Just One

154 12 1
                                    

Sudah puluhan tahun yang lalu ketika aku bertemu dengannya, seorang perempuan yang sangat cantik dengan senyuman yang indah. Dia selalu tersenyum kepada siapapun, ketika dia bersama dengan temannya atau kepada orang asing yang menanyakan jalan. Aku selalu memperhatikannya dari kejauhan karena terlalu malu untuk berbicara dengannya. Sudah lama aku menyimpan ketertarikan ku kepadanya. Cukup aneh bukan, aku melihat seseorang yang tidak kukenal namun aku tertarik kepadanya. Lalu pada suatu hari aku merasa ada yang berbeda dari diriku. Aku merasa lebih berani. Akupun memutuskan untuk menyapanya dan menanyakan namanya. Aku melangkah ke depannya yang sedang duduk di bangku taman dan membaca buku sendirian. 'Hello' sapaku. Ia mengangkat kepalanya dan menjawabnya 'Hai' dengan senyuman yang menempel di wajahnya. Ini merupakan pertama kalinya aku bisa melihat wajahnya dari sedekat ini dan sejelas ini. Sudah kuduga dia wanita yang cantik. 'Hari yang indah' Kataku untuk memecah kesunyian. 'Iya' Balasnya singkat. 'Boleh aku duduk?' Tanyaku. 'Ah, silahkan' katanya sembari memasukkan buku yang ia baca ke dalam tas. 'Boleh aku tahu siapa namamu?' Ini mungkin kata yang paling berani yang bisa kuucap. 'Jane' balasnya. Sungguh nama yang indah. Pada siang itu angin memenuhi setiap sudut kota dan taman, meniup daun yang membuatnya berjatuhan ke bangku yang kududuki. Itu merupakan pertama kalinya aku berbicara dengannya. Waktupun berlalu aku semakin akrab dengan dia dan tahu lebih banyak tentangnya. Tentang dia dan teman masa kecilnya yang masih bersahabat sampai sekarang. Ia selalu menceritakannya dengan penuh semangat walaupun aku tak pernah menanyakannya. Kurasa aku tidak perlu tahu apapun tentang dia, yang kutahu hanyalah aku mencintainya dan dia mencintaiku apa itu semua tidak cukup untuk mengisi hari yang kulalui? Semakin banyak hari yang kulalui semakin banyak pula hal yang kutahu tentang dia, tanpa kusadari aku telah tahu lebih banyak mengenai dia daripada dia mengenalku. Aku selalu mencatat hal-hal yang dia ceritakan di sebuah buku yang sekarang sudah penuh dengan coretan tinta hitam dan biru. Lalu pada suatu siang yang panas disaat kami berdua duduk di bawah pohon menikmati makan siang aku menyadari dia lebih sunyi dari biasanya. Aku memutuskan untuk menanyakannya 'Ada apa?' tanyaku. 'Ayo kita menikah' sorotnya tajam kepadaku. Aku bisa melihat matanya yang kecokelatan menembus mataku. 'Maaf aku tidak bisa' Jawabku dengan penuh penyesalan. 'Kenapa?' matanya menyala penuh keheranan. 'Tanggung jawab ini terlalu besar untuk pria miskin seperti ku' Kujawab sambil melihat langit. 'Tak apa, aku mencintaimu' Jawabnya penuh dengan kepolosan. Ini merupakan tanggung jawab yang terlalu besar untukku. Aku terlalu takut untuk membuatnya kecewa dan diiringi kesusahan karena diriku. Dia terlalu indah untuk dikotori kemiskinan dan terlalu mulia untuk kesusahan. Dia menunggu jawabanku dengan senyuman seperti biasa. Aku menatap wajahnya dan menjawab 'Baiklah, tapi setidaknya biarkanlah aku memasang cincin di jari manismu. Agar kau tetap terlihat indah dan menawan ketika berada di sampingku'. Dia tak menjawab apapun dan hanya tersenyum, senyuman lebar seperti biasanya.

Hari demi hari dan minggu demi minggu berlalu. Aku bekerja keras demi dirinya. Aku hanyalah anak dari seorang penebang pohon di pinggiran kota. Aku bekerja di sebuah perusahaan kayu di dekat rumahku sebagai pekerja berat. Gaji yang kecil dan beban kerja yang berat merupakan tantangan yang besar. Namun sejak dari hari itu dia Jane selalu menemuiku di sore hari. Senyumannya selalu menghapus kepenatan yang kulalui. Siklus itupun berlalu untuk waktu bertahu tahun. Sampai pada suatu siang aku memiliki uang yang cukup untuk membeli satu, hanya satu cincin emas. Aku mengayuh sepeda ku dengan muka yang tersenyum dan berhasil mendapatkannya di sebuah toko emas di kota, sebuah cincin emas dengan permata kecil di atasnya. Aku bergegas berlari ke rumahnya dan mengetuk pintunya, lalu seorang pelayan masuk dan mempersilahkanku masuk. Aku memasuki kamarnya dengan kantung plastik dengan cincin yang kupegang di tangan kanan. Aku melihatnya terbaring di kasur di samping jendela dan seorang dokter di tempat duduk di sampingnya. Aku menghampirinya dan berlutut di sampingnya dengan perasaan yang penuh horor. Wajahnya terlihat pucat berbeda jauh dengan wajah yang biasanya terihat. Bibirnya pun berwarna keputihan dengan pecahan kulit yang merebak. Aku memang tangannya yang sekarang dingin dan kaku. Aku melihat ke arah dokter yang berdiri di sampingku walaupun aku sudah tahu apa yang terjadi di ruangan kecil yang lembab ini. Dirinya yang kucintai, dirinya dengan senyuman yang indah dan menawan sekarang sudah hilang. Hilang dari dunia ini dan hilang dari duniaku untuk selamanya. Tangisku tak tertahankan lagi dan mulai berjatuhan ke atas kening nya dan menciumi pipinya. Aku mencintaimu, aku mencintaimu, aku mencintaimu. Hanya kata itu yang bisa kuucapkan.

Ini hanyalah sebuah kenangan dari seorang pria tua yang akan segera mati. Aku menulisnya di kamarku di samping cahaya matahari yang menembus jendela di depanku. Aku tidak tahu mengapa aku kembali mengingat kenangan tua ini, kurasa ini semacam peringatan untukku. Pagi hari tadi aku mengingat semua kejadian ini seolah baru terjadi kemarin. Sekarang aku hanyalah seorang pria tua yang miskin dengan sebuah cincin yang mengingatkanku tentangnya. Wajahnya yang merona di hadapanku, keantusiasannya saat bercerita di siang yang cerah, Atau bahkan senyuman pertama yang dihadapkan kepadaku di bangku taman di bawah guguran daun kekuningan yang masih sangat berbekas dalam benakku. Senyuman yang mengisi hari-hari ku, senyuman yang selalu kubayangkan sendirian di siang hari di teras, dan senyuman yang selalu ada dalam mimpiku. Wahai cintaku, aku sangat ingin menemuimu dan memegang tanganmu dan memelukmu erat. Namun, untuk sekarang biarkanlah aku melihat senyumanmu dan biarkanlah aku tertidur, tertidur dalam kegelapan yang pekat bersama dengan senyumanmu.

Catatan TerakhirTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang