1

54 2 0
                                    

Pagi itu, suatu pagi akhir pekan yang biasa. Pagi yang menghantar rasa lelah ke persembunyiannya setelah ditempa berbagai kesibukkan. Rasa lelah yang lusa esok, ia akan kembali melengkapi hariku dan jutaan orang lain di bumi.

Aku terbangun ketika jam wekerku berbunyi pada pukul lima kurang lima belas menit. Aku beranjak dari tempat tidur, lalu duduk tertunduk di tepi ranjang dan mulai menghembuskan nafas secara perlahan. Sebuah pagi baru telah menyambutku, tapi tidak dengan kenangan pahit yang tak kunjung hilang.

Ku bawa langkah yang terasa berat ini menuju kamar mandi. Mengambil wudhu tuk bertegur sapa dengan Sang Pencipta. Bersyukur karena masih diberi kesempatan kasih untuk kembali menghirup udara segar pagi hari.

Rutinitas pagi hari akhir pekan ini diakhiri oleh membuat sebuah kopi dengan tanganku sendiri. Satu brewing machine sengaja aku pindahkan dari toko ke dapur rumah dengan hasil jerih payahku sendiri. Bukankah seseorang rela berkorban demi hal yang ia sukai? Seperti membeli barang kesukaan yang memerlukan pengorbanan material, atau... Mendapatkan cinta idaman dengan mengorbankan hidupmu, waktumu.

Secangkir Flores Bajawa kini ada digenggaman, menemani ragaku yang bergerak menuju halaman belakang rumah dan menyapa penghuninya. Tanaman yang dulu kamu rekomendasikan untuk rumah kita, rumahku. Ku geser pintu kaca yang membatasi ruang utama dan halaman belakang dan seketika udara segar merangsek memenuhi paru-paru. Udara ini membuat tubuhku hidup, tapi sumbernya mematikan perasaanku.

Kubiarkan pupilku beradaptasi dengan sekitar. Kabut tipis masih nampak menyelimuti dan kemana Matahari? Ah, nampaknya ia bangun sedikit terlambat hari ini. Aku biarkan saja dia dengan tidurnya. Maksudku, ia seorang pekerja keras, bukan? Setiap hari memberikan tenaganya untuk miliaran orang di bumi, hanya sesekali ia terlambat karena ia harus bergantian dengan hujan yang tak punya jam kerja tetap. Tapi hari ini kelihatannya bukan harinya hujan datang dan Matahari belum menampakkan sedikit pun sinarnya. Ah, aku biarkan saja dia dengan tidurnya. Sedikit terlambat tidak apa-apa, aku rasa ia kelelahan.

Aku pejamkan mata dan kopi berpindah dari cangkir di tangan ke dalam perutku. Kubiarkan pahitnya menjalar sedemikian lambatnya. Menempel pada langit-langit mulut dan dinding tenggorokanku. Bukankah pahitnya secangkir kopi tak bisa dibandingkan dengan pahitnya kehidupan? Karena menurutku pahit yang terdapat pada kopi merupakan esensi dari kopi itu sendiri, sedangkan manis dan asamnya secangkir kopi hanyalah rasa pelengkap. Sedangkan kehidupan, apakah tujuan hidup seseorang adalah kepahitan? Aku pikir, itu hanya pelengkap dari makna hidup itu sendiri.

Tapi bagaimana dengan hidupku? Kenapa yang aku rasakan hanya kepahitan? Seakan kepahitan itu mengurungku dalam penjara keji dan tak memberikan kesempatan menghirup udara bebas. Udara kebahagiaan. Udara penuh kasih sayang. Bukan kegiatan dalam penjara yang menyesakkan. Duduk di sudut ruangan, pagi hari sarapan penyesalan. Siang (atau mungkin sore) bekerja menambang batu harapan. Menghancurkannya menjadi kepingan kecil. Dan malam, istirahat di bawah langit-langit gelap nan sempit. Bukan langit-langit penuh bintang di sebuah lahan penuh ilalang tinggi di atas atap mobil dengan kamu ada di sampingku.

Sekarang di sinilah aku, berdiri di halaman belakang rumah yang awalnya dirancang oleh dua orang, namun hanya ditempati oleh salah satunya. Kubuka mata dan kuhirup nafas dalam dan kembali menghembuskannya perlahan. Matahari memang sedang malas hari ini. Sudah tiga puluh menit melewati pukul lima dan ia masih belum menunjukkan sedikit pun tanda kehadirannya? Ia bahkan kalah dengan Roni, kenari kecilku yang suaranya meresap ke gendang telinga dengan nyaring, tapi begitu halus untuk didengar. Iya menyapaku, kubalas dengan senyum dan menyentakkan jari di depan kandangnya.

Mataku kembali menyusuri halaman belakang ini, mulai dari sudut kiri yang terdapat kolam ikan dengan sebuah jembatan kecil di atasnya yang berujung pada gazebo kecil tempat kita –aku, nantinya ngaso kala penat dengan hiruk pikuk kehidupan perkotaan. Lalu beralih ke bagian tengah dimana deretan pinus berukuran kecil tertanam, dan saat perlahan pandanganku mengarah ke bagian kanan, terdapat cahaya di sana. Tepat di sebelah daun pandan yang merupakan tanaman terakhir yang ditanam di sini.

Hey, Matahari? Itu kah kau? Akhirnya kau dat...

Tunggu.

Itu tidak nampak seperti engkau, Sang Surya. Lalu...

Ah! Senja?! Kenapa dia di sini? Maksudku, kenapa pada waktu ini? Bukankah ini belum waktunya ia menampakkan diri?

"Hai, Al." Sebentar. Ia menyapaku? Ia tahu namaku?

"Eh, hai." Aku menjawabnya canggung karena masih belum mengerti sebenarnya ada apa ini.

"Ada apa dengan dirimu? Tidak biasanya kau bertingkah seperti itu. Dimana ketenanganmu saat bertemu klien-klien besar? Sederhana lagi, dimana semua ketenanganmu itu saat kau bertemu denganku?" Aku diberondong pertanyaan olehnya. Membuatku semakin kebingungan harus menjawab dari mana. Namun kenyataannya, memang aku tidak bisa menjawabnya.

"Aku rasa mereka yang bekerja di dalam otakmu kini sedang kalang kabut. Mencerna dan mencari koneksi dari kejadian yang bahkan belum sepuluh menit terjadi." Senja menambahkan.

Mendengarnya, aku mencoba membuka suara. "Dari mana kau tahu namaku?"

"Aku tidak hanya tahu namamu, tapi aku kenal siapa kamu," Senja tersenyum. Aku terdiam. Menunggu apa yang ia akan katakan selanjutnya. Jujur, aku khawatir. Tapi aku penasaran. "Aku juga kenal seorang di Jepang sana yang kini sedang mabuk sake ditemani dua orang Geisha di sebuah kedai yang terletak di kaki gunung Gunung Arashi. Atau seorang pria yang sedang menikmati ganja maroko di sebuah cafe di pusat kota Rotterdam. Atau presiden negara adidaya yang sekarang ini sedang bermain golf indoor di ruangannya. Aku kenal dengan dirimu, seorang lelaki 30 tahun yang setiap empat kali dalam sepekan selalu menyisihkan waktunya untuk menikmati keindahanku." Aku tercengang. Senja menjelaskan semuanya dan ia benar.

"Bagaimana bisa?"

"Kau sudah tahu jawabannya," Senja kembali tersenyum ke arahku. Aku terdiam tidak mengerti. Senja menghirup nafas dalam dan menghembuskannya perlahan sembari menggelengkan kepalanya. "Sungguh kau tidak tahu?" Ia bertanya. Aku mengangguk pelan.

"Apa alasanmu kerap mengunjungiku?"

Alasanku mengunjunginya? Untuk sepersekian detik aku tak menjawab, sebelum bibirku bergerak mengatakan untuk mencari ketenangan dan menikmati fisiknya.

"Lalu, apa kau merasa tenang kala mengunjungiku?"

"Ya." Aku menjawabnya tanpa ragu karena memang benar adanya. Entahlah, seakan goresan jingga di langit sana terlihat sungguh menenangkan.

"Kau tahu, Al? Saat orang-orang melihatku dengan tujuan benar-benar ingin melihatku. Merasakan kehadiranku. Mencari ketenangan melaluiku. Maka saat itulah aku menjadi satu dengan orang-orang itu. Aku masuk menuju relung jiwa orang-orang itu, sampai palung terdalam dimana kegelisahan itu ada. Dan pada saat itu juga aku mengenal mereka; siapa mereka, dari mana asalnya, bagaimana latar belakang keluarganya sampai hal terakhir yang mereka permasalahkan atau membuat mereka bermasalah. Hal demikian juga aku lakukan kepada dirimu, Al. Dari...,"

Senja terdiam. Ia menatapku sejenak kemudian mengalihkan pandangannya kembali menuju tanaman pandan yang berembun.

"Dari waktu-waktu indahmu menikmatiku bersama Tisya, sampai kesendirianmu yang coba kau isi dengan kenangan itu bersamaku."

Aku tercekat. Dan bayangan itu seketika muncul. Muncul di waktu yang tidak aku inginkan. Maksudku, aku memang menyisihkan satu atau dua jam sehari selama dua tahun belakangan ini dengan Senja sebagai teman 'melamunku' untuk menyelami memori itu. Bagi seorang pria yang baru menyentuh kepala tiga, hal itu tentu menyedihkan.

***********

Penantian BerhargaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang