Makna : Kedewasaan

13 0 0
                                    

Sehari berlalu sejak hari ulang tahunku yang ke-17. Ucapan selamat masih terus berdatangan meski tak sebanyak awalnya. Beberapa teman dekat seperti Tomo dan Lana sudah kuajak makan bersama di rumah makan sederhana, menyesuaikan uang yang diberikan Kakek.

"Selanjutnya siapa lagi nih yang akan ulang tahun?" tanya Rudal.

"Kenapa? Mau ditraktir lagi?" tanyaku kembali, paham maksudnya.

Lana pun menjawab. "Wah Tomo tidak tahu diri. Bulan depan kan kamu yang ulang tahun. Aku masih lama. Berarti bagian kamu yang belikan kita makan!"

Tomo hanya menggaruk-garuk kepalanya yang berambut cepak.

Tomo hanya menggaruk-garuk kepalanya yang berambut cepak

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

***

Sepulang dari sekolah, aku masih mengendarai sepeda unta untuk menuju ke rumah. Di teras, Kakek tampak sedang duduk santai pada kursi goyang.

"Wah cucu Kakek yang makin tua sudah datang. Bagaimana sekolah hari ini?"

"Biasa, Kek. Bara mengharapkan ada sesuatu yang berbeda, tapi, tampaknya tidak akan ada." kataku lemas seraya terus berjalan masuk rumah.

Kakek tersenyum simpul, dan berkata singkat. "Ingatlah tidak ada kata remaja, hanya dewasa."

Aku sempat terhenti sekian detik di bingkai pintu, namun kemudian kembali melanjutkan jalan ke kamar. Tas kutaruh di atas meja, berganti dari seragam ke baju santai, membasuh kaki-tangan, baru lalu menghempaskan diri ke atas kasur.

Kedua mataku mengitari kamar. "Kelihatannya bersih, rapi. Kakek memang mendidikku untuk menjadi mandiri sejak dini. Hmm, bukannya dewasa itu saat bisa melakukan semua, tanpa manja, ya, mandiri."

"Lalu... Apa yang harus.. berbeda dariku selama ini.. hoahm.." selanjutnya aku sudah terlelap.

***

Di suatu pedalaman dengan peralatan pramuka, peserta bakti sosial membangun tenda dan menyiapkan kebutuhan kehidupan. Tenda, dapur, dan sebagainya.

"Bara, ayo kesini bantu kami menumpuk kayu bakar!" ajak salah seorang.

"Maaf aku masih menata barang-barangku. Coba minta tolong Tomo saja." jawabku terus asyik bersiap mandi.

Terbiasa multi-task, aku juga membawa piring dan sendok. Untuk sekalian dicuci jika sewaktu-waktu akan makan. Semuanya berjalan lancar dan sesuai rencana. Aku bisa hidup mandiri, mengurus semuanya sendiri.

...

Namun masalah terjadi di luar jangkauan tanganku.
Di malam penutupan, api unggun berkobar tinggi menjulang. Tampak menakjubkan, menghangatkan. Hingga seseorang berteriak.

"Ambil air! Padamkan apinya!"

Tak disangka, api merambat ke tenda-tenda. Semua orang mencoba saling membantu, tapi aku, gesit melakukan apa yang kutahu untuk keadaan seperti ini. Sendirian menuju jalur terdekat ke jalan besar.

"Aku tidak perlu orang-orang itu untuk menyelamatkanku, aku tahu sendiri caranya."

Sampai pinggir jalan, langkah kupercepat tanpa melihat kiri dan kanan. Seketika tak terasa, badanku terhempas, oleh sepasang lampu, dan bingkai baja. Terkamuflase dengan gelap malam.

...

Di atas rerumputan seberang jalan, kedua mataku bergantian terbuka. Pepohonan tampak sudah bersih hangus jadi abu. Ia tertahan. Kaki dan tangannya mati rasa.

Ada satu pohon berbuah yang tak jauh dariku

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Ada satu pohon berbuah yang tak jauh dariku. Tapi, tampak sungguh jauh sekali. Untungnya ada satu apel yang jatuh. Kucoba gapai, dan, satu gigitan dari buah itu akhirnya membangunkan kesadaranku.

***

Seprai kasur kugenggam erat, berantakan, tak melekat pada kasur lagi. Tak hanya kaki dan tangan yang basah karena dibasuh tadi, sekujur badan sekarang Bermandi keringat.

Disampingku tubuh bungkuk Kakek berada. Ia sudah sedia menenangkanku yang telah mendapat mimpi buruk.

"Kek, maafkan Bara," aku bangkit dan merangkul badan Kakek. Dengan mengisak, aku, menyadarinya.

"Kembara kira menjadi mandiri saja sudah berarti dewasa. Ternyata perlu lebih dari itu. Kemampuan dalam diri kita juga harus membawa manfaat bagi sekitar. Dan mengemban tanggung jawab, sepenuhnya.."

Dari jendela berbingkai kecil, tangisanku disaksikan tanaman-tanaman di halaman belakang. Sebuah pohon apel menjatuhkan satu buahnya, dan bagai teori gravitasi, ia melahirkan pemahaman yang bermanfaat bagi masa depan.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Apr 06, 2017 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Teka Teki MaknaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang