Buku yang sepersekian detik tadi terjatuh, sempat menyita fokus. Alih- alih bukannya mengambil buku yang terjatuh, mata gue menangkap visualisasi lain yang lebih menarik. Buku yang tidak sengaja terjun bebas dari rak best seller itu terjatuh lewat tangan gue dan berhenti di hadapan laki-laki dengan buku di tangannya. Tangannya cepat menangkap buku yang gue jatuhkan tadi, dengan sekejap gue tegakan tubuh gue serentak dengan gestur tangannya yang sekarang menjulur kearah gue dengan buku tadi.
Dalam detik kelima, manik mata gue bertemu dengan manik matanya. Tanpa kata, secara singkat, manik matanya memenjarai gerak tubuh sampai menerima uluran tangannya yang berisi buku saja tidak mampu. Tangannya ia gerakan kearah gue sekali lagi, menegaskan kalau gue harus cepat ambil buku yang gue jatuhkan tadi.
"Lo cowok yang waktu itu kan?" Kata gue yang tidak menghiraukan tangannya.
Si lelaki diam, masih keras mempertahankan uluran tangannya. Gue gak mau menyerah, gue puter otak buat mempertahankan dia lebih lama. Ini kesempatan gue.
Laki-laki itu menegaskan uluran tangannya yang berisi buku itu untuk ketiga kalinya, kali ini dengan tegas. Tapi, gue masih kekeuh untuk memepertahankan waktunya kali ini.
"Nama lo siapa deh?"
Dengan tangannya yang meletakan buku yang terjatuh seperkian menit lalu ketempatnya semula, adalah jawaban kalau dia give up sama uluran tangannya yang gak gue terima. Bukannya gak mau terima tapi gue butuh waktu dia lebih lama kali ini. (setelah pertemuan terakhir gue gak dapet namanya).
Buru-buru gue raih buku tadi, kali ini gue gak menjatuhkannya. Dan bergegas mengejar dia,
"Lo suka Supernova juga??"
Si lelaki mengangguk, ternyata pertanyaan basi yang diajarin Rena ngaruh juga. Walaupun cuma dibales dengan tiga detik anggukan kepala.
"Oh, suka buku yang keberapa?"
Gue meluluhkan segala harga diri gue sebagai seorang Kencana Lituhayu, hanya untuk mendapatkan nama seorang laki-laki yang bahkan gue baru kenal di kereta satu minggu yang lalu. Pasti gue udah gila.
Belum juga laki-laki itu berniat menjawab, suara perempuan dari arah kanan sontak mendistraksi momen kami.
"Mas..." Bunyi suara perempuan itu, yang perlahan sosoknya mendekati.
Laki-laki yang di panggil 'mas' menoleh kemudian menghampiri perempuan dengan seragam putih abu-abu. Oh, pacarnya anak SMA? pikir gue dalam hati.
Entah kenapa dugaan gue kuat soal perempuan itu adalah pacarnya. Meskipun secara teknis bisa saja adiknya, sepupunya, atau temannya mungkin. Tapi, dugaan tentang perempuan itu pacarnya terlalu memenuhi isi pikiran gue, sekarang malah udah menjulur ke seluruh otak yang berakhir dengan tubuh yang gak mau di ajak kerjasama lagi (alias diam).
Dalam detik itu juga gue menarik diri dan segala imajinasi gue yang selama ini hinggap di otak tentang dia. Mungkin, kisah gue dan dia hanya sampai disini.
KAMU SEDANG MEMBACA
Elektra
General FictionElektra/Electra : means sparkling or the fiery sun in Greek. (original photo in cover by Citrine)