Guide me home, brother

2.1K 73 40
                                    

Waktu menunjukkan sekitar tiga puluh menit sebelum tengah malam saat ponselku bergetar dan suara deringnya mulai berteriak memekakkan telinga. Aku melompat terkejut dari atas sofa dan hampir terkena serangan jantung saat aku mendengarnya. Seperti malam-malam sebelumnya, saat kesunyian terasa nyaman bagi seorang cowok yang tengah beristirahat setelah kesibukannya selama sepekan terakhir. Setelah malam jumat yang lumayan kacau, karena harus lembur sampai jam 5 pagi, rasanya nyaman juga bersantai sendirian di rumah, nonton acara TV apa saja, bahkan yang paling membosankan sekalipun boleh.

Buru-buru aku mengangkatnya. Suara Mike terdengar di ujung sana, meskipun tak begitu jelas karena suara musik yang berdentum keras di belakangnya. “Kita baru mau keluar dari Club nih!” Teriaknya. “Cewek-ceweknya udah pada kabur semua, trus si Trent juga mau pulang buru-buru, soalnya besok pagi dia harus ke gereja sama keluarganya.”

“Bagus deh,” kataku. “Kali ini kamu bawa cukup duit khan, buat ongkos taksinya?” kisah tentang Mike yang terdampar di antah berantah pada tengah malam karena kehabisan uang, memang sudah cukup melegenda di kalangan teman-teman sekolah kami.

“Nggak, Temen si Jason ada bawa mobil. Katanya dia bakal anterin kita pulang.”

Aku langsung merenggut. “Dia abis minum juga?”

“Satu atau dua kaleng bir aja, Kay. Katanya dia gak apa-apa kok.” Setelahnya dapat kudengar kalau Mike bicara pada seseorang di sebelahnya, tapi aku tak bisa mendengar jelas percakapannya. “Bentar lagi aku pulang kok. Tidur aja duluan, gak usah nungguin.”

“Thanks, tapi aku gak capek. Lagian juga, mom sama dad bilang kalo kita harus selalu gembok pintunya sebelum tidur, kalo aku gembok, kamu gak bakal bisa masuk.”

Mike tergelak. “Aku gak mau tidur di teras lagi Kay! Bentar lagi aku pulang.”

Dia menutup teleponnya dan aku kembali meneruskan nonton TV. Terdengar suara ledakan dan suara tembakan pelan di TV-nya yang entah bagaimana membuat suasananya menjadi lebih santai. Atau kenyataan kalau libur musim dingin sekolah akhirnya tiba, dan kedua orang tua kami ‘dengan bijaknya’ memutuskan untuk pergi berlayar bersama teman mereka selama seminggu lebih sebelum Natal. Jadi rumah sepenuhnya milik kami. Bagi Mike, artinya tak ada yang melotot kalau ia pulang dengan sempoyongan lengkap dengan semerbak bau alkohol dari nafasnya. Bagiku sendiri, artinya tak ada yang terus-menerus mengingatkanku untuk mencari pekerjaan yang cocok setelah kelulusan nanti.

Acara di TV telah menampilkan iklannya yang ke lima belas dan aku memutuskan untuk beranjak ke dapur mencari camilan. Saat aku mencampur beberapa butir telur, keju dan beberapa potong sayuran ke dalam wajan, aku mendengar suara berderak keras di halaman belakang. Aku menempelkan wajahku pada kaca jendela dapur yang dingin membeku dan melihat keluar, tapi tak ada apa-apa di sana selain pohon - pohon kering dan beberapa tumpuk salju basah yang baru saja jatuh. Mungkin hanya binatang yang mencoba mencari tempat hangat karena kesulitan bertahan hidup dalam cuaca sedingin ini.

Ponselku berdering lagi, jadi aku balik ke ruang tamu dan mengangkatnya. Mike lagi. Aku dapat mendengar suara sirine di belakangnya kali ini. “Uh, teman Jason kayaknya, um...  agak mabuk.” Suara Mike terdengar agak jauh, seolah ia berada setengah meter dari ponsel yang dipegangnya.

“Ya Tuhan, apa yang terjadi?”

“Kami menabrak tiang. Mobilnya rusak total, tapi kami semua baik-baik aja kok. Kayaknya. Ada polisi disini. Mereka lagi ngobrol sama teman Jason yang bawa mobil.” Dia tertawa. “Pasti ketauan deh kalo dia lagi mabuk.”

“Jangan becanda.”

“Hahaha, abis polisinya cuekin kita semua, terus kebetulan ada bis lagi nunggu disini, jadi kayaknya aku naik bis aja pulang kerumah.”

Guide me home, brotherTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang