satu

121 8 0
                                    

Dulu, kita selalu berebut kesempatan untuk menghabiskan akhir pekan bersama. Dulu, kita selalu mengunjungi tempat-tempat baru untuk mengabadikan momen dan menimbun foto di kamera hadiah ulang tahun yang ayahku berikan. Dulu, kita selalu duduk di cafe depan sekolah sembari meminum bubble gum hangat ketika hujan deras mengguyur. Bahkan, dulu, kita selalu berjalan bergandengan tangan ketika tidak ada yang melihat dan kamu tidak pernah bisa menyembunyikan wajahmu yang bersemu.

Dulu, kamu masih duduk berdampingan denganku, menghabiskan sore di depan koridor dan bercerita banyak tentang mimpi-mimpi yang akan kamu capai dalam waktu dekat dan jauh. Dulu, kamu masih sering mengoceh sendiri perkara kekesalan yang kamu dapat ketika sekolah berlangsung dan aku hanya bisa tersenyum sembari menenangkanmu. Dulu, kamu masih mengatakan lelucon-lelucon sarkastik tentang guru-guru menyabalkan yang membuatku tertawa hingga kehabisan napas—tidak, aku kehabisan napas karena berada di dekatnmu. Dulu, kamu masih menyuarakan betapa gundahnya kamu ketika teman-teman lamamu mulai berubah dan aku hanya mampu berujar bahwa semua orang bisa berubah.

Termasuk kamu.

Dan yang membuatku tersentak sedemikian hebat adalah kata “dulu” yang aku definisikan baru terlewati sebulan. Aku tidak mengerti bagaimana luka yang kamu katakan bisa membuat apa yang belum kita mulai jadi berakhir. Hingga saat ini, yang masih bisa ku upayakan adalah mencoba mengerti; kita dan apa yang akan kita tuju, bukan lagi pilihan bagimu.

ACHETempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang