Deja Vu

51 8 0
                                    

Oleh wahyuzae

DINDING marmer ruangan interogasi ini masih sama seperti yang kujumpai tiga bulan silam. Itu adalah kali terakhir kepolisian melibatkanku dalam sebuah agenda penyidikan. Waktu itu mereka sedang mendalami sebuah kasus pemerkosaan, dilakukan oleh seorang bapak terhadap anak gadisnya semata wayang. Kasus yang tak terlalu luar biasa memang. Kondisi sosial ibukota yang penuh ruam membuat kasus semacam itu tak lagi menyita banyak perhatian. Tetapi, siapa sangka kasus itu justru sempat membuat kondisi psikis dan mentalku terguncang selama berbulan-bulan?

Kala itu korban duduk termenung. Air mukanya gersang. Arah tatapannya hilang. Seketika itu pula amarahku langsung menderu. Menderu laksana angin yang tengah berjibaku. Sebagai pakar psikoterapis murni, kepiawaianku mengendalikan emosi seolah tak lagi berfungsi. Tiga bulan lamanya, aku tenggelam dalam kesedihan. Kepalaku yang biasa dipasok ilmu psikologi dan hipnoterapi mendadak terombang-ambing oleh gejolak emosi. Wajah sendu anak itu telah niscaya menggusur segala macam logika dan ilmu pasti.

Sesungguhnya aku masih ragu ketika polisi-polisi itu mendatangiku beberapa waktu yang lalu. Sesungguhnya aku belum yakin akan kemampuan diagnosaku saat ini. Apakah aku bisa bekerja maksimal setelah tiga bulan vakum dari menjamah berkas-berkas kriminal? Apakah aku sudah mampu melepaskan seluruh beban yang menggelayutiku selama masa vakumku? Apakah aku sudah mampu melupakan kasus yang menimpa anak gadis itu?

Entahlah. Hingga saat ini pun, rasa pilu itu masih saja membekas. Mengingat anak itu bagai membenturkan kepala ke dinding marmer ini keras-keras. Menelanjangi tiap inchi ruangan ini ibarat menyiram luka dengan air panas. Bahkan, kini aku mulai merasakan dadaku kembali memanas. Amarahku lagi-lagi mengganas. Oh, tidak, Saras. Jangan biarkan emosimu terlepas.

Berdasarkan info dari kepolisian, hari ini duduk di depan kursiku seorang tersangka pembunuhan. Lebih tepatnya kasus pembantaian terhadap keluarganya sendiri. Namanya Dira, gadis 22 tahun yang diduga mengalami gangguan mental. Melihat wajahnya yang cantik menawan, orang-orang tidak akan mengira bahwa gadis itu akan tega memenggal kepala ayah dan saudara laki-lakinya sendiri. Sebagai penggelut ilmu psikologi, tentu saja aku memiliki pemahaman tersendiri. Setiap manusia pasti menyimpan sisi gelap. Kejadian yang menimpa Dira bisa saja dialami siapapun, tanpa terkecuali.

Aku melangkah mantap memasuki ruang interogasi. Merasa sudah cukup percaya diri, kubenamkan posisi dudukku pada kursi yang menghadap langsung ke arah gadis ini. Seberkas senyum kusunggingkan di sudut bibir. Meski agak canggung lantaran efek vakum selama hitungan bulan, aku tetap berusaha menampilkan kesan di awal-awal perjumpaan.

"Selamat pagi, Dira. Saya Saraswati." Aku berusaha mencairkan suasana, memulai percakapan dengan menyapa. Aku cukup mafhum ketika melihat Dira sama sekali tak meresponsnya. "Mulai sekarang hingga beberapa hari ke depan, saya akan sering menemuimu di ruangan ini. Apa kamu keberatan?"

Lagi-lagi, tak ada respons. Lawan bicaraku masih terdiam lesu. Mukanya tertunduk kaku. Poni gadis itu tergerai menutupi pandangannya yang misterius. Pertemuan pertama memang selalu tidak mudah. Pendekatan terhadap orang yang mengalami gangguan mental seperti ini memang butuh waktu dan proses-proses tertentu.

"Anda baik-baik saja hari ini?" Dira masih bungkam. Posisi duduknya pun sama sekali tak berubah. "Kamu tidak perlu takut, Dira. Saya tidak akan menyakiti kamu," ujarku, berusaha meyakinkannya, meski sebenarnya tak sedikit pun kutemukan raut ketakutan di wajahnya.

"Baiklah. Saya memahami keadaan kamu. Saya tidak akan memaksa. Seiring waktu nanti, kamu akan terbiasa." Dira lagi-lagi terdiam. Tak ada yang berubah dari posisi duduknya. "Baik. Saya rasa perkenalan hari ini sudah cukup. Untuk sementara ini, lebih baik saya tinggalkan kamu. Kita bertemu lagi besok ya?"

Sekelebat bayang dan rumah di ujung jalanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang