Brian menenteng tas dan laptopnya masuk ke dalam sebuah café di dekat kampus. Aku kesulitan mengikuti langkahnya yang lebar dan cepat. Karena tidak ingin ketinggalan jauh, aku memaksakan diri untuk berlari walaupun sebenarnya aku tidak suka.
Brian membuka pintu café dengan sebelah tangan. Aku terkagum-kagum. Beberapa kali aku ke café itu, aku tidak pernah sanggup membuka pintunya walau dengan kedua tangan.
Aku menyelip sebelum Brian melangkah masuk. Tanpa menunggunya, aku menghampiri meja order. "Capuccino-nya satu, mbak. Untuk meja nomor 5, ya..." Aku tersenyum lebar, bangga karena tahu apa yang paling Brian sukai dari café ini, Capuccino hangat.
"Capuccino-nya satu, mbak. Meja nomor 5." Brian mengulangi apa yang kukatakan pada karyawan yang menjaga meja order. Aku mengerucutkan bibirku, kesal karena tidak diperdulikan. Setelah membayar sejumlah uang, Brian melangkah ke meja nomor 5 dan meletakkan semua barang-barangnya di kursi berwarna pink. Itu kursi favoritku.
Setiap kali aku dan Brian datang ke café ini, kursi itu jadi milikku. Ia akan membiarkanku menguasainya dan ia duduk di kursi berwarna hijau yang berhadapan dengan kursiku. Di sana kami akan berbagi cerita mengenai apa yang terjadi sepanjang hari ini. Dan di sana juga kami hampir menghabiskan waktu makan siang untuk mengerjakan PR. Tapi hari ini ia memberikan kursi itu pada tas dan laptopnya. Aku yang tidak berani berkomentar, memilih duduk di kursi biru, di sebelah kursinya.
Brian menghidupkan laptop. Seluruh perhatiannya tersita oleh tugas-tugas. Ia tidak menghiraukanku yang tengah berpura-pura tertarik pada apa yang ia kerjakan.
"Ini Capuccino-nya, mas. Silahkan dicicipi..." Pramusaji meletakan segelas Capuccino di sisi laptop pria sipit itu. Aku tergoda untuk mencicipinya namun tangan Brian lebih cepat. Ia menyeruput Capuccino itu tanpa mengalihkan pandangannya dari layar laptop. Aku menghela napas, tak berdaya.
"Brian," Akhirnya aku memberanikan diri membuka mulut. "Kau tidak makan siang?" Ia tak bergeming. "Nanti perutmu sakit kalau cuma minum Capuccino. Lebih baik kau pesan beberapa donat kalau memang tidak mau makan nasi." Ia masih tak bergeming.
Aku kesal namun tidak bisa berbuat apa-apa. Brian terus bergelut dengan tugas-tugasnya sementara aku mulai gelisah karena tidak tahu apa yang harus kulakukan.
"Brian, dulu aku sering bertanya kenapa kau mau mengantar-jemputku setiap hari. Awalnya aku pikir karena kau memang baik hati. Lalu suatu hari akhirnya aku mulai berpikir kalau kau suka padaku." Aku menunggu reaksinya. Nihil. Aku tidak kehabisan akal. "Aku tambah yakin setelah tahu kau tidak pernah menawarkan tumpangan pada gadis lain. Wah, aku spesial ya?" Aku tersenyum lebar, selebar artis di iklan pasta gigi. Sayangnya Brian tak terpengaruh.
Kesabaranku mulai habis. Aku pun mencubit lengan Brian. Ia tidak perduli.
"Brian!" Seorang gadis berambut cokelat dan berwajah indo melambaikan tangan pada Brian sambil berlari kecil. Brian menoleh dan membalas lambaian tangannya. Gina, nama gadis itu, duduk di kursi pink-ku dan meletakkan tas Brian di pangkuannya. Brian tertegun dan memandangi gadis itu. Tatapannya tampak aneh.
"Wuah, sopan sekali dia." desisku geram. "Brian, bilang padanya itu kursiku. Kalau dia mau duduk, cari kursi lain. Dan kalau tidak ada, dia bisa lesehan. Pokoknya tidak ada yang boleh duduk di kursi itu selama aku ada di café ini!" Aku melipat kedua tanganku di depan dada sambil menatap gadis setengah bule itu tajam.
"Kau mau pesan apa?" tanya Brian santai. Aku tercengang. Bukan itu reaksi yang kuinginkan. Apa dia sudah melupakanku? Cepat sekali...
©©©
KAMU SEDANG MEMBACA
LOVE IS LOVE
Short StoryKisah cinta antar sahabat adalah kisah yang klasik. Ketika gayungmu bersambut, kau akan berakhir dipelukan sahabat sekaligus pasanganmu. Namun jika tidak, maka kau akan terjebak dalam 'dosa'.