Satu: Dia, Si Pemarah

31 3 12
                                    

"Ta, bawa payung, nggak?"

Atta menoleh dan mendapati Anja, kakak kelasnya mendekat padanya. Pemuda berambut cepak itu tersenyum dan berdiri di sebelahnya.

Menggeleng, Atta kembali menatap langit, bergumam kesal merutuki hujan.

"Gue juga nggak," ujar Anja, sedikit berteriak mengimbangi deru hujan di hadapan mereka. Ia menadahkan tangan, memainkan tetesan air yang mengalir dari atap kelas Bahasa tempat mereka berdiri. "Pernah mandi hujan, nggak?"

Sekali lagi Atta menggeleng. "Nggak pernah lagi sejak SD," sahutnya. Ia masih ingat sejak terakhir kalinya basah-basahan di antara gemericik air hujan, ibunya marah karena ia terkena flu berhari-hari setelah itu.

"Mau coba lagi?"

Tentu saja Atta langsung menggeleng. Ia tidak mau merepotkan ibunya jika ia jatuh sakit lagi. Meski hanya flu, wanita itu akan sangat khawatir dengan keadaannya, bahkan bisa sampai tidak bisa tidur karena memikirkannya.

"Yah ... sayang banget." Anja menghela napas. "Padahal mau ngajak pulang bareng."

Atta terkekeh. "Kalo Kakak mau duluan, duluan aja. Aku nunggu hujannya reda, deh."

"Lama, Ta. Masih lebat gini. Keburu maghrib ntar."

Atta tersenyum. Pemuda bermata teduh itu selalu saja perhatian padanya, bahkan sejak MOS. Anja adalah kakak pembimbing di timnya dulu. Kakak pembimbing yang sangat menyenangkan. Anja mengayomi anggota tim dengan penuh perhatian dan kepedulian yang tinggi.

Atta mengaguminya sejak hari itu. Atau malah menyukainya? Entahlah, ia tak tahu pasti. Yang jelas ia ingin sering mengobrol dengan pemuda itu. Karena itulah, ketika Anja masih mengenalinya setelah MOS dan menyapanya, Atta senang luar biasa. Sampai sekarang, saat ia sudah naik ke kelas sebelas. Ia tetap bahagia saat Anja mengajaknya bicara.

"Nggak apa, Kak. Kan rumah aku dekat. Sepuluh menit naik transmetro juga sampai," ujarnya kemudian.

"Ya udah, kalo gitu gue duluan deh, ya." Anja menepuk-nepuk pelan puncak kepala Atta. "Hati-hati lo pulangnya ntar." Pemuda itu kemudian berlari menerobos hujan.

Atta mendesah. Ada sedikit perasaan kecewa ketika Anja tak bersamanya lagi. Sebenarnya ia ingin mengobrol lebih lama lagi dengan pemuda itu. Bicara dengan Anja begitu menyenangkan.

Ia mengulurkan tangan, menyentuh air hujan seperti yang tadi dilakukan Anja. Terasa dingin, juga geli. Sudut bibirnya terangkat ketika merasakan perasaan senang menjalarinya.

"Kayak anak kecil aja lo mainin air hujan kayak gitu."

Atta terperanjat kaget mendengar ucapan itu. Ia menoleh dan langsung merengut begitu mengetahui orang yang mengucapkan kata-kata itu. "Bukan urusan kamu," katanya seraya menurunkan kembali tangannya. Rusak sudah suasana hatinya.

Dia Nugi. Orang yang sudah menjadi teman sekelasnya sejak  kelas sepuluh. Entah mengapa mereka selalu saja ditempatkan di kelas yang sama, padahal sudah tiga kali kelasnya melakukan rolling student. Entah takdir atau malah petaka.

Masalahnya, Nugi adalah pemuda kasar yang tak tahu makna "ramah tamah". Ia selalu saja bicara seenaknya pada Atta, kasar dan penuh nada sarkas.

Hal yang lebih mengesalkan lagi adalah Nugi menjabat sebagai ketua kelas, membuat Atta yang merupakan orang ceroboh sering mendapat umpatan pemuda itu.

Atta masih ingat ketika ia lupa menyimpulkan tali sepatu, Nugi berteriak keras dan memarahinya. Juga ketika ia terlalu lama memilih menu makanan di kantin, Nugi mengumpat dan mengatakan ia memperlambat antrian. Bahkan Nugi pernah menceramahinya habis-habisan ketika ia lupa membawa buku paket. Pemuda itu mengatakan Atta membuat kedisiplinan kelas menjadi buruk di mata guru.

Menyebalkan sekali. Apa pun yang dilakukan Atta selalu salah di mata pemuda itu, membuatnya selalu menghindari Nugi. Satu hal yang pasti, ia tidak menyukai pemuda itu. Takkan pernah.

"Pulang, sana," titah Nugi seenaknya, membuat Atta mendelik kesal.

"Kamu aja yang pulang, sana!" geramnya. "Ngapain ngurusin orang!"

"Lo gangguin pandangan gue. Mata gue sepet."

Astaga, orang ini!

"Kalo gitu jangan berdiri di sini! Cari tempat lain, sana!" Atta kembali menggeram jengkel. Pemuda ini sama sekali tak ada manis-manisnya! Hei, bahkan dia bukan pemuda yang tampan! Tak seperti Lee Jong Suk, salah satu aktor Korea idolanya.

"Di mana pun gue berdiri gue tetap aja ngeliat lo." Nugi mendengus.

"Hee...?" Atta menautkan alis. "Kalo gitu jangan ngeliat aku!"

"Gimana caranya? Lo berdiri di tempat yang strategis banget untuk diliat dari segala arah."

Oke, orang ini benar-benar menyebalkan.

"Tutup mata kamu dan jangan lihat aku!"

"Siapa yang sudi ngeliat lo? Lo aja yang pengen diliat."

God, God, God, just kill him right now!

"Terserah!" Akhirnya Atta menyerah untuk terus berdebat. Ia bisa terkena hipertensi jika terus beradu argumen dengan pemuda itu.

"Makanya, pulang. Biar nggak gangguin pandangan gue."

Hih!

"Aku nggak bawa payung dan Ibu ngelarang aku hujan-hujanan! Puas dengan jawabannya? Sekarang biarin aku nunggu hujan reda tanpa harus dengerin kamu ngomel!" Atta meradang. Ia sudah ingin menelan pemuda itu sekarang.

Nugi diam. Pemuda itu kemudian mengeluarkan sesuatu dari dalam tasnya. Payung.

"Nih." Ia menyodorkannya pada Atta.

"A-apa...?" Atta mengerjap.

"Apanya yang apa? Lo pake buat pulang. Gue nggak mau lama-lama liat lo di sini." Nugi menatapnya tajam. "Gue bisa kena katarak kalo ngeliat lo terus."

Makhluk menyebalkan!

"Y-ya udah!" Atta merampas payung itu. Ah, mengapa ia tiba-tiba menjadi gugup begini? "Kalo gitu aku pulang dulu!"

Ia baru saja membuka payung itu dan hendak melangkah ketika Nugi tiba-tiba menarik tangannya, membuat tatapan mereka bertemu dalam jarak pandang yang sangat dekat.

"A-apa lagi?" tanya Atta dengan suara bergetar. Jangan bilang Nugi hanya bercanda akan meminjamkan payung!

Nugi menyentuh gagang payung, menatapnya tajam.

Atta malah semakin merasa horor. Jangan-jangan pemuda ini malah ingin pulang berduaan dalam satu payung bersamanya?

"Buang pikiran bodoh lo itu," ujar Nugi tiba-tiba. "Gue nggak sudi berduaan sama lo."

Atta melongo. "K-kok ... kamu ... tahu...?"

"Bener, ya?" Nugi menyeringai. "Keliatan jelas dari tampang bego lo yang kelewat blo'on. Ngarep banget gue berduaan sama lo."

Sialan.

"Gue cuma mau bilang, jangan sampai ini payung rusak," ujar Nugi. "Bahkan lecet sedikit aja gue bakal telen lo idup-idup."

Atta mengerjap. Sebenarnya orang ini berniat meminjamkan, tidak? "O-oke...." Ia kemudian mengangguk.

"Satu lagi, besok harus lo kembalikan langsung. Lo nggak mau gue tenggelamin ke kolam renang sekolah, kan?"

Apa-apaan orang ini!

Atta mengangguk lagi. "Iya...."

"Bagus. Pergi sana." Nugi memajukan dagu, mengusirnya.

Merengut kesal, Atta melangkah meninggalkan Nugi.

Lihat saja, besok ia akan mengembalikan payung ini sebelum diminta! Sekaligus bonus jitakan di kepala pemuda itu!

>>ToBeContinued

March 17, 2017

You've reached the end of published parts.

⏰ Last updated: Mar 16, 2017 ⏰

Add this story to your Library to get notified about new parts!

Secret In The RainWhere stories live. Discover now