Aku tersenyum.Rambutnya melambai indah seakan menyapaku. Terlalu percaya diri aku ini. "Nge, masukin nih." Ah selalu saja ucapannya membuatku geleng kepala.
"Bilang Nuno ganteng dulu dong." Gadis yang didepanku mendengus sebal. Aku suka itu.
"Oke, conge lo ganteng banget sih. Pengen cium, peluk, terus gue halalin lo buru-buru."
"Idih alah gak usah pake embel-embel segala Nis. Merinding gue dengernya." Dia tertawa, tawanya membuatku terpaku padanya. Aku pun mengajaknya untuk menunggu dikelas setelah aku mengatarnya ke ruang kepala sekolah.
Setiap tahunnya sekolah mengadakan pemungutan surat cinta. Entah apa tujuannya, tapi aku tidak keberatan. "Ada gak ya surat cinta buat gue? Kan biasanya cuma Yua yang dapet surat terbanyak." Ada Nis, kamu akan menerima sesegera mungkin. "Nuno! Peri cinta udah dateng." Peri cinta yang tak lain adalah kepala sekolahku. Lucu sekali kepsekku memakai baju peri. Aku menoleh mendapati Nisya yang semangat membuka surat cinta yang diberikan kepsek.
"Bacain depan gue Nis." Dia mengangguk antusias.
"Nisya.. Siapa sih yang gak tau dia? Cewek gila dan menyebalkan, dia sahabat gue. Dia adalah cewek yang pertama kali ada di hidup gue selain nyokap."
Dia menatapku sekilas lalu membacanya lagi.
"Dia emang gak gila-gila banget, cuma gilanya dia itu ngajak-ngajak. Terbukti saat gue di wajibkan pakai kostum spiderman ke ultahnya, dan dia pakai kostum wonder woman. Ah itu sangat memalukan."
Kini dia tersenyum menatap surat itu.
"Itu baru satu. Hal yang lebih memalukan saat dia mewajibkan gue lagi buat temenin dia main komedi puter yang dominan bocah semua disana. Umur gue 17 tahun saat itu, sumpah itu gak bisa diungkapin dengan kata-kata. Malu banget gue Nis."
Dia tertawa hingga menunjukkan lesung pipinya.
"Tapi kalo gue boleh jujur, gue seneng Nis pernah ngelakuin hal gila itu sama lo. Bahagia itu sederhana, gue bisa selalu disisi lo aja gue bahagia Nis. Gue pengen lo selalu ada buat gue, bukan sebagai Nisya si cewek gila. Tapi sebagai teman, teman hidup sampai tuhan nyuruh gue berhenti untuk bernafas. Lo bersedia? From Nuno Febrian."
Kini dia menatapku dengan mata memerah. Apakah dia menangis? Lalu aku terkesiap saat dia memelukku. "Gue cinta sama lo, gue bersedia jadi teman hidup lo."
Bukankah indah saat-saat itu? Saat aku berhasil memiliki teman hidup hingga aku menua seperti sekarang. Hari demi hari bergulir tanpa berhenti, dan takkan pernah kembali. Sama seperti Nisya. Yang datang akan pergi, dan menyisakan lembaran memori. Sama seperti Nisya.
Rambutku sudah memutih dengan sempurna, begitu juga dengan wajahku yang sudah dipenuhi kerutan halus. Aku sudah tua dan renta, Nisya. Apakah kamu tidak ingin melihatku tua seperti ini? Aku merindukan tawamu teman.
Tuhan, aku rasa sudah cukup aku hidup di dunia ini. Aku sudah lelah di usiaku yang semakin tua. Aku merindukannya tuhan, aku merindukan teman hidupku. Jemputlah aku saat ini juga, aku ikhlas. Aku sungguh ikhlas. Dan sebelum aku menghembuskan nafas terakhirku, aku memohon dengan sangat agar aku dipertemukan dengannya disurga nanti.
Nisya, sambutlah aku di pintu surga.
***
Bagus gak sih? Haha nggak ngarep buat dikomentar juga sih. Itu terserah jari jari kalian aja hehe. Author nggak maksa, cuma minta pendapat doang.
PLAKK!.
semoga feel ceritanya dapet ya, namanya juga dadakan. Maklumin aja. Oke bye.
Salam GESREK.
RanieNakama
KAMU SEDANG MEMBACA
Teman Hidup
RandomLaut sepi tanpa ombak. Bunga layu tanpa air. Sang surya tak berkutik tanpa sinarnya. Bak hati selalu sepi tanpa hadirmu teman. Andai saja aku dapat memutar waktu. Andai saja aku dapat tentukan takdir. Aku tidak ingin merasakan kehilanganmu tema...