Aku, Kamu, dan Dia

81 3 8
                                    

Sejujurnya, aku nggak tahu mau memulai cerita ku dari mana. Aku juga nggak tahu bagaimana caranya menulis agar cerita ku terlihat menarik dan banyak yang baca. Aku bener-bener nggak tahu itu. Sampai pada suatu pagi yang cerah, seseorang menghampiri ku yang sedang mengetik di salah satu bangku kantin yang berada di dekat pagar pembatas. Tanpa bilang apa pun, ia langsung duduk di depan ku dengan senyuman mautnya, senyum yang membuat ku terenyuh. Bagaimana tidak? Mungkin sedikit berlebihan, tapi di sekolah dan beberapa minggu ini hanya aku yang mendapatkan senyuman mautnya. Aku tidak tahu kenapa, lalu menatapnya pura-pura datar dan bertanya.

"kenapa liatin muka saya sampai segitunya?" kata ku waktu itu.

Sebelum menjawab, ia menyunggingkan seringaiannya. "emang salah yah kalau liatin bidadari cantik di pagi ini?"

Pipi ku tentu saja merona mendengar ucapannya. Aku sedikit menyunggingkan senyum dan menunduk, membuat dia tertawa.

"enggak usah nunduk begitu, aku suka kok liat bidadari yang lagi merona, apa lagi kalau liat pipi kamu yang—aw!!"

Belum sempat ia melanjutkan pujian—atau rayuannya itu—aku langsung memukul kepalanya dengan botol air mineralku yang isinya tinggal setengah, lalu menutup laptop dan berlalu pergi. Tidak sopan memang, tapi aku juga tidak mau mempermalukan diri sendiri dengan wajah yang memerah di depan laki-laki yang parasnya seperti 'Dewa Yunani' itu.

"semangat yah, nulisnya, kamu pasti menangin lomba nasional itu kok!"

Langkah ku terhenti, rasanya ingin berbalik dan menghampiri laki-laki itu untuk bertanya dari mana dia tahu bahwa aku ikut lomba menulis cerpen tingkat nasional? Ah, mungkin saja tahu dari teman sebangku ku, si Riska yang bawel dan susah untuk nggak keceplosan. Tapi aneh, kata teman ku kelas ku, laki-laki itu nggak suka mencari tahu tentang hal yang nggak penting, apa lagi soal perempuan yang katanya merepotkan.

Tanpa mengubris perkataanya, aku kembali melanjutkan langkah ku, mengabaikan dia yang pasti menatap punggungku sampai berbelok di koridor kelas XI.

Malamnya, aku tidak bisa kembali tidur ketika bangun di tengah malam dan merasakan haus. Setelah mematikan saklar di dekat pintu, aku melihat ponsel ku berkedip-kedip dan bergetar. Rasanya seram banget, emang siapa sih yang nggak merasakan hawa mengerikan di saat tengah malam mendapati ponselnya yang bergetar dan berkedip-kedip sendiri? Nggak ada kan?

Dengan langkah kaki yang gemetar, aku mendekati nakas kecil berlaci itu, mengintip sebentar, lalu wajah ku berubah jadi kesal saat tahu bahwa siapa penyebab ponsel ku berkedip-kedip dan bergetar.

Si Adrian Wirokusumo ternyata, spesies yang paling bisa membuatku kesal sendiri kalau ia menggangguku. Laki-laki itu ternyata mengirimi ku pesan singkat dengan nama serta embel-embel ganteng, tahu-tahu saja dia kalau aku tidak mengetahui nomornya.

Besok kamu ada acara nggak? Liatin aku latihan basket, yuk?pulangnya biar aku juga yang nganter. Bisa kan? Adrian ganteng.

Sambil mengetikkan balasan untuknya, aku geleng-geleng kepala. Sikapnya sungguh jauh dari kata pendiam dan cool dari yang biasa teman ku ceritakan. Padahal, laki-laki itu nggak pendiam, buktinya ia selalu mengganggu ku beberapa minggu ini. Kadang kala juga mengikuti ku kemana-mana, sampai mau latihan balet yang anggotanya perempuan semua, dan saat dikira ia mau menari juga, pelatih ku langsung memberinya baju balet laki-laki yang berwarna pink. Kalian tahu bagaimana reaksi ku saat itu? Ketawa. Sampai aku melupakan semua gerakan yang sudah ku pelajari semalaman, haha.

Saya nggak tahu. Mungkin nggak bisa, masih banyak yang harus saya lakukan. Me-revisi ulang naskah yang akan di kirim ke penerbit mungkin, atau melanjukan cerpen yang di ikut lombakan.

Aku duduk dikasur ku sambil bersandar di kepala ranjang dengan satu-satunya pencahayaan dari lampu nakas.

Aku udah bilang belom kalau nggak menerima penolakan? Intinya, aku bakal nunggu di depan kelas kamu setelah pulang. Soal me-revisi itu mungkin juga bisa nanti kan? Kamu kan udah jago, nggak perlu revisi juga pasti menang atau diterima.

Aku, Kamu, dan Dia.Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang