Asa Bukan Kelakar, Yah ...

74 4 7
                                    

ASA BUKAN KELAKAR, YAH ....
oleh : Aldi Mulyana Ramdan

Decak kagumku menyokong sengal yang menjadi rutinitas perlakuanku. Awak kumal ini baru saja telah melakukan narkose. Semua bilik dompet bututku perlahan berkarung vitamin yang berharga, melebihi mahalnya harga emas dan berlian —bagi sebuah benih asa yang kutanam sehari yang lalu. Aku memandangnya dengan sumringah. Benda yang sumirat dan luar biasa keasriannya mengantarkanku pada hamparan pasir dan kerikil cokelat tanpa mawas diri.
Mata sayuku perlahan terbelalak serta mulutku mulai tertawa. Tapi, sekonyong-konyong kakiku tersendat oleh sebongkah batu berkulit lumut. Bukan tawa lagi yang keluar melainkan riak hijau yang terlempar ke tanah lapang. Lembaran rupiah yang bersemayam dalam bilik dompet melayang cepat ke udara. Logam demi logam yang menyertai bergelinding lenggok menuju pusat lapangan.
Aku merayap menyenggol bocah-bocah untuk mengambil uang logamku. Seorang anak laki-laki menyentakku dengan keras, “Bego, apa yang kau lakukan di sini?”
Hanya bisu yang kubalas. Rangkakan ini semakin cepat untuk meraih logam putih mengkilapku.
“Are you crazy? Mengejar logam yang tak seberapa pentingnya, begitu dahsyat gerakanmu hingga mengganggu kami bermain,” ucap seorang anak yang tadi menyentakku.
Antara kuat dan lemah, tanganku menggenggam empat buah logam 500 rupiahan. Aku berdiri menghadap adikku, Usman. Tatapan Usman sangat asing di benakku.
“Apa? Kenapa Kakak senyum? Jawab ucapan Fadlan, Kak?" teriak Usman 5 cm dari daun telingaku.
Aku terperanjat tatkala suara bervolume tinggi itu membisingkan isi telingaku. Namun, sarafku mengeluarkan mental bodoh. Aku tersenyum sembari membuka dua magnet dompet yang menyatu. Magnet yang tak berpegang kuat pada kulit dompet itu kubuka dengan penuh keyakinan. Selembar uang kertas dengan nominal 50.000 kutarik dari bilik dompet dan kurentangkan di depan wajah Usman. Senyumlah, Usman! Ada apa ini?, gumamku dalam hati. Tatapan sepuluh bocah di sekelilingku sangat tajam menembus retina menjalar sampai otak. Aku mulai terpaku pada rentangan uang kartal biru yang menjadi akar kebahagiaanku sore itu.
Satu demi satu tatapan asing yang membuatku giris itu hilang tatkala tanganku menyelipkan selembar uang biru ke dalam saku celanaku. Mereka bergegas membagi dua kelompok sama rata untuk melanjutkan bermain.
“Saya orang kaya ... saya orang kaya,” serentak lima orang anak mengucapkan nada permainan itu sambil berpegangan tangan berjalan  maju ke hadapan kelompok miskin.
“Saya orang miskin ... saya orang miskin,” giliran kelompok miskin yang serentak berirama permainan itu sambil berpegangan tangan, berjalan maju ke hadapan kelompok kaya. Terus-menerus gerakan itu dilakukan oleh kedua kelompok dan bergiliran berirama.
“Saya minta anak ... saya minta anak,” irama kelompok kaya dengan wajah berseri.
“Namanya siapa ... ? Namanya siapa?” sahut kelompok miskin dalam berirama.
“Namanya Rudi ... namanya Rudi,”
“Rudi lekas pulang ... jangan kembali lagi!” Rudi bergegas pindah ke kelompok kaya. Sedangkan kelompok miskin tersisa 4 orang.
“SABODO ...  SABODO TEUING …. !” sahut kelompok miskin.
Hiruk pikuk suara sepuluh bocah itu menggema di tanah lapang Cimaja, Palabuhanratu. Satu demi satu kelompok miskin terkuras anggotanya. Hanya tersisa Usman di kelompok miskin. Barang siapa yang tak masuk kelompok kaya, ia harus mengambil anak-anak yang telah ditarik oleh kelompok kaya. Fadlan adalah induk kelompok kaya. Maka ia yang berada di depan, sedangkan anggotanya berderet ke belakang dari punggung Fadlan. Mereka bersiap melakukan masing-masing tugasnya. Dengan sigap, Fadlan merentangkan tangannya seraya menjaga anaknya agar tak ditarik Usman. Tak lepas dari keceriaannya, Usman mengejar kelompok kaya untuk mendapatkan kembali anggota kelompok miskin. Aku  memandangnya dengan senyuman sederhana. Tak kusangka Usman begitu ceria. Bola matanya tak nampak sedikit pun. Cairan putih bergelembung dengan lambat mengalir meraba-raba setiap pori-pori rangkaian kain hijau dekil yang mendekap lemah tubuhnya. Jijik .... ! Dagunya penuh liur. Kupastikan bau anyir menusuk hidungnya. Tentu, 6 hari hanya garam dan nasi di ambang kebusukan yang ia makan, kadang-kadang ditambah ikan teri. Hari ketujuhlah yang paling ia nantikan karena nasi goreng dapat ia cerna dengan lahap.
“Usman …. ! Ke sini sebentar!” teriakku sambil memindahkan uang Rp. 50.000 dari saku celana ke dalam dompet.
Kumpulan tawa tetap terdengar di telingaku. Tak kutemui lirikan ikhlas pada Usman. Akhirnya otot lurik mulai mengangkat tulang-tulang kakiku mendekat ke pusat lapang. Aku menjulurkan lenganku ke arah pundak Usman. Namun, tubuhku terlalu lemah untuk berpijak di tengah kerumunan bocah yang berlari-larian dalam permainan kaya-miskin itu.
“Aw .... !” jeritku ketika tubuh mulai beradu dengan tanah lapang.
Aku berteriak di tengah ketidakpedulian bocah-bocah itu, “Tidak ... uangku .... !!!”
Logam dan kertas berhargaku melayang, hilang dari genggamanku. Satu per satu alas kaki bocah-bocah menimbun uangku dengan hentakan berdebunya. Aku tak bisa meraihnya, hanya dompet butut tanpa resleting yang telah kurekatkan pada lima jemariku.
“USMAN .... ! BERHENTI …. ! STOP …. !” aku memecah keramian itu dengan sentakan yang begitu dahsyat pada adikku.
“Kakak apa-apaan ss .... ” sahut Usman dengan dahi berkerut. Aku memotong ucapan Usman dengan tamparan keras, “PLAAK .... !!!”
Seketika pipi Usman merah memar. Tangisan pun pecah dengan air mata yang deras mengalir. Usman berlalu dari hadapanku.
“Lihat ... ! Akibat Usman bermain dengan kalian, dia menjadi anak yang keras kepala. Apa sih mau kalian, hah?” tegasku pada 9 teman Usman.
“Kami butuh Usman untuk melengkapi kami bermain kaya-miskin,” jawab Fadlan dengan wajah santai.
“Jadi kalau kalian cukup anggota untuk bermain itu, kalian gak butuh Usman? Usman hanya ‘anak bawang’ kalian saja?” kataku penuh emosi.
“Tidak ju …. ” ucap Fadlan.
“Jadi Usman anak bawang saja?” lanjutku geram.
“Tidak juga, Usman memang kami butuhkan. Di samping kami cocok jadi kelompok kaya, Usman juga cocok jadi kelompok miskin karena sesuai kenyataan, kan?” jawab Fadlan sedikit emosi.
“Yuk, kita pulang! Hei, Kakak Usman, bilang ke Usman, besok kita main lagi!” Fadlan dan temannya perlahan menjauh dari hadapanku. Aku menatap ke bawah, tampak uangku tertimbun sedikit pasir. Tanganku mencoba meraihnya. Robekan-robekan terlihat jelas di permukaan uang biruku. Tak rikuh aku mengepalkan tanganku sekeras batu. Dengan cepat dadaku kembang kempis. Aku berlari tanpa lelah. Kubawa emosi ini ke gubuk yang tak jauh dari lapangan ini.
“Usman …. ! Di mana kamu .... ?”
“Kak, ampun. Pipiku sudah sakit, jangan pukul tubuhku yang lain,” isak Usman di bawah dipan.
“Kakak tidak akan pukul tubuhmu secara langsung, Usman. Pukul otakmu supaya sadar!” kataku sambil menarik tangan Usman agar keluar dari bawah dipan.
“Apa pun caranya, tolong jangan sakiti aku, Kak!” pinta Usman sambil beranjak duduk di atas dipan.
“Dengar, ya! Mulai besok, kamu tidak boleh bermain dengan mereka lagi. Kamu tidak sadar bahwa kamu sedang dibodohi mereka. Mau saja kamu masuk kelompok miskin. Mereka sengaja menempatkan kamu di kelompok miskin, itu tahap awal untuk membuat keluarga kita khususnya kamu, malu,” jelasku dengan telunjuk menegang ke arah dahi Usman.
“Tapi, Fadlan bilang, itu namanya jujur. Hidup nyataku miskin, dalam permainan aku pun harus miskin. Aku tidak mau melanggar janjiku dulu. Aku berjanji kepada Kakak, ayah, dan almarhumah ibu bahwa aku akan selalu jujur dalam hidup ini. Lagi pula, aku senang menjadi kelompok miskin yang kalah karena nantinya aku harus berusaha menarik anggota kelompok miskin yang sudah dipinta kelompok kaya. Itulah puncak keseruannya,” ujar Usman dengan sedikit isak.
“Eeehhh ... kamu ini keras kepala! Iya kita memang miskin. Ayah hanya seorang tukang pijat keliling yang penghasilannya tak menentu. Tapi, ah ... sudah ... pokoknya kamu gak boleh bermain lagi dengan mereka. Kalau kamu ketahuan main dengan mereka, Kakak akan siram kamu dengan air panas. CAMKAN .... !!!” kataku sambil menyenggol gelas berisi air dari atas dipan jatuh ke bawah. Aku langsung beranjak ke surau.
Daun-daun berguguran, bersantai di hamparan genting gubukku. Kadang tersapu oleh angin sepoi hingga  berjatuhan ke tanah. Terlihat bayangan daun yang berayun di udara seolah menggambarkan hatiku, suram. Terik matahari yang begitu menyengat. Padahal, sang surya itu telah berpijak di kaki langit barat.
Kukira dengan kenaikan gajiku bekerja di pabrik gorengan singkong, aku bisa bahagia. Harapanku mulai diisi hasil yang baik. Tapi, hari ketujuh ini lebih kelam bagiku dan Usman. Sebutir beras pun tak kunjung tampak. Uangku tersisa empat buah logam 500 rupiahan dan satu lembar uang bolong nan robek Rp. 50.000 rupiah.
***
Populasi parapati bebas mengelilingi dunia. Pawana kencang pun tak kuasa membuat mereka culas. Satu sama lain saling membantu, penuh kasih sayang. Sematung langit tak muncul di hadapan mereka karena mereka semanak. Langit pun mempersilakan mereka terbang sambil mencari makan.
Oh, Tuhan ... apa aku tak ramah? Apa semara yang Kau berikan hanya bayangan samar? Kapan aku bisa memenuhi asa kecilku? Kukira secepat kilat.
Semalam aku tak merasakan kehadiran Ayah. Dalam mimpi pun tidak. Kutunggu kehadiranmu di gubuk. Kalau masih tidak ada, berarti kau hilang.
Begitu mudah aku membiarkanmu hilang. Apa yang sedang terjadi denganmu? Firasatku berkata, ayah mendapat pelanggan banyak. Hingga ayah harus menginap di rumah orang yang ingin dipijat. Tapi, kurasa firasat itu lemah. Biarlah ....
Langkahku perlahan menghindari lumpur yang berserakan di pematang sawah. Mentari Sabtu menyorot jidatku hingga terpantul ke segala arah. Tubuhku yang bersimpah keringat akan segera sampai di lapang Cimaja.
Tampak dari kejauhan kerumunan bocah-bocah itu lagi. Timbul curiga dalam pikiranku. Aku segera mendekat ke pusat lapangan.
“Kakak baru pulang sekolah? Panas, ya, cuacanya,”
“Iya, kamu lagi main?” tanyaku sinis.
“Aku ... aku ... lagi .... ” ucap Usman gemetar.
“Iya, dia lagi main bersama kami. Apa salahnya, sih? Kamu pulang saja! Jangan mengganggu kami! Cepat, jangan banyak bacot!” seru Fadlan sambil berpangku tangan.
“Dasar anak tidak tahu malu! Aku akan laporkan kalian ke orang tua masing-masing. Usman, cepat panggil semua orang tua temanmu ini ke gubuk kita! Kalau tidak, Kakak akan siram kalian semua dengan air panas. Ingat! Kakak tidak pernah bohong. CEPAT .... !” kataku terbangun emosi.
Aku menyeret 9 teman Usman ke gubukku. Setelah 20 menit, aku sudah bertatap wajah dengan para ibu dari 9 anak yang kuseret.
“Ibu-ibu, maafkan saya karena telah melakukan hal ini. Saya harap Ibu-ibu dapat mendidik anaknya dengan baik. Untuk apa kita kaya raya kalau diri kita tak bermoral. Anak-anak Ibu sudah kelewatan. Mereka sudah tidak sopan terhadap orang yang lebih tua dan memperlakukan adik saya seenaknya saja. Saya melarang Usman main dengan mereka karena kemiskinan kita diperlakukan seenaknya. Untuk lebih jelas tentang perilaku anak Ibu, tanyakan saja pada anaknya masing-masing. Pokoknya sekarang saya ingin Ibu mengeluarkan kebijakan!” jelasku tertahan emosi.
Bisikan demi bisikan para orang tua berlangsung di hadapankku.
“Baik. Maafkan kami semua, Nak Andi. Saya tahu, sikap anak saya kurang baik. Sekarang, kami sepakat, kami akan mengurangi jatah jajan, makan, dan fasilitas di rumah dan menyuruh anak-anak kami untuk membersihkan rumah Nak Andi selama 1 hari,” ujar orang tua dari Fadlan.
“Oh, untuk membersihkan gubuk saya tidak perlu. Cukup yang pertama. Saya harap kejujurannya bisa dipertanggungjawabkan,” kataku sedikit lega.
“Ya sudah, kami pulang dulu,” ucap orang tua Fadlan.
Hentakan kaki terdengar tak jauh dari depan gubuk.
“Kak .... !” teriak Usman sambil menghampiriku.
“Iya, tadi kamu ke mana? Kalau tadi ada kamu, pasti mereka semakin sadar. Mungkin tadi mereka hanya kasihan dengan kemiskinan Kakak,” kataku di atas dipan.
“Waktu aku manggil para orang tua, aku dipanggil dulu oleh pimpinan pabrik gorengan singkong. Katanya Kakak dipecat .... ” ujar Usman dengan napas terengah-engah.
“Apa? Dipecat? Hhm, benar juga, selesai naik gaji, besoknya wajib kerja sepulang sekolah. Ada hal penting yang harus dikerjakan. Sayang, padahal baru naik gaji. Uang kemarin pun sudah koyak,” aku terkejut, mengeluh, hingga lemas setelah mendengar hal itu.
“Aku lapar, Kak!” keluh Usman sembari tangannya mengusap-usap perut.
“Sabar, ya, Nak!” lirihku sambil perlahan tanganku memeluk tubuh Usman.
Mega yang memancarkan cahaya oranye kemerahan menyilaukan pandanganku. Aku dan Usman bergegas bangkit dari dipan menuju ke surau untuk sembahyang.
***
Cahaya rembulan yang menerangiku dari kegelapan telah usai menjadi sosok perhatian dunia malam. Sinarnya pudar perlahan, diiringi kedipan berulang-ulang dari mataku. Aku mulai masuk ke dunia siang. Matahari adalah pusat perhatiannya. Nampaknya, sinar matahari mengetuk katup mataku hingga aku dapat melihat dengan jelas tanpa kantung mata menutupi.
Manik mataku tak sengaja menangkap sosok pria yang sedang asyik bermain telepon genggam di depan gubukku. Aku menghampirinya dengan perasaan was-was. Dia tak menoleh sama sekali.
“Maaf, Pak. Ada yang bisa saya bantu?” tanyaku di belakang punggungnya.
“Di, sudah bangun? Mana Usman?” sosok pria itu adalah ayah.
“Hah ... Ayah .... ? Ayah ke mana saja? Usman masih tidur, Yah,” aku terkejut seketika.
“Ayah baru pulang menginap dari rumah pelanggan. Dia sedang sakit, butuh pijatan Ayah katanya. Ayah bawa uang hasilnya. Belum dibelanjakan sama sekali. Jumlahnya Rp. 100.000,” ujar ayah sambil berpelukan denganku.
“Wah, beli makanan, yuk! Lapar. Ngomong-ngomong parfum Ayah beli di mana? Wangi,” kataku sambil berjalan ke dalam gubuk.
“Man, bangun!”
Usman membuka katup matanya. Sepoi bayu perlahan mengangkat tubuh Usman ke pangkuan ayah.
“Ayah ... Ayah dari mana saja?” tanya Usman girang.
“Nginap di pelanggan. Mau beli makanan, gak?” jawab ayah.
“Mau banget. Yuk .... !” seru Usman.
Langkah kami terhenti di ambang pintu. Terlihat segerombolan orang berbaju hitam mendekat ke gubuk.
“Hakim …. ! Sekarang, serahkan semua uang yang ada di dompetmu! Semua harta kekayaan di rumahmu yang ada di Ujung Genteng telah kami sita. Yaitu hasil gaji menjadi seorang bodyguard. Cepat!” perintah orang asing itu.
“Apa maksudnya?” tanyaku heran.
“Nak, kamu harus tau semuanya. Sebenarnya ayah kalian bukan tukang pijat keliling melainkan seorang bodyguard anak pak Toni yang buta dan cacat kaki. Gaji ayahmu setiap hari Rp. 3.000.000 karena ayahmu pernah berkata kepada pak Toni. Kata ayahmu, anak kedua dia sedang sakit kanker, butuh biaya pengobatan. Sedangkan anak pertamanya harus menebus SPP selama 2 tahun. Kalau tidak, anak itu akan dikeluarkan dari sekolah. Sehari-hari pun kalian makan hanya dengan garam atau ikan teri. Itu yang ayahmu katakan. Sedangkan kami pegawai di rumah pak Toni yang sudah lama bekerja, satu bulan hanya Rp. 2.000.000. Kami seorang supir, tukang bersih-bersih, tukang masak, dan satpam juga. Akhirnya, kemarin sore ada seorang anak bernama Fadlan yang melapor kepada keluarga pak Toni tentang penipuan pak Hakim. Ia membawa bukti di Facebook tentang status pak Hakim. Statusnya begini, ‘1 teater, naik 1 jt. Happy yang gak ada duanya .… ’ Iya, kan, Pak?” jelas seorang suruhan pak Toni.
“Jawab, Yah! Apa itu benar?” tanyaku sambil memegang kedua lengan ayah.
“Ayah .... ” ucap ayah ragu.
“Cukup, Yah! Aku tahu. Pantas ayah tidak pulang, padahal punya rumah sendiri yang mewah. Pantas saat kupeluk tercium aroma parfum, harusnya kalau sudah kerja dan nginap, baunya keringat. Lagipula, aku tidak pernah tahu kalau Ayah suka pakai parfum,”
“Ayah, harapanku hanya ingin hidup berkecukupan. Bukan menjadi orang kaya yang tidak bisa memanfaatkan kekayaannya. Tidak apa-apa kalau Ayah mau hidup sendiri, tidak mau membiayai hidup aku dan Usman. Asalkan Ayah tahu, harapan itu bukan senda gurau yang bisa dipermainkan seenaknya,” tegasku dengan linangan air mata yang tirus.
“Cepat serahkan harta dari pak Toni. Pak Toni tak sudi hartanya dipakai orang sepertimu. Kalau tidak, lihat pisau tajam ini!” desak orang suruhan pak Toni lagi.
“Tapi, ini untuk membeli makanan. Andi dan Usman lapar, kan?” ayah semakin gelisah.
“Tidak. Cepat kembalikan uang itu, Ayah!” kataku dan Usman.
“Yuk, kita pergi!” ayah menuntun tanganku dan Usman. Namun, ujung pisau tajam yang dipegang orang suruhan pak Toni berhasil mencegat tubuh kami dari kerumunan orang suruhan pak Toni. Ayah menundukkan kepalanya hingga satu tusukan pisau mengenai leher Usman. Usman jatuh dari gendongan ayah dengan darah yang muncrat ke luar tubuh. Satu tusukan lagi mengenai perutku saat aku hendak menolong Usman. Sedangkan ayah masuk ke dalam gubuk dan ke luar gubuk melalui pintu belakang. Ayah selamat.
Aku termenung di ambang kematian. Inikah nasibku, Tuhan? Begitu sulit untuk mencapai harapan kecil saja. Tapi, setidaknya aku telah berhasil mendapatkan uang Rp. 50.000. Aku bangga dengan perjuanganku untuk memenuhi asa kecilku. Hasilnya bukanlah menjadi orang kaya. Tapi, aku memunculkan peristiwa yang dapat menimbulkan kasih sayang seorang ayah di ujung usiaku. Kasih sayang itu bagaikan perasaan parapati yang terbang bebas di udara. Tapi, satu pesan untuk ayah di dunia ini, “Ayah, asa bukanlah kelakar!”
Selamat Jalan ….

Asa Bukan Kelakar, Yah ...Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang