6. Dendam

43 12 0
                                    

Anggota Kelompok :
-Zihan zihanfirdhani
-Nurul Sky-Nari
-Memo chimemoo
-Bunga ltfbungaa
-Naydin themoomins
-Sonya snynjw_

Dingin. Itu yang selalu kurasakan di tempat ini. Derik besi yang berulang kali tertutup dan terbuka itu seolah menusuk telingaku. Semuanya terasa menyakitkan.
Gelap. Secercah cahaya yang masuj lewat ventilasi itu tak berefek besar bagi pandanganku. Ah, kalau bicara tentang pandangan ... aku kembali teringat pada hari itu Hari yang membawaku ke tempat ini. Walau kapan itu terjadi. Aku benar-benar lupa. Sebulan? Dua bulan? Atau tiga bulan? Aku tak peduli.
"Makanan."
Suara dari luar jeruji itu menusuk indra pendengaranku. Andai saja besi ini bisa kucabut. Ingin segera kutusukan pada orang tersebut. Ah, darah manusia-manusia itu lagipula tak berguna. Kelak, untuk apa dipertahankan? Bukankah lebih baik mereka mati.
HAHAHA. Suara tawaku menggema di sepanjang lorong ini. Ya, aku sendirian sejak beberapa hari lalu dipindahkan dari sel yang amat sempit di sana. Kenapa? Ayolah, aku hanya melayangkan nyawa dua orang yang pada hari itu seolah―tunggu! Bukan seolah, mereka memang menghinaku. Padahal mereka sama saja denganku bukan? Ya, karena sedikit kesal dengan mulit manis itu ... aku sedikit bermain-main dengan mereka.
Mencakarnya, menarik bagian lembut itu hingga bersimbah darah karena sobek. Padahal itu kulakukan hanya dengan jariku.
"Henti..."
Permintaan itu apakah kukabulkan? Tentu saja tidak, aku baru saja membuat bibirnya berantakan seperti itu. Aku tak mungkin menghentikannya. Darah adalah candu bagiku ... setelah hari itu. Hari sebelum aku masuk ke dalam penjara.
Well, aku tak mungkinkan ada di tempat pemungutan sampah? Tentu saja aku di penjara. HAHAHA. Apa? Kau ingin ikut denganku?
Oke, abaikan hal itu. Kembali pada topik dimana aku membunuh kedua orang itu. Ya, setelah kusobek bagian bibirnya yang ranum itu, aku langsung menjejalkan tangan milik temannya―yang kurasa―ikut menghinaku. Tekan! Tekan! Kumasukkan tangan itu hingga mulut orang itu benar-benar sobek. Dan entah kenapa ... ia langsung mati di tempat. Ah, lemah sekali bukan? Padahal aku hanya bermain dengan mulutnya saja.
Setelah itu, aku tunjukkan seringaian pada sang teman yang tangannya berlumuran darah dan saliva. Ah, sepertinya itu kontaminasi yang sempurna.
"Le―pas."
Ingatanku buyar kala suara itu membuatku tercekat. Tunggu! Tanganku ... kini sedang mencekik petugas yang tadi membawa makanan.
Kapan?
Ah, aku tak peduli. Kukeluarkan senyuman manisku. Lalu kuulangi hal yang pernah terjadi pada kedua narapidana itu.
Ia mati.
***
Aku kini memainkan pisau dapur milikku ini dengan batang asah yang kemarin baru ku beli. Suara gesekan kedua logam ini menggema keseluruh ruangan dapurku. Aku tak habis pikir dengan sikap adik kembarku. Dia senang sekali mempermainkan pria.
"Kak, hehe. Aku boleh jalan bersamanya, 'kan?" Dia datang tiba-tiba kehadapanku dengan muka polosnya.
"Iya, boleh," jawabku singkat.
BODOH! Kenapa aku berkata seperti itu? Walau baru sekali kami bertatapan, aku sudah menyukai pria itu. Ah! Kenapa juga aku harus merelakan perasaan ini hanya untuk kembaranku?!
Kasihan pria itu. Dia hanya akan jadi mainannya adikku. Setelah isi dompetnya habis, kemudian ia akan ditinggalkan.
"Dahh, Kak!"
Sial! Kalau saja dia telambat sepuluh detik berkata seperti itu, sudah kurobek perutnya lalu ku keluarkan lambung, usus, ginjal dan bahkan hatinya yang busuk itu. Aku sudah muak dengan sikap busuknya itu.
Aku mengerjap. Otakku lagi-lagi mengulang cerita yang sama, cerita 3 bulan yang lalu. Kenapa otakku suka sekali mengingat kejadian yang membawaku pada jeruji yang menyesakkan ini?!
Adik sialan! umpatku dalam hati.
Seharusnya, aku sekarang masih berada di kamar. Terlelap dengan tenang di balik selimut tebal yang hangat, bukan dengan kain usang seperti yang kupegang sekarang ini. Ah, setidaknya aku senang dia tidak ada di dunia ini lagi. Membuatku lebih tenang menjalani sisa hidup di penjara ini.
Terlebih, mengingat ekspresi kesakitannya di detik akhir hidupnya membuat kebahagiaan tersendiri bagiku.
Aku membenci adik kembarku. Terlebih, perlakuannya yang semakin hari semakin memuakkan. Pergi dengan pakaian modisnya saat jalan-jalan, kemudian pulang dengan tas belanja yang memenuhi tangganya. Setiap minggu, dia selalu bercerita tentang cowok yang berbeda-beda. Seolah-olah, mengganti pacar sama mudahnya dengan mengganti baju bagusnya itu.
Hm, aku tidak salah, kan, menyakiti orang yang suka menyakiti orang lain? Semoga saja, dia hidup tak tenang di alam sana!
"Hei, kau!"
Aku menatap sengit orang yang duduk di depan jerujiku. Ia melempariku dengan makanan kecil dari balik jerujinya, seolah-olah ingin mengajakku perang. Enggan merespon, aku mengalihkan pandangan.
"Cih, anak kecil sepertimu saja sudah tak sopan dengan yang lebih tua," sindirnya. Manusia yang kuperkirakan berumur sekitar 55 tahunan itu kembali bersuara. "Pantas saja kau berada di sini. Apa kesalahan yang kau buat, anak muda?"
"Apa urusanmu?" tanyaku balik.
"Aku hanya bertanya. Seharusnya, kau menjawab pertanyaan orang yang lebih tua dengan sopan-"
"Apa peduliku?"
Kulihat, bapak dengan tato besar di lengan tangannya menatapku seolah ingin membunuhku. Aku menatapnya balik, tak peduli dengan matanya yang semakin melotot. Jemari tanganku mencari piring bekas makananku tadi, memecahkan piring kaca itu lalu melempar pecahan kaca besar tepat ke mata bapak itu.
Aku mengulum senyum, menahan tawaku agar tidak meledak. Bapak tua itu menjerit kesakitan, terdengar sangat menyebalkan. Sembari menghilangkan jejak bukti dari piring yang masih berantakan di jerujiku, aku melempar semua pecahan piring tepat ke seluruh badannya.
Ah, dia mati.
***
Hari ini tidak ada bedanya dengan kemarin, dua minggu yang lalu, atau hari di mana aku mulai diletakkan di neraka dunia.
Semua hal berisi kegiatan membosankan membuatku muak. Mulai dari melakukan jadwal piket dengan rutin, hingga membuat aneka pernak-pernik untuk membuat hidup kami berguna. Menurut mereka, kegiatan ini meminimalisir depresi yang sewaktu-waktu bisa terjadi. Menurut mereka juga, ini bisa membuat kami bahagia.
Rasanya, aku ingin tertawa kencang. Bahagiaku berbeda dengan mereka. Bahagiaku adalah ketika melihat darah dari tubuh manusia mengalir keluar dari nadi. Kalau mereka mendengar konsep bahagiaku, mungkinkah mereka mengabulkannya dengan mudah? Tentu saja tidak!
Aku baru saja izin ke toilet dengan dikawal dua wanita berseragam sama, diikuti wajah garang. Hey, santaikan wajahmu, Nona. Aku tidak merasa takut dengan kalian.
Tiba-tiba, pusing yang teramat hebat melanda. Bahkan aku harus menutup mata untuk membuat diriku merasa lebih baik. Aku mencoba menahan diri untuk tidak berteriak. Aku tidak mau membuat mereka tau apa yang kurasakan.
Kemudian, otakku meminta sesuatu yang aneh. Darah. Aku rasa butuh darah hari ini. Bukan karena aku drakula atau vampir. Hanya saja, melihat darah membuatku merasa hidup abadi.
"Bisakah salah satu kalian mengantarku ke dalam?" pintaku, memasang wajah takut.
Mereka berdua saling pandang. Kemudian salah satu dari mereka menghela napas. "Tidak. Kami akan menunggumu di sini."
"Bagaimana kalau aku kabur?" Aku mencoba meyakinkan mereka agar masuk ke perangkap.
"Baiklah." Akhirnya si wanita yang lebih kurus mengalah. "Alyn, kembali lah ke ruang tengah. Dia akan baik-baik saja denganku."
Aku tersenyum sinis dari balik senyumnya. Kurasa, wanita ini begitu bodoh dengan menyuruh temannya pergi, dan terjebak bersamaku.
Setelah kepergian wanita bernama Alyn itu, aku dan wanita tinggi kurus itu masuk ke dalam toilet, dan di sambut dengan lima bilik toilet yang isinya kosong.
"Kau, tau siapa aku?" tanyaku kalem.
"Ya. Kau narapidana. Bukankah itu jelas?"
Aku berdecak. Masih sempat-sempatnya ia bercanda di detik-detik kematiannya?
"Apakah kau tahu, kasus apa yang membuatku berada di sini?"
"Tidak. Dan kurasa, kau harus cepat-cepat menuntaskan hajatmu dan kembali ke ruang tengah," perintahnya.
"Aku akan kembali ke sana. Tapi tidak denganmu." Aku mendekati wanita itu yan sekarang ikut memundurkan langkah.
"Apa maksudmu?"
Aku tersenyum tipis. "Selamat tinggal!"
Tanganku memukul keras wajahnya hingga membuat wanita itu terjatuh. Saat kurasa ia sudah tak berdaya, aku menarik krah bajunya, memaksa ia untuk berdiri.
Selanjutnya, aku benturkan kepala wanita itu ke wastafel berulang kali. Hasil dari percobaanku barusan, membuat darah mengalir melewati pelipis.
Kebahagianku berubah berpuluh kali lipat saat melihat cairan merah nan kental itu. Sebagai penutup, aku nyalakan air dari wastafel dan kubiarkan mengalir di kepala wanita tadi. Dengan begitu, darah kental yang bercampur dengan air akan semakin banyak.
Dan seperti yang sudah kalian saksikan, wanita itu tidak bisa diselamatkan. Apalagi bila ia mati di tanganku.
***
Hari ini aku merasa sedikit terganggu dengan kegiatan para narapidana yang berada di dekatku. Mereka sejak tadi sibuk membicarakan tentang si penjaga yang meninggal di kamar mandi. Sebenarnya, aku sangat senang dengan kabar itu. Tapi, didetik berikutnya aku terpaksa bangkit dari dudukku dan berjalan malas mengikuti penjaga yang memanggilku untuk menghadap ke atasan tertinggi di penjara atau tepatnya neraka dunia ini.
Kali ini, bukan hanya dua penjaga, tapi lima penjaga sekaligus lengkap dengan senjata di masing-masing tangan mereka.
Aku tersenyum tipis. Apa mereka takut denganku? Karena aku telah membunuh salah satu teman mereka yang juga berprofesi sebagai penjaga. Aku menoleh kearah penjaga yang berada disebelahku. Dia seorang lelaki berbadan tegap yang sedikit lebih tinggi dariku.
Melihat wajahnya aku jadi mengingat seseorang. Dia, lelaki yang telah membuatku nekat membunuh saudara kembarku yang laknat itu.
Dia lelaki yang membuatku jatuh cinta untuk pertama kalinya.
Aku menatap wajah penjaga itu sambil membayangkan 'dia'. Sampai khayalanku buyar saat kami telah sampai didepan pintu ruangan si atasan tertinggi di neraka dunia ini.
"Kau tau apa salah yang telah kau perbuat?"
Aku tersenyum tipis. "Tentu." Setelah itu, aku masih tersenyum tipis dan malah terlihat bahagia.
Lelaki di depanku ini mengernyit bingung. Dia pasti heran kenapa aku malah terlihat bahagia setelah membunuh seorang yang tidak memiliki salah apapun kepadaku.
"Apa kau ini gila? Kau telah membunuh orang tidak berdosa dan kau sekarang malah terlihat bahagia?" Pria itu tidak habis pikir dengan apa yang ada di pikiranku.
Sedangkan aku hanya diam dan tetap tersenyum tipis. Sangat tipis sampai-sampai tidak seorang pun yang dapat melihat kalau aku sedang tersenyum.
"Aku tidak gila! Kalau aku gila, maka aku sekarang akan menggendong sebuah boneka sambil mengatakan 'di mana anakku? Di mana anakku?'." Sudah lama aku tidak bercanda. Dan perkataanku barusan berhasil membuat pria itu melotot tidak percaya. Dia tidak tertawa. Padahal aku sudah membuat sebuah lelucon yang lucu. Apa dia gila?
"Kenapa kau tidak tertawa? Bukankah leluconku tadi itu lucu?" Aku bertanya, aku ingin bermain-main dengannya.
Dia menggeleng.
"Kau tahu? Apa yang akan kau dapatkan setelah kau membunuh orang?" tanyanya dan aku hanya diam menatapnya malas. Sungguh aku sangat malas berurusan dengan pria berkepala botak dengan jidat lebar ini.
"Kau tahu? Apa yang akan kulakukan padamu saat kau mengabaikan apa yang kukatakan?" tanyaku dan membuatnya terdiam. Mungkin saja ia takut, tapi aku tidak akan membunuhnya kali ini, karena aku merasa kasihan karena mungkin saja ajal pria botak ini sudah dekat, mengingat umurnya yang sudah 50-an.
***
Pagi ini, aku mulai terbangun dari ruangan seperti neraka ini. Aku melihat seorang perempuan bernama Alyn tersebut berdiri tepat di depan jeruji besi. Perempuan yang sangat bodoh meninggalkan temannya sendirian bersamaku waktu itu.
"Hei, keluarlah! Atasan kami memanggilmu," kata perempuan tersebut.
Aku berdiri dan berjalan dengan sangat malas. Lagi-lagi, aku bertemu dengan atasan yang super ribet. Entah apa yang dia ingin bicarakan kepadaku. Aku pun tidak peduli. Yang aku inginkan sekarang adalah, aku bisa merasakan surga dunia yang telah lama aku rindukan.
Pria itu menatapku dengan serius, sedangkan aku hanya bermain-main dengan tanganku yang sangat ingin sekali membunuhnya. Tapi aku tidak ingin hidupku berakhir di jeruji besi ini. Aku sudah bosan. Aku juga ingin merasakan duniaku kembali.
"Sekarang jelaskan padaku! Apa maksudmu selama ini selalu membunuh orang-orang yang tidak berdosa?"
Aku sangat malas menjawabnya. Sungguh pertanyaan yang tidak penting di jawab menurutku.
"Kau tahu ketika seseorang yang kau cintai malah di permainkan oleh saudaramu sendiri? Kau bisa bayangkan betapa kesalnya dirimu saat melihat saudaramu sendiri lebih bahagia darimu? Pasti kau akan melakukan suatu hal yang sama denganku." Aku menjelaskannya kepada si pria botak ini. Jujur saja, aku sudah muak selalu berada disini. Berada di suatu ruangan yang sama sekali tidak bisa memberikanku kebebasan.
Pria tersebut nampaknya sedang memikirkan sesuatu. Ah, peduli apa aku tentangnya? Dia mati pun aku akan senang! Apalagi melihat darahnya mengalir di depan mataku. Oh ayolah, sangat lama sekali.
"Sudah kau memikirkan sesuatu yang sangat tidak penting? Sekarang, apa maumu? Aku sudah bosan berada di dekatmu seperti ini," ucapku dengan nada yang benar-benar sangat tidak sopan.
Pria berkepala botak itu tetap saja diam tanpa menjawab pertanyaanku sepatah katapun. Aku mulai beranjak dari tempat dudukku tetapi tiba-tiba saja Alyn menghadangku dan menyuruhku untuk kembali duduk.
Ah, kenapa aku harus berhadapan dengan orang seperti mereka. Andai saja aku bisa membunuhnya sekarang, aku akan dengan senang hati melakukannya. Tapi ini juga menyangkut kebahagiaanku yang harus ku dapatkan kembali.
Aku tidak mungkin melakukan hal konyol yang dapat membuatku tetap berada di neraka dunia ini. Sudahlah, sekarang ini aku ingin bahagia sejenak. Sangat malas aku berurusan dengan orang-orang yang dapat menjerumuskan aku ke dalam dunia ini lagi.
***
Beberapa hari ini entah kenapa aku tidak ingin membunuh. Apakah karena aku kasihan? Atau, malaikat telah merasuki tubuhku? Aku tidak tahu. Dan aku tidak peduli.
Yang kupikirkan sekarang hanyalah, rasa keinginan yang besar untuk keluar dari sel ini. Aku ingin kembali hidup seperti biasa. Aku ingin punya teman untuk berjalan-jalan ke mall di akhir pekan, sama seperti gadis-gadis pada umumnya.
Aku berlari menghampiri Alyn, karena aku ingin berbicara serius dengannya. Bukan hanya untuk meminta maaf, tetapi juga untuk menanyakan hal-hal tidak penting karena aku juga butuh seseorang untuk mendengarkan kata-kataku.
"Alyn?" kataku pelan. "Kau tidak punya pekerjaan hari ini, kan?"
"Tidak ada," balas Alyn. "Ada apa kau ke sini? Kau mau menjadikanku sebagai korbanmu selanjutnya?"
"Hmm ... begini. Aku hanya ingin sekedar bertanya, apakah kau sakit hati karena aku membunuh temanmu itu?"
Alyn terdiam sejenak. "Bagaimana perasaanmu jika temanmu, yang selalu mendengarkan perkataanmu, dan mengerti segala masalahmu, mati karena dibunuh?" tanya Alyn.
"Sakit. Ya, ya, aku mengerti. Aku tahu rasanya. Maafkan aku. Aku hanya ingin memuaskan rasa yang ada didalam tubuhku," kataku. "Apakah kau ingin mendengarku sebentar, Alyn?"
"Aku? Tentu saja aku akan mendengarkanmu. Asalkan kumohon jangan habisi nyawaku." balas Alyn.
"Aku rasa, beberapa hari ini aku tidak ingin membunuh orang lagi. Aku juga ingin hidup bahagia diluar kompleks penjara."
"Baguslah. Lalu, kenapa kau membunuh? Kau bisa saja dikurangi masa hukumannya jika tidak membunuh orang-orang yang ada di sini."
"Hanya saja, dengan membunuh aku merasa senang. Puas. Bahagia," kataku.
"Aku ada ide! Cobalah untuk melupakan segala hal tentang dunia membunuhmu itu. Lupakanlah semua korban-korban dan calon korbanmu! Kosongkan pikiranmu sehingga kamu rileks. Dengan rileks kau akan merasa lebih tenang menjalani masa hukumanmu. Masa hukumanmu akan habis sebentar lagi, kan? Gunakan waktu yang tersisa untuk melupakan semuanya. Dengan begitu kau akan merasa ringan saat kau bebas, dan kau tidak akan membunuh orang lagi sehingga kau akan masuk penjara lagi," kata Alyn. Sungguh, dia adalah orang yang baik. Lebih baik daripada yang kukira.
"Terimakasih, teman."
***
Setahun kemudian.
Sudah 5 bulan aku bebas dari dalam penjara. Aku tinggal di apartemen pusat kota. Apakah aku tinggal sendiri? Tidak. Aku tinggal bersama teman baikku, Alyn.
"Kau mau belanja? Aku baru saja mendapatkan gajiku," kata Alyn.
"Tentu saja aku mau," balasku.
Aku pun pergi ke pusat perbelanjaan bersama Alyn. Kami pergi ke sebuah toko baju yang lumayan besar dan lengkap.
"Hei, lihatlah. Baju yang dipakai manekin ini hampir sama seperti yang dipakai si penjaga berkepala botak di penjara, 'kan?" kata Alyn.
"Shhh..." kataku. "Aku sudah melupakan semuanya."
***

Horor Collaboration [Event 5]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang