Why I Can't Cry

237 75 33
                                    

This oneshoot dedicated to penapite

HARUM kertas khas percetakan langsung menyeruput hidung begitu aku menariknya dari beberapa tumpukan kertas yang baru saja dibeli adikku, entah untuk apa. Kertas putih bersih itu, kupandangi sebentar sebelum mengambil pulpen baru kemudian menyoretkan orak-arik perwakilan perasaanku di sana.

Kupasok udara banyak-banyak, takut jika nanti tiba-tiba pikiranku berubah haluan, enggan menuliskan apa yang sejak tadi malam menganggu pikiranku. Jarum panjang saat ini menunjukkan pukul dua dini hari, kantuk belum juga berkunjung sekedar memberitahu bahwa tubuhku lelah.

Aku menggigit bibir bagian bawah sebentar, dan sekarang ... mari kita mulai.

Ini untuk kamu, seseorang yang bertahun-tahun lalu pernah menemani sebagian hari-hariku. Aku tidak akan bertanya kabar, aku tahu jelas bagaimana keadaanmu sekarang.

Pukul dua dini hari ini, aku dilanda gundah gulana, sekelebat kejadian masa lalu terus menghantuiku. Menuntun gerak kaki dan membuatku sekarang terduduk di windowsill sambil mengamati benda-benda langit yang masih setia menerangi bumi di atas sana.

Hal terberat yang menghunus kesadaranku saat ini adalah kamu.

Ah, barangkali aku perlu menyebutkan nama, sebab aku cukup tahu bahwa kamu adalah spesies manusia yang diciptakan Tuhan dengan kadar kepekaan lemah.

Tulisan ini untukmu, Fidlan Kianrama.

Langsung saja kumulai, alasanku menuliskan surat ini untuk kamu.

Kamu sahabatku, orang yang berlalu lalang menjadi pemain pelengkap di skenarioku. Untuk mengaku dekat, aku sendiri tidak tahu bagaimana definisi dekat menurut orang lain. Kamu orang terdekatku setelah kedua orangtua dan Reatta, adikku.

Malam ini, biar jadi malam yang panjang buatku menumpaskan segala pasok rindu yang terus saja berjelaga. Aku mau kamu, itu saja, malam ini.

Aku, kamu, kita berdua dekat. Saat kita berdua memasuki umur enam belas tahun, sekolah sedikit merenggangkan definisi dekat yang kubuat. Sewaktu ingin masuk sekolah, aku memilih melanjutkan di SMK Kesehatan, impianku dari kecil sebagai titik tolak cita-citaku agar bisa menjadi perawat. Sementara kamu, kamu masuk di salah satu SMA Negeri dengan jalur undangan.

Mulai dari itu, hubungan kita merenggang. Kesibukan demi kesibukan terus saja membuat kita lupa bahwasannya setiap hari kita selalu suka menghabiskan brownies dan susu cokelat. Juga pubersitas masing-masing diri yang membuat kamu terkadang lebih suka menghabiskan waktu dengan perempuan-perempuan yang hampir semuanya kamu kenalkan padaku.

Aku mengenal kamu sejak kita baru saja keluar dari rahim. Sejak aku dan kamu terbaring bersampingan di ruangan rawat bayi rumah sakit. Ah, tidak usah tersenyum seperti itu, kalau kamu sedang baca ini, kamu pasti berdecak kagum pada ingatanku yang masih ingat tentang saat pertama kali kita bertemu.

Namun kisah kita tidak seindah mereka awalnya, Dlan. Kamu, sibuk dengan kekasih-kekasih kamu, sementara aku terus kamu jaga.
Katakan kamu egois, aku sangat setuju.

Tujuh belas tahun bersahabat dengan kamu, aku merasa ada yang janggal setiap kali kamu memandangku, setiap kali kamu memberi perhatianmu padaku, setiap kali kamu tersenyum. Karena saat itu ... aku melihat kamu sebagai orang lain, Dlan.

Oke, oke, aku tahu kamu jengah membaca rentetan kalimat tidak bermutu di atas. Begini, aku ingin mengajak kamu mengulas kembali memori ingatan yang Tuhan berikan kepada kita. Bertahun-tahun lalu, aku dan kamu sempat menjauh. Sangat jauh.

Masih ingatkah kamu dengan itu?

Semuanya dimulai ketika suatu sore kamu datang kepadaku, memberitahu perihal hubunganmu dengan Devita yang kandas di tengah jalan. Aku tahu kamu sedih, kamu mencoba menyalurkan kesedihan itu lewat pelukan ke arahku.

I Can't CryTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang