mungkin. Kalau bukan karna ia masih di sekolah, ia pasti ogah-ogahan untuk melakukan hal tersebut.

"Walaupun mama udah ngomong gitu, gak ada jaminan kamu bakalan pulang cepat, Hazel sayang.."

Skakmat! Rasa malunya sudah tidak dapat terbendung lagi. Dengan langkah malunya ia berjalan cepat memasuki mobil sang ibu tanpa berpamitan terlebih dahulu kepada Holly.

...

Makan malam kali ini tidak berbeda dengan makan malam sebelumnya. Danies akan bertanya kepada satu persatu anaknya mengenai perkembangan mereka di sekolah. Dan berakhir dengan Hazel yang sibuk memainkan sendok dan garpu di genggamannya tanpa ada niatan untuk menyuapkan makanan kedalam mulutnya.

Setelah itu percakapan akan didominasi oleh anak pertama mereka –Arga. Ia akan dengan semangat menyampaikan rancangan masa depan yang telah ia buat beberapa hari yang lalu. Dan Denies begitu antusias dengan keputusan anak sulung mereka yang memiliih menjadi pilot.

Sebenarnya Hazel tidak begitu mau mendengarkan, ia tau itu karna tanpa segan mendengar percakapan mereka, tapi jujur saja, Hazel terlalu sibuk untuk mengetahui hal tersebut.

Setelah kehebohan ia di buat oleh Arga, kesunyianpun menerpa, tepat saat Danies berkata bahwa ia di pindah tugaskan keluar kota.

"Dan terpaksa, kalian berdua harus pindah sekolah." Kalimat terakhir tersebut begitu menohok hati Hazel.

"Maksudnya?!" Sewot Hazel yang pada akhirnya angkat suara.

"Ya pindah sekolah, terutama kamu Hazel. Papa punya harapan yang besar dengan pindahnya kamu ke sekolah baru dapat mengubah sikap kamu menjadi lebih baik." Danies membalik sendoknya pertanda ia sudah selesai menyantam makanannya.

Hazel menatap wajah sang ayah tidak percaya. Oh ayolah, Hazel sudah mendapatkan apa yang selama ini ia dambakan sejak dulu. Kepopoleran, eksistensi, titik spotlight, dan tidak ada yang kurang. Dan dengan pindahnya Hazel ke sekolah baru sama saja dengan melepas hal tersebut dengan begitu mudahnya, dan tentu saja Hazel menolak.

Ia beradu agrgumen dengan sang ayah, ia bahkan sampai rela tinggal sendirian di kota kelahirannya ini demi tetap bersekolah di sekolahnya saat ini. Tapi keputusan sang ayah sudah tidak dapat di ganggu gugat, dan Hazel pun sudah sempat putus asa. Matanya berkaca-kaca menahan tangis. Sampai pada akhirnya Danies angkat suara.

"Begini, kalau kamu kuat bersekolah di sekolah asrama selama 1 semester dengan prestasi yang bagus. Papa izinkan kamu tinggal sendiri disini. Kalau kamu memang serius jawab tantangan papa ini."

TBC

Side Kick!Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang