Makna : Kebebasan

16 0 0
                                    

Sebenarnya, apa makna kebebasan itu?

Pertanyaan itu terlintas begitu saja saat aku berbaring seraya memandang langit pagi yang cerah. Biru-kekuningannya memesona, juga awan-awan yang berlarian ditiup angin sejenak membuatku merasa damai

Kemudian aku membalik badan, tengkurap. Memerhatikan lamat-lamat rerumputan di sekitarku. Masih ada bulir embun yang menggantung di pucuk daunnya yang lancip, juga akar yang merekat pada tanah. Ketika mendongak, aku melihat sekawanan burung yang terbang membentuk pola seperti busur panah di langit.

Apa itu yang dinamakan kebebasan?

“Bara, sudah waktunya sarapan!” suara dari rumah memanggil.

“Iya Kek!” aku pun bangkit, lalu menepuk celana dan baju yang sedikit kotor. Dengan langkah santai aku menyusuri halaman luas di belakang rumah. Kebiasaanku di pagi hari akhir-akhir ini ternyata memakan waktu cukup banyak.  Sudah waktunya kembali pada rutinitas harianku─sekolah.

***

Seorang anak laki-laki berambut cepak turun dari mobil SUV

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Seorang anak laki-laki berambut cepak turun dari mobil SUV. Ia menyapaku dari seberang jalan. Kutunggu dirinya di depan gerbang sekolah dan masuk bersama. Namanya Rudal Sutomo, setahuku ayahnya seorang tentara yang cukup  terkenal─wajahnya beberapa kali muncul di TV. Nama yang aneh, kenapa tidak granat, torpedo, atau missiu sekalian.

Memang kelihatan kalau Rudal anak seorang tentara, tas punggungnya besar dengan motif hijau khas tentara, sepatunya pun sungguh bergaya, model boot dengan sol yang tebalnya keterlaluan.

Rudal duduk tepat di depan kursiku. Aku menyipitkan mata, mengamatinya dari belakang. Ia menggunakan pakaian yang seragam dengan semua siswa lain, juga diriku. Bahan yang sama, warna yang sama, setelan yang sama.

Bel berbunyi, seorang guru masuk ke dalam ruangan. Beliau juga mengenakan pakaian yang sama dengan guru dan staf lain. Walau aku tidak yakin akan mendapat jawaban yang kuinginkan, aku tetap bertanya pada para guru-guru.

Guru bahasa menerangkanku definisi dari kata kebebasan. Lalu sang guru kewarganegaraan menjawab dengan sekian contoh hukum dan norma. Sang guru agama menyebutkan dalil dan bukti yang telah beliau jadikan pedoman.

Sedangkan guru olahraga menceritakan tentang sportifitas dan kebebasan diatas lapangan. Semua itu memang bukan jawaban yang kuinginkan, tapi aku juga tidak bisa membantah. Aku pulang ke rumah dengan rasa penasaran yang masih utuh.

***

“Kakek, apa itu kebebasan?” aku iseng bertanya pada kakek yang asyik menyerut bambu untuk rangka layangan.

“Sudah berapa orang yang kau tanyai begitu Bara?” kakek tertawa kecil. Kumisnya yang putih bergoyang-goyang, kemudian kakek termenung sejenak.

“Aku sudah bertanya pada diri sendiri, guru-guru di sekolah, bahkan tukang becak di perempatan. Belum ada yang memuaskanku.” tuturku jujur. Kini kakek mengikat dua bilah bambu dengan tali seraya tertawa renyah.

“Begini Kembara, meskipun sesuatu mengikatmu, Kamu pasti masih bisa melakukan sesuatu. Masih ada kesempatan untuk berusaha. Tidak peduli seberapa banyak halangan. Pasti selalu ada kesempatan, ada hal yang bisa dipilih, bisa dilakukan. Sekali lagi bukan karena banyaknya batasan. Tapi keputusan untuk meliuk-liuk diantaranya."

"Tak melampaui, tak melanggar, tapi eksistensi dari celah yang bisa dilewati

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

"Tak melampaui, tak melanggar, tapi eksistensi dari celah yang bisa dilewati. Tidak lain berasal dari jiwa yang sehat, optimis, kreatif, pandai menyelesaikan masalah. Bukan mengangkat tangan, menyerah. Seperti itulah yang namanya kebebasan.” ucapan kakek membuatku berpikir keras. Aku pun masih termangu saat kakek menyuruhku mengambil kertas berwarna di atas lemari.

***

Layangan warna-warni buatan kakek sudah jadi. Sore harinya, saat angin mulai berhembus kencang di desa kami, kakek mengajakku ke halaman belakang. Beliau memegang erat kedua ujung rangka layangan. Sedangkan tangan kananku menggenggam benangnya.

Setelah aba-aba, beliau melepas layangan dan aku berlari secepat mungkin ke arah yang berlawanan dengan angin. Benda itu kini membumbung tinggi ke langit. Lihatlah, walau dengan benang yang mengikatnya, ia masih dapat menari, meliuk-liuk, berkelok-kelok dengan eloknya di angkasa sana. Yang ia ketahui begitu luas dan leluasa.

Ya, kakek benar. Itulah kebebasan.

_______°~***~°_______

Made for SMAN 2 Jombangs 'GILANG' magazine.

Written and Edited by Muhammad Aly Musthafa and Beryl Shafwa Qorry Aina

Teka Teki MaknaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang