Koper & Kereta

5 0 0
                                    


Satu baju yang terlipat akhirnya mengisi sebagian dari koper kosong itu. Ukurannya besar; muat puluhan baju bahkan beberapa barang lainnya, jadi masih banyak pakaian yang harus kamu lipat.

Diselingi sekelumit ingatan yang sepertinya sengaja kembali, kaumengingat bahwa semua ini diawali oleh setangkai biji dandelion yang kaupetik lima tahun lalu. Untuk kemudian biji itu kau angsurkan tepat ke hadapan wajahnya, yang mendadak terlihat seperti orang linglung.

"Kalau kamu mau, ambil. Kalau gak, tiup."

Dan beberapa menit kemudian—dengan jantungmu yang terus berdegup semakin cepat—ia merenggut biji dandelion dan menggenggamnya di depan dada.

Kamu lebih dari bahagia.

Kemudian, tak terasa hampir seluruh pakaianmu telah memenuhi koper. Kau tarik ujung ritsletingnya, pertanda sisa-sisa pakaian di lemari akan kau tinggalkan.

Kau usap pelipismu dari sedikit tetesan keringat, tepat ketika pintu kamar terbuka.

"Mau kemana?" suaranya—sekarang—punya sesuatu yang akhir-akhir ini, entah mengapa, selalu membuat ujung matamu berkedut.

Rasa asing itu muncul lagi.

Kau terpaksa menoleh, "Mau pergi,"

"Ya, kemana?"

"...agak jauh," kamu malah memandanginya.

Sementara dia berkacak pinggang.

"Kemana? Jawab,"

"Pulang," habis mau jawab apa lagi?

"Oh... bikin kaget aja," sahutnya sambil lalu.

Tapi segera kaupotong langkahnya itu, "Aku beneran pulang. Aku gak kesini lagi,"

"Maksud kamu? Serius, aku lagit sakit kepala nih..."

"Pokoknya tempatnya jauh," jawabmu ambigu, "kamu bobo sana. Mau kugendong?"

Kamu nyengir, tapi wajahnya makin semrawut.

Mungkin karena sakit kepalanya itu.

Ia menatapmu sejenak, hampir melotot mungkin.

"Ck!"

Selesai berdecak, dengan langkah cepat ia keluar kamar lalu membanting pintu keras-keras.

Kau menghela napas. Mengejarnya.

***

"Kamu... beneran pergi?"

Katanya setelah sedikit mereda.

"Mau kugendong?" kau bersikukuh.

"Gak,"

"Ayolah, besok aku pergi,"

"Terserah,"

Dan kau hanya memandanginya. "Mau main?"

"Main apa?"

Kau tersenyum. Seakan-akan ia tahu apa yang sedang kaupikirkan, meski sebenarnya tidak sama sekali, "Apa aja,"

"..."

Tanpa sadar, tangan kananmu sudah mendarat diatas kepalanya. Mengusap-usap kepalanya yang katanya sakit.

Tapi tentu saja tangan itu ditepisnya.

"Kamu mau ninggalin saya lagi?"

Saya... benakmu mengulang caranya mengucapkan kata itu. Tapi kau sendiri tidak menjawab pertanyaannya.

"Bentar lagi aku pergi, lho,"

***

Menyerah. Kau sengaja berbohong, mengatakan padanya kau sudah tidak punya waktu lagi dan akan segera ditinggalkan kereta.

Dengan desis dari lidahnya, kau melangkah pelan menuju pintu depan dan membukanya.

"Cepat sembuh!" seruanmu bergaung, sebelum menutup pintu.

Dan kau diam disana. Berdiri tertunduk dengan satu koper penuh yang lumayan berat, dan satu tas jinjing yang talinya melingkari bahumu.

Kau diam menunggu.

Dalam hati, dengan dahi berkerut dan mata terpejam, kau berdoa supaya dia keluar dan meraih lenganmu. Menarikmu kembali untuk kemudian kembali dipeluknya.

Kau berharap setelah ini kau akan dibuainya lagi, kau tidak harus merasa diacuhkan, lagi, dan semuanya akan berlanjut.

Tapi ia keluar dengan wajah masam.

"Are you serious?" tanyanya, benar-benar heran itu terlihat dari mimik mukanya.

"Goodbye," senyum akhirnya kautarik.

"Ke-" ia memotong kalimatnya sendiri, mendengus keras-keras.

"Aku harus pergi. Beneran ketinggalan kereta, nih,"

"Mau kuantar?"

***

Masuk area stasiun, pemandangannya sudah dihalangi banyak orang yang lalu-lalang. Dengan sebuah kereta besar yang berhenti di salah satu terminal.

Itu keretamu.

Kalian berlari kesana, bunyi kunci mobilnya gemericik di tangan kirinya. Kau terus berlari sambil menyeret kopermu susah payah.

Tiba di dekat kereta, orang-orang yang turun dari kereta mulai berdesakan di pintu, sementara kau mulai memandanginya lagi.

Tidak ada kata, sampai matanya yang tadi jelalatan kembali melihatmu.

"...saya,"

Kau diam. Ingin dia melanjutkan.

Dengan suara kecil ia benar-benar melanjutkan, "saya sayang sama kamu. Terlalu."

Senyummu benar-benar merekah dan kau memeluknya. Erat, hangat, tapi ada yang kurang.

Ia tidak memelukmu.

Ia tidak lagi berkata apa-apa dan langsung berbalik begitu sosokmu hilang dibalik pintu masuk kereta.

Di hadapan pintu gerbong pertama kaudiam. Semua orang sudah masuk, tak lama kau juga.

Dengan sedikit kenangan yang sebenarnya sedang tak ingin kamu ingat-ingat.

Ada ciuman-ciuman manis, pagi dan ia dalam rengkuhmu, malam ketika kau angkat kucing peliharaannya tinggi-tinggi untuk menggodanya yang lebih pendek darimu, lalu siang bolong dimana kau memeluknya dari belakang, atau kau yang berusaha terus menciumi pipinya sampai ia jengkel dan mendorongmu jauh-jauh.

Kau mengangkat kopermu keatas kabin diatas tempat duduk. Lalu duduk di sebelah jendela dan langsung memandangi apa saja yang keretawa itu lewati.

Pemandangannya cukup indah, bisa lebih kau nikmati jika saja wajahnya tidak terus-terusan kembali ke penglihatanmu.

Wajah masamnya kembali.

Senyumya.

Mata, hidung, bibir, semua terlihat terlalu jelas, hampir mengaburkan yang lain.

Tangan-tangan dengan jemari panjang itu mulai merayapi wajahmu, menutupinya untuk kemudian mulai terasa basah.

"Kenapa, Dik?"

Seseorang yang duduk di depanmu, menatapmu khawatir, membuatmu mendongak.

"Habis putus, Pak. Ha-ha," polos saja.

Dengan suara parau.

Biar. Biar orang yang capek berpikir, begitu pikirmu.

"Duh, Dik... kamu tahu? Masih banyak perempuan di dunia ini. Apalagi yang lebih baik. Tenang aja," nasihatnya pendek.

Kau terkekeh, mengusap pipi.

"Bagaimana saya mau cari perempuan yang lebih baik? Orang yang saya inginkan justru laki-laki."

Kamu di KepalakuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang