Aku tak pernah mengerti akan takdir yang sedang kujalani saat ini. Kehidupan yang tertutup dan terbelenggu. Meski banyak orang tetap berada disekitarku, aku tak pernah tahu apa mereka benar-benar menyayangiku. Terlebih jika mereka tahu siapa aku.
Aku. Monster yang membahayakan bagi mereka di sekitarku.
"Elsa –are you ready?"
Takut. Aku takut bertemu dengan mereka –rakyatku, di hari penobatanku sebagai seorang Ratu Arendelle. Berbeda, karena aku jauh berbeda dengan mereka. Ini seperti sebuah kutukan abadi yang mengalir dalam darahku. Bagaimana jika mereka tahu? Apa aku pantas menjadi seorang Ratu? Menghela nafas berat, aku menatap kedua tanganku di balik sarung tangan. Mereka sudah melekat di tanganku sejak aku kecil. Aku takkan pernah sudi mengambil resiko untuk melepaskannya, tapi aku terpaksa melakukannya –setidaknya sampai penobatan ini selesai.
"Elsa –"
Conceal. Don't feel.
"Yeah –open the gate."
Semoga keputusanku tidak salah.
Aku berputar dan melangkah menuju balkon, merasakan hangat sinar mentari yang menerpa wajahku. Lagi-lagi aku menghela nafas. Tidak seharusnya aku berada di posisi seperti ini. Sebagai seorang Ratu, aku harus berwibawa. Aku harus bisa melawan monster dalam diriku ini. Perlahan kulepaskan sarung tangan kananku dan mengenggam tralis besi –yang kemudian berubah menjadi es.
Oh God.
Don't let them know.
"Hey Elsa,"
Terburu-buru aku memakai kembali sarung tangan itu dan menghadap pada sosok yang kini sudah berada di depan pintu kamarku. Adikku sendiri. Kini hanya dia satu-satunya keluarga yang aku miliki. Aku sangat menyayanginya sebagai seorang kakak. Helai rambut kecokelatannya membuatku tersenyum –berbeda sekali denganku. Mendadak senyumku lenyap begitu melihat beberapa helai putih pada rambutnya. Aku lah penyebabnya. Kecerobohanku membuat dia hampir kehilangan nyawa. Sejak saat itu.. aku mulai membenci diriku sendiri.
"Get out from here, Anna."
Aku bisa melihat kekecewaan pada kilat matanya. Sejujurnya aku tak mampu menjadi seorang yang keras dihadapannya, tapi aku tak punya pilihan lain. Aku enggan melukainya lagi. Dia bergumam kecil, "Actually I'm just gonna say thank you so much because finally you told them to open the gate. It means everything to me. Okay, see you later then."
Turn away and slam the door.
Aku terhenyak sesaat setelah Anna menutup pintu kamarku, sebegitu egoiskah diriku hingga ia turut terjebak? Aku hanya menyembunyikan diriku dari seluruh orang. Anna tak seharusnya merasakan hal yang sama. Dia harus bebas. Dia harus bahagia. Dan lagi-lagi aku lah sosok yang membuatnya menjadi seperti ini. Aku tidak siap memimpin negeri ini. Aku hanya akan menghancurkan segalanya. Sudah cukup aku melukai Anna, tidak boleh ada orang lain lagi.
Ingin rasanya aku berteriak sekeras mungkin. Persetan dengan siapapun yang merasa terganggu karenanya. Aku muak dengan kondisiku. Bulir kristal es menyebar dari tubuhku seiring mereka mulai menutup pandanganku dari sekeliling. Harus kuakhiri –semua kutukan ini harus lenyap, bagaimanapun caranya. Perlahan tapi pasti, kekuatanku membentuk suatu ruangan kecil yang membeku –tak ada kristal biru, melainkan merah seperti darah. Kekuatan yang membahayakan semua orang.
Aku terkutuk.
"I'm such a fool!"
Ruangan itu kini meledak –es itu membekukan kamarku sendiri bersama dengan aksesoris interior di dalamnya. Merah. Tak ada cahaya apapun yang berani memasuki kamarku, mereka terhalang bongkahan es yang berdiri megah di depan jendela. Aku kembali berteriak, mengarahkan tanganku pada bongkahan itu hingga mereka hancur berkeping-keping.
KAMU SEDANG MEMBACA
Red and Blue; a Jelsa fan fiction
FanfictionRise of The Guardian and Frozen Crossover Fan Fiction in Bahasa. Using English but conversation only. cross-post :D