(DAMA)
Ini hari yang sibuk seperti biasa.
Dengan dibantu dua pegawaiku, Ina dan Layun, aku memasak di dapur. Menyelesaikan beberapa menu makanan yang sebelum jam makan siang, harus diantarkan ke para pemesan.
Menu katering ku hari ini adalah Pepes gurame, bandeng isi, tumis kol, dan terong balado. Dan seperti biasa, para pelanggan katering ku, adalah Ibu-ibu tukang gosip disekitar rumah. Yang tidak memiliki kesempatan memasak makan siang untuk para suami dan anak, karena terlalu asik bicara ngalor-ngidul dengan teman-teman sejenisnya.
"Punya Bu Kimi udah, Na?" Tanyaku pada gadis remaja manis bertubuh gempal, yang tengah sibuk memasukan Pepes gurame ke dalam salah satu rantang di atas meja dapur.
"Udah Mbak," sahut Ina sambil memeriksa salah satu rantang, kemudian melanjutkan pekerjaannya.
"Itu yang kamu masukin punya siapa?""Punya Mbak Keken."
"Mbak Keken?" Keningku berkerut, merasa asing dengan nama itu.
"Itu lho Mbak Dam, Ibu-ibu muda istri tentara yang nempatin asrama tua dekat kantor desa," jelas Layun, "dia sama suaminya baru pindah kemarin. Masih sibuk berbenah katanya, jadi nggak sempat masak."
Oh. Aku mengangguk, lalu kembali sibuk menggoreng bandeng isi.
"Oh ya, Mbak Dam. Kayaknya besok orderan di kita bakal nambah deh," kata Layun sambil tersenyum geli. Dia seperti baru menyadari sesuatu.
"Aamiin," mudah-mudahan orderan benar bertambah, " Tapi kok kamu ngomong gitu, Yun?"
"Sejak ada dua warga baru yang ganteng beberapa Ibu berubah centil, lebih doyan dandan dan ngecengin warga baru itu daripada masak," Layun tertawa. Begitu juga Ina. Mereka seperti mengetahui sebuah lelucon yang tidak kuketahui.
"Dua warga baru ganteng?"
Sepertinya aku kurang bersosialisasi deh, jadi kurang update dengan berita-berita terbaru yang terjadi di sekitar lingkunganku. Aku bahkan tidak tahu kalau ada dua warga baru.
Hah payah. Besok-besok mungkin aku akan menyisihkan sebagian waktu untuk bergosip dengan ibu-ibu lain, agar tidak ketinggalan berita.
"Suaminya Mbak Keken yang tentara itu, sama tetangga baru depan rumah Mbak. Yang dua hari lalu nempatin rumah Pak Rahmat," jelas Layun masih asik dengan kegiatannya 'memeras' ikan bandeng.
Oh ya? Rumah kosong depan rumah sudah ada yang menempati ya? Aku sama sekali tidak tahu.
"Mbak Dama nggak tahu ya, kalau rumah kosong depan udah ada yang nempatin?"
"Iya Mbak nggak tahu," jawabku meringis. Ina dan Layun menatapku terkejut.
Aku benar-benar tetangga yang payah. Mungkin setelah ini selesai, aku bisa mengantarkan makanan atau kue ke tetangga baru depan rumah. Sebagai salam perkenalan atau permintaan maaf, karena tidak menyadari keberadaannya.
"Waaah Mbak. Payah deh. Sekali-kali bersosialisasi dong sama tetangga, bawain makanan gih sebagai salam perkenalan," ledek Layun sambil tersenyum tengil. Dasar pegawai kurang ajar. Kalau bukan keponakan dari suaminya Tanteku sendiri sudah dipecat nih anak.
"Padahal orangnya ganteng maut loh Mbak. Walaupun gondrong." Aku tertawa mendengar istilah yang digunakan Ina, "Pakaiannya selalu bersih. Rapi juga. Mirip bintang film yang ada di tivi-tivi."
"Seganteng itu kah?" Aku mengulum senyum.
"Hu'um. Dan menurut kami berdua," Layun dan Ina saling pandangan dengan senyum jahilnya, "Cowok tetangga depan itu cocok dengan Mbak Dama. Sama-sama cakep dan ganteng. Sama janda dan duda juga. Jadi kayak jodoh gitu," mereka tertawa.
Aku langsung pura-pura cemberut walau merasa sedikit geli dengan ide mereka, "Sudah-sudah nggak udah bahas lagi tetangga baru, atau warga baru. Lanjutin lagi pekerjaannya. Nanti kita di demo lagi sama ibu-ibu gara-gara pesanan mereka belum selesai."
"Hahahaha oke Mbak."
***
Sekitar pukul dua belas liwat pekerjaan kami selesai. Ina dan Layun sedang pergi mengantar makanan ke para pelanggan ketika aku memutuskan menyiapkan rantang makanan perkenalan untuk tetangga baru.
"Yup. Mulai hari ini aku harus mulai belajar bergaul dan berinteraksi sama tetangga. Malu dong. Masa udah setahun tinggal disini, tapi aku masih kudet sama informasi terbaru di lingkunganku," ucapku pada diri sendiri, sembari memasukan makanan ke dalam rantang.
Aku baru saja keluar dari rumah, dan akan menyebrang ke rumah bercat putih yang ada di seberang, dan hanya terpisah oleh sebuah gang kecil di depan rumahku. Tubuhku langsung berubah kaku saat melihat sosok tegap berambut gondrong sepundak, yang sedang bicara serius dengan Pak RT di rumah, yang menjadi tujuanku untuk mengantarkan 'rantang perkenalan' ini.
'O-em-ji."
Mataku terbelalak, dan mulutku megap-megap seperti ikan kekurangan oksigen ketika tahu siapa tetangga baru yang tinggal depan rumahku.
Ya Tuhan ini pasti mimpi. Sekarang aku pasti sedang tertidur dan bermimpi buruk. Laki-laki durjana itu tidak mungkin mau tinggal di kampung seperti ini, dan menjadi tetanggaku.
Aku yakin ini pasti mimpi, dan kalau ini bukan mimpi ... Laki-laki di depan itu pasti cuma orang lain yang wajahnya mirip dia.
"Eh, ada Bu Elva."
Saking shock-nya karena melihat mahluk gondrong ganteng, yang mirip dengan laki-laki durjanaku di masa lalu. Aku sampai tidak menyadari kalau dari tadi aku mematung. Dan pak RT serta mahluk gondrong itu sudah melihatku mangap-mangap kaku depan rumah dari tadi.
"Mau ngantarin pesanan, Bu?" Tegur Pak RT ramah.
Melirik rantang yang ada di tanganku. Aku tersenyum kaku dan mengangguk. Dalam hati aku kembali berdoa. Semoga Si gondrong ganteng itu bukan laki-laki durjanaku di masa lalu. Semoga mereka hanya mirip saja.
Dan mengenai si gondrong ganteng ... dari tadi dia hanya memperhatikanku dengan tatapan datarnya.
"Oh ya, Bu Elva, kenalin Beliau Pak Erga Dewangga. Warga baru di desa kita. Beliau ini ...."
Aku tidak mendengar kelanjutan kalimat perkenalan Pak RT, yang kesannya terlalu memuji-muji Si mahluk gondrong itu. Aku hanya ingin meminta Pak RT mengulang satu hal ... Tadi Siapa nama yang disebut Pak RT? Erga Dewangga?
Hahahaha tidak mungkin. Mahluk gondrong itu (aku tarik kembali kata gantengnya ya!) Erga Dewangga. Tidak mungkin. Tolong katakan padaku itu bukan diaaaaaa."Selamat siang Bu Elva yang cantik. Salam kenal," Si mahluk gondrong itu akhirnya buka mulut. Dan suara beratnya membuatku makin megap-megap, karena terdengar familiar dan membuat ku rindu kisah lama.
Huhuuuhuuu. Dia benar-benar Erga.
Mukanya sama. Suaranya sama. Dan senyuman tengilnya juga sama. Hiks. Ya Tuhaaan,cobaan macam apa lagii ini.Tidak mempedulikan tatapan heran Pak RT dan Erga dan juga rantang makanan yang harus kuantar ke sana. Aku segera masuk ke dalam rumah, berlari masuk ke kamar, untuk kemudian menghantamkan kepalaku ke bantal.
Oh Tuhan, ini cobaan yang menjengkelkan. Kenapa juga tetangga baruku itu harus Erga Dewangga? Mantan suami menyebalkan yang suka selingkuh. Padahal aku sudah hidup tenang, dengan hati yang jauh lebih tertata. Aku sudah yakin bisa move on dari dia. Tapi ... Dengan keberadaan Erga di sekitarku, apa aku masih bisa tetap move on ya?
KAMU SEDANG MEMBACA
(Bukan) Tetangga Biasa
HumorBertemu setiap hari dengan mantan suami yang sekarang berstatus sebagai tetangga baru. DIA TETANGGAKU SEKARANG, CATAT! Itu akan terasa canggung dan membuka kembali luka lama. Dan belum lagi dia sudah berstatus sebagai seorang duda. Berarti mantan su...