Rama mengerang. Badannya terasa remuk, tenggorokannya sakit, dan yang paling menjengkelkan adalah kepalanya yang digerakkan saja rasanya berat sekali.
Rama kembali mengerang, yang dia inginkan hanya Tarissa. Lagipula kemana istrinya tadi?
Suara pintu kamar terbuka. Tarissa masuk sambil membawa nampan yang isinya segelas air putih dan yang pasti semangkuk bubur lagi. Rama menghembuskan napas pelan. Dia sama sekali tak suka makanan lembek itu.
"Makan buburnya dulu ya mas! Mumpung anget"
Rama hanya menggeleng pelan. Matanya masih terpejam lemah. Tarissa mendesah, beginilah jika seorang Ramadhan sakit. Manjanya mengalahkan balita. Tapi keras kepalanya tetap juara.
"Mau kemana lagi kamu?"
"Ambil handuk sama air, buat basuh badan mas"
"Jangan lama-lama ya"
"Iya"
Tarissa tersenyum sendiri. Kembali memikirkan sikap suaminya yang begitu berbeda ketika sakit.
Sejak kemarin dirinyalah yang jadi guling hidup suaminya. Minta dipeluk, tak mau ditinggal sendiri, sampai minta dibelai kepalanya.
Rama memang jarang sakit, tapi sekalinya sakit bisa jadi berhari-hari. Karena kecapekan dan setiap pulang basah kuyup diguyur hujan, akhirnya tumbang.
Tarissa membuka pintu kamarnya. Yang terlihat sama seperti sebelum dia pergi. Suaminya itu meringkuk dengan selimut hanya sebatas pinggang.
Dia memeras handuk lalu duduk menghadap suaminya. Tarissa membelai kepala Rama pelan. Rasa panas dari kulitnya masih terasa pada telapak tangannya.
"Kepalanya masih nyeri ya?"
Anggukan yang diberikan Rama membuat Tarissa menghela napas. Dia menunduk mencium dahi suaminya itu. Perlahan dibasuhnya handuk basah pada pipi Rama pelan.
"Lepas dulu bajunya"
Tarissa dengan telaten kembali membasuh lengan sampai dada Rama. Sedangkan sang empu masih terlalu lemah untuk mengelak. Sebenarnya Rama benci saat seperti ini. Saat dirinya tak berdaya hanya karena sakit sialan ini. Tapi tak pernah jadi masalah jika yang tahu kelemahannya ini adalah Tarissa. Wanita itu akan dengan senang hati merawat dan menemaninya sampai kembali sehat.
"Oke, selesai. Sekarang mas harus makan ya. Gak boleh ada penolakan lagi"
"Rasanya pahit "
"Terus makannya kapan? Tadi pagi cuma minum susu aja kan. Mas mau yang lain, nanti aku masakin"
"Sini ikut baringan Sa"
Walaupun dengan wajah kesal Tarissa tetap menuruti kemauan suaminya itu. Dia berdiri menuju lemari, mengambil kaos baru untuk dipakai Rama. Lalu setelahnya ikut berbaring berhadapan dengan Rama.
Rama mendesah merasa sakit kepalanya sedikit berkurang setelah menghirup aroma bayi dari cerukan leher istri mungilnya itu. Tarissa sendiri terdiam sambil mengusap punggung Ramadhan.
"Sayur asem kayaknya enak deh Sa!"
Ramadhan menatap Tarissa, lalu tersenyum sendiri melihat istrinya itu mengerutkan keningnya.
"Tadi kan kamu yang tanya, aku mau apa?"
Tarissa masih diam. Hanya menatap wajah pucat suaminya. Mereka saling bertatapan dalam diam. Lalu Rama menghembuskan napasnya pelan, mendekap Tarissa lebih erat dan mengecup keningnya sayang.
"Kalau gak mau masakin yaudah. Keningnya gak perlu dibuat keriput begini"
Kali ini giliran Tarissa yang tergelak. Dia membalas perlakuan Rama dengan menggigit pergelangan tangan suaminya itu.