Chocolate

158 25 47
                                    

Ahra memandang sendu ke seberang ruangan, tempat di mana harusnya Aram berada sekarang; tengah duduk bersandar pada dinding, salah satu kaki berselonjor di kursi, dan matanya yang tajam terpaku pada sebuah komik di tangan kiri. Ahra menghela, hari ini anak lelaki tampan itu tidak ada. Pun tidak ada kejelasan kenapa; sakitkah, atau ada hal lainnya. Hal itu membuat Ahra bertanya-tanya dan merasa agak khawatir.

Hari ini adalah tanggal empat belas Maret, dan musim hujan masih berlangsung. Bahkan, lebih dari bulan-bulan sebelumnya, kini petir malah sering muncul mengagetkannya. Ruangan kelas saat itu sudah disinari cahaya lampu, dan jendela-jendela sudah dikunci dari dalam. Meski tahu sebentar lagi akan hujan, Ahra tetap memandang ke luar. Begitu mendung, begitu pudung, tepat seperti keadaan hatinya sekarang. Tak terelakkan lagi.

Keadaan kelas itu kosong tak sampai sepuluh menit kemudian. Anak-anak sudah berlarian keluar, memenuhi lorong-lorong kelas, beberapa bahkan sudah sampai di halaman. Ahra termasuk di dalamnya. Untuk sejenak Ahra terdiam. Lagi-lagi menatap langit yang seolah malam. Semakin gelap, dan udara menjadi lebih dingin lagi. Ahra buru-buru berlari seraya berdoa semoga hujan turun di saat kakinya menginjakkan kaki di beranda rumah.

Namun, pada akhirnya Ahra yang menghentikan kaki. Terdiam, memerhatikan sekitar, menajamkan pendengaran di tepi lapangan sepakbola yang kini dipijaknya. Ada suara, samar, kecil, dan melengking. Persis seperti seorang anak kecil yang terpisah dari orang tuanya dan menangis takut sejadi-jadinya. Hanya saja, itu bukan suara manusia. Seekor kucing. Ahra mengira-ngira, sepertinya makhluk kecil itu berumur sekitar dua bulan. Dia pasti mati jika kehujanan.

Ahra selalu mengikuti naluri jika dia seekor hewan, tapi Ahra punya hati sebagai manusia. Ahra akan menanggung risiko, meski tahu ibunya akan marah-marah lagi ketika mendengar suara anak kucing di dalam kamarnya. Terserah saja. Bagi Ahra, hal-hal seperti itu selalu terjadi berulang kali, entah karena kucing atau hal lain. Yang pasti, gadis itu hanya ingin tidur nyenyak. Ahra tak mampu berpura-pura tak peduli, sama sekali.

Pernah, untuk sekali gadis itu meninggalkan seekor anak kucing tak jauh dari rumahnya. Makhluk itu terpisah dari induknya. Dan meski tahu ia sendiri merasa tersiksa karena merasa bersalah, Ahra membiarkannya. Ketika gadis itu menemukannya untuk kedua kali, kucing itu hanya sepotong tubuh dingin dan kaku di pinggiran jalan. Ahra menangis seharian.

Jadi, saat ini, Ahra melangkah perlahan menuju satu-satunya benda ganjil yang tergeletak di dekat pagar, sebuah kardus. Dan hampir selalu begitu cara mereka membuang seekor hewan. Tak pernah berubah—meskipun karung bisa jadi pilihan kedua untuk ukuran kucing yang lebih dewasa. Betapa tega!

Semakin dekat, tangisan itu makin jelas. Dan ketika Ahra melongok ke dalamnya, memang benar, benda kotak itu berisikan seekor makhluk berwarna hitam yang tampak sangat sedih dan takut bukan kepalang. Matanya berwarna hijau terang, dan kucing itu terus mengeong tanpa henti. Kepalanya yang bundar menyembul dari selembar kain yang dulunya jaket seorang anak laki-laki. Malang.

Tanpa pikir panjang Ahra membawa si kucing hitam, meninggalkan benda yang telah jadi tempat tinggalnya dalam beberapa jam. Ahra hanya mengira-ngira, seberapa lama makhluk kecil itu berada di sana. Dan bersama langkah kakinya yang jauh lebih cepat dari sebelumnya, Ahra kembali ke rumahnya, diiringi gerimis yang mulai jatuh dan setia menemaninya.

--

Keesokan hari—dan memang benar saja—sesuai dugaannya, Ahra akan terbangun dan terpaksa masuk sekolah dengan mata sembab. Bekas-bekas guratan tangis masih jelas tercetak. Ahra jelek sekali, tapi gadis itu tak pernah peduli. Setidaknya, ia tidur dengan nyenyak malam tadi sekalipun harus diomeli tanpa henti oleh ibunya sendiri. Sekali lagi, Ahra tidak peduli.

Dan, ketika jarum panjang mencapai angka tujuh pagi, Aram belum muncul. Ahra bertanya-tanya, Apa dia bakal bolos lagi?

Jika Aram tidak segera muncul di ambang pintu seperti sekarang, terdiam, dan menatap Ahra dengan tatapan tajam, Ahra pasti akan berpikir macam-macam, merasa semakin khawatir, dan melontarkan berbagai pertanyaan kepada ketua kelas yang duduk di kursi sebelahnya. Tapi itu tidak terjadi, karena Aram hadir di sini, sampai sekitar sepuluh detik kemudian, masih menatap Ahra dalam-dalam.

ChocolateTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang