Siang hari di Jakarta memanglah situasi yang dihindari banyak orang untuk berpergian melakukan aktifitas. Begitu juga gadis 21 tahun tersebut, namun tentunya hal itu tak dapat ia hindari akibat pekerjaannya yang hanya sebagai karyawan magang perusahaan property dan obat - obatan, Chad's Corp.
"Hey, Olive. Ini jam makan siang, lebih baik lo istirahat dulu terus makan sama gue!", Teriak seorang pria berjarak sekitar 5 meter dari lobby perusahaan.
"Oh Hai Dan's. Hmm lo lupa kalo gue ini cuma seorang pegawai magang? Kalau semua berkas ini gak sampai di tempat tujuan dalam kurun waktu 1 jam dari sekarang maka gue harus siap – siap didepak dari sini ugh!" Jawab Olivia setengah merengut kesal.
"Setidaknya pikirkankan kesehatan lo juga, toh berkas ini bisa menunggu kan?"
"Hmm yaa lo bisa bilang kayak gitu karena bukan kau yang ada di posisiku. Sudahlah gue pergi dulu. Ini masih jam makan siang dan jalanan Jakarta gak mungkin berbaik hati memberikan gue celah untuk lewat. Pergi dulu ya. Bye bye.", cerocos Olive sambil mencium pipi Daniel dan berlalu menaiki angkot yang distopnya.
Begitulah hubungan mereka seperti layaknya sepasang kekasih, padahal hanya hubungan pertemanan. Theres No Friendship Between Woman and Man. Sepertinya kata – kata tersebut tidaklah berpengaruh bagi mereka. Hubungan persahabatan yang telah dijalin semenjak kuliah tersebut murni tanpa adanya campuran perasaan yang melebihi batas perasaan antara sahabat yang sudah seperti saudara.
Olive, merupakan gadis belia yang baru saja menyelesaikan kuliah nya dari salah satu perguruan tinggi negeri di Jakarta dengan predikat cumlaude sebagai sarjana ekonomi. Hal tersebutlah yang membawanya magang di salah satu perusahaan property dan obat terbesar di Indonesia ini. Pribadinya yang humble dan ceria menjadikannya mudah untuk bersosialisasi dan disukai banyak orang. Bahkan, akibat sifat inilah Olive dan Daniel dapat berteman akrab dimana persahabatan mereka yang diawali sejak Daniel yang menjadi kakak tingkatnya dan mengharuskan mereka untuk bekerja dalam suatu kepanitiaan.
***
Tepat Pukul 14.35 Olivia telah menjatuhkan pantat ke kursi kubikel nya pada divisi pemasaran. Dengan peluh yang masih membanjiri wajah dan tubuhnya akibat berpanas – panasan, ia langsung menenggak segelas air yang ia siapkan tadi pagi dan dengan sigap juga ia mengambil kotak bekalnya yang berisi nasi goreng dan memakannya dengan lahap akibat jam makan siangnya yang direnggut paksa.
Setelah makanannya ludes dalam kurun waktu 10 menit, ia pun sedikit bersendawa. Kebiasaan yang ia lakukan saat makan sendirian dan merasa sangat kenyang. Sambil mengelus perutnya yang terasa begah, ia menyandarkan punggung nya pada sandaran kursi sambil sedikit memejamkan matanya, melepas high heels dan meluruskan kakinya yang terasa sangat pegal akibat berjalan kesana kemari sejak pagi. Tak sengaja, kakinya menginjak sebuah map yang terlihat seperti dokumen penting berwarna coklat. Namun anehnya, dokumen tersebut ditujukan untuk dirinya. Dengan perasaan yang bercampur aduk ia mencoba untuk membuka dokumen tersebut.
.
.
Terperangah. Bahagia. Kecewa. Marah. Sedih. Semuanya bercampur menjadi satu dalam jiwanya. Sebuah surat yang berhasil membuatnya tak berkutik bahkan terpaku tak percaya. Surat yang selama ini teramat sangat diinginkannya. Surat yang pengirimnya sangat ingin diketahui olehnya.
.
.
.
.
Surat dari Sang Ayah
***
Suasana hening menghiasi ruangan khusus dokter senior di salah satu rumah sakit terkenal di Jakarta. Anehnya, disana duduk seorang pria tampan sedang serius menekuni berkas riwayat kesehatan seorang pasien.
Seorang pasien dengan penyakit jantung yang sudah sangat parah. Tapi tak satupun ada sanak keluarga yang menemaninya. Ia datang ke rumah sakit ini seorang diri dengan segepok uang untuk biaya perawatannya.
Namun, seiring berjalannya waktu uang itu tentu saja sudah habis, sedangkan kondisi pasien terus menurun dan mengharuskannya menjalani operasi.
Operasi tentu saja tidak memerlukan biaya yang sedikit, tapi apa yang bisa diharapkan pada seorang pria tua sebatang kara dan sedang terbaring lemah di salah satu tempat tidur rumah sakit, tanpa sanak saudara, tanpa pekerjaan, dan kehabisan biaya.
Poor, man! – piker sang dokter.
Terdengar suara ketukan di depan pintu ruangannya, dan ia mempersilahkan orang tersebut untuk masuk
"Selamat siang, Dok. Apakah dokter memerlukan bantuan saya? Tadi saya diberitahu kalau dokter memanggil saya", ucap seorang yang masuk kedalam ruangan tersebut yang disambut dengan senyum oleh sang dokter.
"Suster, Hanna. Tolong urus segala urusan administrasi yang berkaitan dengan pasien dengan nama Damian Westbrook. Aku akan membayar segala administrasi yang diperlukannya dan segera kita dapat melaksanakan operasi agar dapat menyelamatkan hidupnya." Ucap dokter tersebut sambil tersenyum menunjukan lesung pipinya.
"Apakah anda yakin, dok? Biayanyasangat banyak dan dia tid ....",
"Sudah lakukan saja apa yang aku katakana, suster" Dengan cepat sang dokter menyela perkataan suster yang telah berumur setengah abad dan telah dianggap sebagai ibu angkatnya.
"Baiklah, dokter. Kau sangat baik hati.", ucap Suster Hanna sambil membalas senyuman sang dokter.
"Jangan terlalu formal, suster. Kau tau kan aku tak menyukai itu.", ucap pria itu sambil pura – pura memberengut kesal.
"Baiklah, saya pergi dulu ya untuk menyelesaikan apayang kau perintahkan", ucapnya berbalik pergi dan menutup pintu di belakangnya.
Suster Hanna terheran dengan kelakuan dokter tampan tersebut. Dokter Devon yang menjadi primadona semua orang yang menempati dan mengunjungi rumah sakit ini. Selalu menyapa dengan ramah semua yang ia temui di rumah sakit ini, dengan menebarkan senyum hangatnya tanpa membeda – bedakan. Apalagi dengan lesung pipi di kedua sisi pipi tirusnya, menambah nilai ketampanan seorang Devon River.
Kebaikan hatinya juga membuat semua orang makin menyukainya, seperti saat ini dimana seorang pasien yang hidup sebatang kara dan membutuhkan biaya untuk operasi, maka ia tak segan – segan untuk membantunya. Tak hanya kali ini ia berlaku seperti itu, sudah beberapa kali dan ia membebaskan mereka tanpa terlilit hutang sepeserpun.
Tapi, semua orang mengenalnya sebatas itu. Tertutupi oleh senyum manisnya yang menghangatkan siapapun yang melihatnya. Tak apa baginya, dan itu tentunya tidak membuatnya merasa rishi, dan ia selalu berharap...
Lebih baik semua orang tetap mengenalnya yang seperti ini

KAMU SEDANG MEMBACA
I'm S(l)ave
RomanceBagaimana jika kehidupanmu yang tenang terganggu oleh seseorang yang tak pernah menganggapmu ada? Bagaimana jika kau harus merelakan kehidupanmu yang tenang untuk menyelamatkan seseorang yang tak menghargaimu? Bagaimana jika kau dihadapkan deng...