Bagian Satu

25 4 0
                                    



Sudah seminggu ini hujan mengguyur kota. Yogyakarta.

Decit mobil terdengar di hampir seluruh antero kota. Cipratan genangan di jalan menambah corak di sore ini. Sabtu ini, Rasya menggunakannya dengan menyibukkan diri di perpustakaan kota. Mencari buku yang ia butuhkan dan mencatat hal penting yang sekiranya akan keluar di ujian semester nanti. Payung biru yang disandarkan dipojok pintu perpustakaan, nampak rela ditinggalkan pemiliknya yang sedang berusaha keras mendapatkan nilai terbaik.

Wajah sayu itu terlihat tegar, dipadu dengan manik mata cokelat yang menambah ayu parasnya. Gadis itu dan tangannya, cekatan memilah halaman dan mencatat kembali isinya. Flatshoes hitam yang membungkus jari kakinya nampak mengayun perlahan dibawah kokohnya meja kayu. Senandung yang ia ciptakan seakan menjadi melodi tersendiri bagi yang mendengarnya. Selang sepersekian detik, ia melihat jam tangan yang melingkar dilengan berwarna kuning langsatnya. Pukul empat lewat lima puluh tujuh menit. Jarak dari perpustakaan ke kost yang ia tempati cukup jauh, ia akan memakan waktu satu setengah jam dengan Transjogja yang selalu ia pakai bila kemana-mana.

Berpamitan dengan buku dan memulangkannya kembali, ia berpamitan kembali dengan penjaga perpustakaan megah dan lengkap itu. Ia membuka payungnya dan menutupi kepalanya sambil berjalan hati-hati. Halte bus tidak jauh dari sini, ia akan mempercepat langkahnya.

Ia memasuki halte dan memesan satu tiket Transjogja yang terkenal itu. Lalu ia merubah letak ia menunggu menjadi dibangku tunggu yang disediakan oleh pengelola. Hujannya masih sama seperti kemarin. Tenang, namun menciptakan genangan yang membawa sedikit arus kecil dijalan-jalan protokol kota. Rasya terkejut mendapati ponselnya berdering, mengartikan notifikasi pesan masuk.

Jangan lupa lusa kuliah pagi. Dosen datang jam delapan pagi.

Bus itu berhenti tepat ditempatnya. Rasya tersadar dan beranjak dari tempat duduknya dan segera memasuki bus itu untuk mencari tempat duduk yang nyaman. Ia duduk sendiri, samping jendela bus yang mengembun karena hujan. Lelahnya menjadi mahasiswi sudah dirasakannya belakangan ini. Gelar 'Mahasiswi' yang dianutnya seakan menjadi bumerang baginya. Dahulu ia sangat ingin menyelesaikan sekolahnya dan menjadi tetua dari murid. Namun, nampaknya ia mulai merindukan masa-masa sekolahnya. Terutama masa SMA tahun lalu yang masih membekas dipikirannya.

Tentang Lupi yang meninggalkan Jakarta untuk Semarang, Jody yang mengikuti nasibnya di Depok, Liany yang terbang ke Amerika, Fathur yang menguatkan imannya di Demak, dan Rasya yang mendarat di Yogyakarta setengah tahun yang lalu.

Katanya Jogja kota kenangan.

Penuh romansa.

Dan penuh dengan manisnya gudeg.

Semua, belum Rasya rasakan.

Yang ia rasakan hanya senja yang selalu Rasya tunggu untuk mencurahkan segala puisi jiwa yang dimilikinya.

"Boleh saya duduk disini?" suara bariton milik lelaki yang mengejutkan Rasya. Lelaki itu tampak seperti anak kuliahan yang sibuk. Mungkin juga dia bekerja, karena Rasya menebak dari kemeja putih yang dikenakannya.

"Silahkan," menggeser sedikit lagi dari tempat duduk semula, Rasya makin memeluk erat tas ransel berwarna putihnya. Atmosfer disekitarnya serasa menghujamnya dengan hujan yang turun semakin deras. Payung biru yang disandarkannya didepan bus dekat pintu masuk nampak rela menyendiri untuk pemiliknya. Hujan masih setia menemani. Tidak peduli sebecek apa atap Transjogja sekarang, air penuh rahmat itu masih betah mengguyur kota manis ini.

"Mau kemana, Mbak?" Rasya menoleh saat ditanya seperti itu. Manik lelaki itu penuh dengan tatapan teduh dan menyejukkan. "Saya, ingin pulang ke kost. Mas?"

"Saya juga ingin pulang. Ah, saya tidak setua itu."

Rasya mendelik sebal. Memangnya aku setua apa pula dilihatnya?

"Umur saya 20 tahun. Kamu?"

"Sama. Saya juga. Kita, seumuran."

"Wah, saya punya teman baru di Transjogja." Lelaki itu tertawa kecil saat mendengarnya. Sederet gigi putih bersih nampak dari bibirnya yang tipis. Kumisnya juga tidak kalah tipis. Namun, alisnya tebal dan sangat indah. Sama layaknya alis Rasya. "Nama kamu siapa?"

Rasya tersenyum saat ditanya namanya. Lelaki itu saat berdiri terlihat gagah dan tegap. Mungkin mantan pembaris. Entah pramuka atau paskibra disekolahnya dahulu. Dipikir-pikir, mungkin tingginya 180 cm. Tinggi yang cukup proporsional disandingi dengan tubuhnya yang tegap berisi.

"Saya Rasya."

"Saya Rama."

Dua insan tersebut sedikit termangu dengan pernyataan dari masing-masing pihak.

Rasya dan Rama.

"Semoga kita bisa bertemu lagi dilain waktu untuk lebih dekat, Rasya."

Sore itu, langit Jogja meredup. Cahaya mentari tidak lagi menyenter kehidupan dengan segala kekuatannya lagi. Mungkin, mentari sedang menyiapkan cahaya dan energi yang lebih besar dari hari ini.

Seperti Rasya dan Rama. Yang menyiapkan pertemuan kembali untuk mendapatkan pengenalan lebih lanjut.

Semoga, semesta menyetujui dan merestui perkenalan mereka.

Tentang Transjogja yang menjadi peneduh jiwa dan raga mereka.

Tentang payung biru yang menjadi saksi bisu pertemuan mereka.

Tentang hujan yang menjadi penyejuk hati diantara mereka.

Dan, tentang Yogyakarta.

Kamu dan JogjaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang