Part 2

37 6 0
                                    

Dalam sekejap cahaya itu hilang, kulihat ruangan gelap dengan sedikit cahaya rembulan yang menyelinap masuk lewat jendela. Kusadari mataku sudah kembali melihat kenyataan. Suara teriakanku memanggil Mama masih terngiang di telingaku. Setetes air terasa mengalir menuruni pipiku. Aku segera mengambil ponselku dan memutar rekaman suara nyanyian Mama yang merdu. Aku duduk di tempat tidurku, memeluk kedua kakiku yang kutekuk, mataku yang tak berhenti berair memandangi langit yang kini kehilangan kerlip bintangnya, menyisakan bulan sabit yang menyinari kegelapan malam ini sendirian.

" 'Cause I'm leaving on a jet plane, don't know when I'll be back again. Oh, Babe, I hate to go," suara Mama membuat tangisanku semakin menjadi-jadi. Mendengar lirik itu dinyanyikan terasa seperti ucapan selamat tinggal Mama untuk selamanya. Walau tiga tahun sudah berlalu semenjak kepergiannya, aku masih belum bisa menerimanya. Aku menyalahkan diriku yang masih kecil dan tak bisa berbuat apa-apa ketika Mama tiba-tiba jatuh pingsan. Terlebih lagi Papa yang selalu pulang larut malam, membuat Mama terlambat mendapat pertolongan. Meskipun sekarang aku tahu Mama selalu menyembunyikan rasa sakitnya, tetap saja aku menunjukkan kemarahan yang besar terhadap Papa.

Setelah tangisanku mereda, aku beranjak ke balkon untuk menghilangkan ganjalan di hatiku. Namun, langkahku berubah haluan setelah aku melihat cahaya dari lantai bawah. Jam ponselku menunjukkan pukul setengah tiga pagi, terlalu dini untuk Papa bersiap menuju kantor. Pasti ada hal lain yang sedang dilakukannya.

Aku menuruni tangga perlahan-lahan. Kulihat Papa sedang sibuk dengan tumpukan kertas dan laptop di meja kerjanya. Aku terkejut melihatnya belum beristirahat sampai sekarang. Menyadari ada gerakan di sampingnya, Papa menoleh ke arahku. "Anna? Belum tidur?" tanyanya. "Kebangun, aku mimpi buruk," jawabku sambil menuruni tiga anak tangga yang tersisa. "Mimpi apa?" balas Papa. "Suasana pas Mama pergi," kataku sambil memandangi langit melalui jendela di depan meja Papa.

Terdengar Papa menghela napas panjang. Kurasakan keheningan malam yang seakan-akan menjebakku dalam kegelapan. Semenjak aku kehilangan Mama, aku hampir tak pernah berbincang dengan Papa. Tetapi, kali ini aku merasakan ada yang berbeda. Biasanya Papa akan berusaha membuka pembicaraan walau aku menanggapinya dengan dingin. Aku tak tahu apakah karena sebegitu sibuknya ia sekarang atau ada suatu hal yang ia tak yakin untuk membicarakannya. Aku berbalik dan mengambil gelasku di meja makan untuk menutupi suasana canggung ini. Sempat tertangkap oleh mataku, Papa hanya diam dan tidak mengurusi pekerjaan yang tersaji di depannya. Kuteguk perlahan air minumku, kudengar suara Papa yang sudah membuka mulutnya untuk memanggil namaku, "Anna..."

Matahari MalamTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang