Banu masuk ke dalam kelas dengan luka lebam di bibirnya. Seperti biasa, aksi adu jotos dengan preman tidak dapat dihindari oleh Banu. Preman-preman sok berkuasa yang mencoba memicu adrenalin Banu membuatnya kesal. Padahal ia sudah berjanji dengan dirinya sendiri untuk tidak bertengkar lagi. Selain demi Khea, Banu ingat posisinya sebagai anak satu-satunya di keluarga setelah adiknya Gerald meninggal karena kanker beberapa minggu lalu. Menjadi anak nakal tidak membawa dampak apa-apa. Namun, statusnya sebagai pembuat masalah tidak akan pernah berubah di mata semua orang.
Ari dan Romi sepertinya sudah biasa melihat wajah Banu seperti itu. Justru akan tampak sangat aneh kalau wajah Banu terlihat mulus dan rambutnya rapi. Tetapi ada yang berbeda hari ini. Banu membawa sebuah buku tebal di tangannya. Mata Ari memandangi novel buku itu dengan teliti.
"Buku apa tuh?"
Satu alis Banu terangkat. "Yang lagi gue bawa? Novel."
Mata Romi membulat. Ia kaget. Sama kagetnya seperti mendengar kalau Erin –anak pintar nomor satu di kelasnya ternyata remedial Fisika. "Kesambet apa lo bawa buku begituan? Lo bawa buku tulis kosong aja males."
Romi berusaha menyentuh novel itu dan Banu langsung memukul tangannya dengan gerak reflek. "Gak usah pegang."
Ari tertawa. "Gue tau nih. Jangan-jangan ini bukunya Khea ya?"
Banu tersenyum dan mengangguk. "Tuh tau."
"Lo gimana bisa ambil tuh buku? Emang lo ada kartu perpus? Mustahil banget kalo lo masih nyimpen sampe sekarang."
Banu menyeringai dan menatap Ari dengan alis terangkat. "Ya bisa lah. Kayak gak kenal Banu aja."
Banu mengingat-ingat kejadian kemarin. Selesai ia bertemu dengan Khea di depan perpustakaan, dirinya kembali memasuki kelas dan berjalan di sekitar koridor sekolah. Sambil bersiul dengan nada asal dan memasukkan tangan ke dalam saku celana, ia melirik seseorang yang baru saja masuk ke dalam ruang guru.
Angga.
Setelah Angga masuk ke dalam ruang guru, secara bergantian, Bu Lasti ke luar dari ruang guru. Seorang guru yang bertemu dengan Banu pasti akan lebih cepat emosi. Apalagi guru cewek. Lebih-lebih sedang badmood.
"Jangan berdiri di depan ruang guru," ucap Bu Lasti dingin.
Banu terkekeh. "Takut perutnya nabrak badan saya, Bu?"
"Kamu ini! Kamu masih punya utang nilai ulangan harian sama saya."
"Yang mana, Bu?" pertanyaan Banu membuat dirinya seakan-akan adalah siswa yang sering bolos pelajaran. Memang.
Mata Bu Lasti melotot. "Gak ingat kamu?! Sini masuk dalam ruang guru."
Suara 8 oktaf Bu Lasti menyuruh Banu untuk mengikuti beliau dari belakang. Ia menangkap gerak-gerik Angga yang mencurigakan dari tempatnya berjalan. Matanya terlihat seperti membandingkan sesuatu.
"Ini. Kamu belom ulangan harian bab tiga."
Banu menoleh ke arah Bu Lasti yang sedang menunjukkan daftar nilai. Ia mengangguk. "Oke, Bu. Saya bisa susulan minggu depan."
"Besok! Gak ada acara minggu depan. Belom nanti kalo kamu remed."
Banu berdecak. "Ibu yakin banget saya remed. Dijamin gak remed deh. Bab tiga tentang reproduksi 'kan?"
Bu Lasti memukul lengan Banu dengan penggaris. Ia merapikan kacamatanya yang sempat turun dengan cepat. "Kamu ini! Kapan mau berubah?"
Banu hanya tertawa saja. Setelah marah, Bu Lasti pasti mengelus dada. Ia menghembuskan napas berat lalu mengarahkan penggaris tepat di wajah Banu. "Besok pulang sekolah kamu remedial bab 'Sistem Peredaran Darah'. Kalo gak datang, nilai langsung nol."
KAMU SEDANG MEMBACA
Kumpulan Cerita Pendek
AléatoireCeritanya pendek-pendek. Yang panjang-panjang silahkan beli di toko buku. (Kalian bisa request cerpen disini!) Instagram : books.boo (for short story request) Cover by : napas-langit