...tak akan bisa jika kau tak mencobanya, right?...
Ia menyambar pisau di depannya untuk memotong daging asap kesukaannya. Berkali-kali, ia mengganti pisau dengan garpu dan garpu dengan pisau.
Sarapan kali ini terasa berbeda. Ia melirik Mr. Rich yang sedang membaca koran, sambil menyeruput kopi hitamnya.
Ia bertanya-tanya dalam benaknya, apa yang akan terjadi di hari yang begitu penting baginya ini?
Kenapa dad bisa santai seperti itu, ya? Apa aku yang terlalu pesimis? Pikirnya seraya meneguk teh hangat dengan perlahan.
Hari ini adalah hari yang begitu penting bagi Steve. Kenapa? Karena, hari ini Steve akan masuk ke sekolahnya yang baru atau tepatnya sekolah pindahan. Baru saja Steve dan keluarganya tinggal di Kota Hum. Tak lama, baru dua pekan. Tadinya Steve beserta keluarganya tinggal di Kota Potosi. Tetapi, perintah perintah kantor Mr. Rich, otets* (artinya Ayah) Steve, mengharuskan mereka untuk pindah ke Kota Hum. Sebenarnya tak masalah baginya untuk tinggal dan menetap. Karena, dedushka* (kakek) Steve juga tinggal di Kota Hum. Bila terjadi sesuatu, Steve langsung menghubungi dedushkanya.
Di perjalanan menuju ke sekolah.
Hari ini Steve benar-benar gugup. Seperti manusia yang biasa lakukan, Perkenalkan nama saya, Steve Dennyson. Eee.. privyet!* (hai atau halo) Aku Steve , aku.. hai! Senang bertemu dengan kalian batin Steve latihan perkenalan nanti di depan kelas sambil, mengangkat tangannya bergantian seperti orang yang bijaksana.
Mr. Rich heran dan bertanya, "kamu kenapa Steve?"
"Eh, itu latihan memperkenalkan diri," jawab Steve singkat.
"Anak dad kan berani," sahut Mr. Rich memberi semangat Steve.
"Dad bisa saja. Tidak kok Steve hanya latihan,"
Mr. Rich hanya menggeleng-gelengkan kepala karena, heran dengan tingkah laku anak bungsunya itu.
Lima menit kemudian, Steve sampai di pinggiran kota. Steve melihat gedung putih tinggi bertuliskan, Nadezhda Natsii besar berwarna biru.
"Nah, kita sudah sampai. Kamu bisa turun sekarang. Tahukan dimana kelasnya? Nanti akan ada guru yang mengantarmu ke kelas," beritahu Mr. Rich.
"Iya dad,"
"Tetaplah jadi anak yang baik Steve Dennyson," pinta dad pada Steve.
Steve tersenyum dan bersalaman dengan Mr. Rich. Dengan percaya diri, Steve berjalan menelusuri koridor sekolah barunya dan mencari tag kelas bertuliskan, 11-2.
"Akhirnya ketemu!" gumam Steve yang akhirnya menemukan kelasnya sambil, mengusap pelipisnya yang berkeringat.
Steve hendak masuk ke kelasnya namun, "Steve? Apa itu kamu?" Tanya seorang wanita yang membawa setumpuk buku.
Wanita itu mengenakan rok warna coklat dan blus hijau dengan pita warna coklat di kerahnya. Kulitnya putih dan kakinya yang jenjang, tampak patut mengenakan high heels. Senyumannya yang begitu manis, membuat siapa saja menyukainya. Ya! Itulah Mrs. Shofi.
"I-iya saya Steve,"
"Kamu ikut saya ya! Saya Mrs. Shofi, wali kelas sebelas B," ucap Mrs. Shofi ramah kepada Steve. Lalu ia masuk ke kelas diikuti oleh Steve.
"Good morning children!" Sapa Mrs. Shofi kepada seluruh siswa.
"Morning Mrs. Shofi!" Sahut para siswa.
"Nah, kita punya teman baru yang akan memperkenalkan dirinya," ucap Mrs. Shofi sambil melirik Steve. Steve berdiri di belakang Mrs. Shofi lalu, huft Steve menarik napas.
"Hhem.. perkenalkan namaku Steve Dennyson atau panggil saja aku Steve. Aku datang dari Kota Potosi. Dua minggu yang lalu, aku pindah ke Kota Hum karena dinas dadku dipindahkan di sini. Sekarang, aku tinggal di komplek SECURE RECIDENT. Kalian bisa datang kapan saja ke rumahku dan semoga aku bisa jadi..." sapa Steve kepada siswa siswi. Steve sempat melirik ke seorang yang tak memperhatikannya dengan wajah yang pucat pasi.
Steve hampir saja bengong dan membuat Mrs. Shofi bingung.
"Steve?"
"Oh, eh teman baik kalian," Steve melanjutkan.
"Tepuk tangan untuk untuk Steve!" Ujar Mrs. Shofi untuk seluruh siswa. "Steve kamu duduk sebelah sana ya!" Seru Mrs. Shofi sambil menunjuk bangku kosong untuk diduduki Steve.
Steve terus saja memandangi seorang gadis yang duduk termurung di sebelah kanannya. Sempat gadis itu terpengaruh dan menengok. Steve segera mengalihkan pandangannya ke buku lusuh milik perpustakaan sekolah, sambil mengolak-alik lembaran satu dengan lembaran lainnya.
Kenapa ia memandangku dengan aneh..?
***

KAMU SEDANG MEMBACA
Pelangi Dalam Pelukan Mendung
TeenfikceDunia luar memang kejam, tapi selama kami bersama semua akan baik-baik saja.