Aku duduk di halte menunggu bus yang akan mengantarkanku menuju apartemen temanku yang berada di pinggiran kota Paris. Rasanya sudah cukup lama aku duduk di sini dan baru menyadari sudah banyak bis yang kulewati. Berapa menit? Berapa jam? Entahlah. Pikiranku masih saja tersita oleh apa yang diucapkan Darren tadi sore.
Gwen, maafkan aku…
Maafkan aku…
Seakan-akan kata maaf bisa mengubah sesuatu!
Tiba-tiba bus yang kutunggu-tunggu datang. Tidak ingin melewatkannya lagi, aku segera berdiri dari tempat dudukku dan menaiki bus yang akan membawaku pergi.
Pergi. Larikah? Tidak, aku tidak akan pernah melarikan diri lagi. Aku hanya kesal dan membutuhkan waktu sejenak untuk bersama temanku agar bisa meluapkan segalanya setelah itu tidak memikirkan apa-apa.
Di dalam bus, penumpangnya bisa dihitung dengan jari karena hari sudah menjelang malam. Kulihat mereka sibuk dengan berbagai macam hal seperti membaca, mendengarkan lagu melalui earphone, mengobrol dengan orang di sebelahnya, dan melamunkan sesuatu sambil menatap jendela.
Perhatianku teralih pada orang yang sedang menatap ke luar jendela. Pria itu memiliki rambut pirang berombak yang entah kenapa terasa familier. Meski ada banyak bangku kosong yang tersisa selain bangku di sebelahnya, aku tetap berjalan ke tempat ia duduk. Pantulan wajahnya di jendela bus membuatku tertarik. Tampan dan anehnya terlihat benar-benar familier.
“Boleh duduk disini?” ucapku dengan bahasa prancis yang lancar.
Pria yang kuajak bicara tidak mengindahkanku dan masih melihat jendela. Apa suaraku terlalu kecil? “Boleh…” Sebelum aku kembali mengulang kata-kataku, pria bermantel cokelat itu tiba-tiba memutar wajahnya ke arahku.
Aku langsung terdiam. Tenggorokanku terasa tercekik dan jantungku seakan hampir keluar dari tempatnya.
Tidak mungkin.
Tapi hanya satu. Hanya satu yang memiliki mata biru tak terlupakan seandainya seribu tahun telah berlalu.
“Seth.” Saat menyebut namanya, aku menahan napas.
Lelaki itu tidak menjawab. Hanya memandangku dengan tatapan aneh yang tak bisa kutebak. Apa aku salah orang? Tidak, tidak mungkin lagi ada orang lain yang memiliki mata seperti Seth. Satu-satunya mata biru cemerlang yang dulu pernah menerangi tahun kegelapan di dalam hidupku.
Aku menelan ludah. Kukira tidak akan pernah lagi, tapi hatiku sekali lagi kembali tergoncang saat melihat mata birunya yang berkilat penuh kerinduan. Ironisnya, goncangan itu terasa menyakitkan. Bagai badai yang datang tiba-tiba saat laut tenang.
“Gwen.” Seth menyebut namaku dengan wajah yang diisi dengan kesedihan mendalam.
Aku tersenyum kecil saat menyadari kalau suara Seth sudah banyak berubah. Terakhir kali aku bertemu dengannya, aku dan dia masih remaja.
Remaja yang bodoh.
Tanpa berkata apa-apa, aku duduk di sebelahnya. Entah apa yang dipikirkannya saat ini, tapi mungkin ia sedang memikirkan hal yang sama denganku. Sedang membiarkan kenangan dulu menyerbu ingatan lagi. Ya Tuhan, rupanya meski sudah hampir dua puluh tahun berlalu pun, walaupun aku ingin melupakan segalanya dan menata ulang kehidupanku yang telah hancur berantakan, kenangan itu terus hidup di dalam ingatanku seperti film yang terus diputar ulang.
“Hai, orang asing.” Aku berusaha memecah keheningan di antara kami berdua. Sedang mencoba untuk meresapi denyut luka lama yang terasa mulai terbuka lagi. Oh, sangat menyakitkan. Tapi aku menikmatinya. Entah mengapa.
KAMU SEDANG MEMBACA
Stranger From The Past
Short StorySeth menatapku tajam. Ia tetap menyunggingkan senyum yang mungkin bisa membangkitkan orang mati itu. "Gwen, aku..." katanya. Wajahnya terlihat gugup, tapi ia tetap meneruskan. “Aku jatuh cinta padamu saat aku pertama kali melihatmu. Saat aku belum m...