Prolog

26 2 0
                                    

***

Senyap.

Aku tidak mendengar apa pun. Tidak suara jangkrik, tidak juga bunyi gemericik air hujan. Perlahan, mataku mulai menyapu sekitar. Belum sepenuhnya mengerti dimana posisiku saat ini pun bagaimana bisa kakiku menjejak di atas rerumputan semacam sekarang.

Padang yang lapang dan terkesan lebih tinggi dari sekitar di bawah sana. Sejenak, aku yakin, ini bukit. Telingaku seakan tidak berfungsi, begitu pula dengan mulutku. Bungkam.

"Berbaliklah, Danara!" Tidak tahu mengapa mendadak gendang telingaku terasa bergetar dan satu rangsangan masuk melalui telinga. Seruan itu, aku tak tahu siapa tuannya. Yang jelas kalimatnya tertuju padaku.

Takut, jujur itulah yang kurasakan detik berikutnya.

"Siapa?" tanyaku ragu usai mendapati bahwa di sini tidak ada satu pun orang. Terpaku, dua kakiku mulai bergetar seiring rasa takut itu menyelubung.

Hening kembali.

Pandanganku masih setia menyapu sekitaran. Benar-benar lengang.

Sampai dikala suara gemerisik di balik punggungku terdengar merintih. Seakan mendayu melalui lubang pendengaran. Bunyi yang aku yakin bersumber dari dedaunan kering yang terinjak.

Pertanyaannya, kaki siapa yang menginjaknya?

"Serahkan benda itu!" Lagi. Suara misterius. Namun, dengan nada yang berbeda. Ini terdengar lebih dekat pun lebih nyata dari sebelumnya. Ragu-ragu, aku memutar badan dan seketika itu juga mataku seperti dibius oleh tatapan tajam sepasang mata seorang berambut panjang. Melihatnya, aku teringat soal film itu.

Kembali pada keraguan, dia laki-laki atau perempuan?

"Kau! Cepat serahkan benda itu!" tegas orang di hadapanku. Getaran di kakiku perlahan mulai menjalar ke bahu dan sekujur tubuhku. Dia laki-laki!

"Jangan takut, Danara! Tepislah jarak antara kalian secara perlahan! Mendekatlah ke arahnya. Kembalikan tatapannya. Itu kelemahannya."

Aku tidak mengerti semua ini. Mengapa suara itu lagi-lagi seperti menusuk-nusuk pendengaranku? Tidak ada siapa pun di sini. Aku mendongak ke atas. Satu yang meyakinkanku, bintang gemintang di atas sana tengah memperhatikanku, menatapku lewat kerlipnya. Seakan-akan mencoba berbicara padaku, menguarkan keberanian untukku.

Entah perasaan apa ini. Tiba-tiba suatu keyakinan hadir menelusup relung benakku. Kubiarkan diriku merasa yakin bahwa memang merekalah yang berbicara padaku. Ya, mereka. Bintang-bintang di langit kelam sana.

"Serahkan benda itu atau mati!" suara bariton itu kembali menggelegar. Kali ini mata panah mulai terpusat padaku, tepat di depan wajahku. Bahkan aku tidak menyadari jika sosok tampan di depanku membawa busur serta anak panahnya.

Bagaimana mungkin aku tidak merasa takut atau gentar?

Bahkan dengan tatapannya saja dia telah mampu hampir membunuhku, terbayang jika dengan benda yang digenggamnya, bukan?

Aku mengangguk. Bukan kepadanya, melainkan untuk meyakinkan diriku sendiri. Setidaknya untuk sekarang.

Perlahan, tetapi pasti. Langkahku mulai bergerak menepis jarak. Tatapanku berusaha menyerupai tatapannya. Aku menangkap gelagat keterkejutannya. Sungguh orang ini tampan sekali. Tanganku bergerak menyentuh panahnya, mulai menurunkan sasaran panahnya.

Mata kami terus beradu hingga kurasakan getaran di tatapannya. Perlahan-lahan tatapannya melembut.

Langkahku belum berhenti. Sampai ketika mata lelaki itu berpijar, memancarkan sinar keunguan. Sangat indah dan kusadari jika energiku seakan dilipatgandakan.

"Magenta," dia mendesis pelan tanpa melepas pandangannya dariku, "aku kakakmu," lembutnya dalam ketegasan. Satu yang aku pikirkan tentangnya. Laki-laki berambut panjang ini...

"Legolas?"

Dan aku terbangun!

MagentaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang