"Why are you trying so hard to fit in when you were born to stand out?"
-Ian Wallace (What A Girl Wants)-
***
Minggu ini adalah minggu yang sangat sibuk bagiku. Pertama, minggu ini adalah minggu Try Out. Kedua, aku harus datang ke acara birthday dinner temanku akhir pekan ini di Kemang. Ketiga, aku harus ke rumah Adrien untuk memikirkan konsep cerita untuk kompetisi membuat film. Ditambah lagi, dua minggu ke depan akan diadakan ujian praktik. Kelas 12 ini adalah masa-masa yang sangat sibuk. Tapi aku juga excited untuk mengikuti kompetisi ini.
I'm so in love with movies and the making process of it. Namun, aku lebih tertarik untuk bekerja di balik layar dan kalaupun misalkan aku menjadi aktor, aku ingin menjadi voice actor atau pengisi suara. Karena menurutku, suara adalah ciri khas setiap orang dan kadang kita bisa mengenali seseorang melalui suara walaupun kita tidak melihatnya secara langsung.
Aku lupa kapan tepatnya aku pernah memberi tahu Adrien kalau aku menyukai film. Namun yang pasti, aku ingat kalau pada saat itu ia hanya menganggapku bercanda. Mungkin kali ini, ia lebih menganggapku serius. Bahkan, sangat serius.
Omong-omong soal serius, mungkin kalian pasti bertanya-tanya kenapa aku membiarkan hubunganku dengan Adrien mengambang. Jujur saja, aku belum pernah mempunyai masa lalu dengan seseorang. Jadi, aku tidak tahu bagaimana rasanya mempunyai rasa yang lebih terhadap seseorang atau bahasa lebih tepatnya adalah menyayangi seseorang dengan segenap hati. Lagi, aku belum pernah memberi seluruh hatiku untuk seseorang dan begitupun sebaliknya. Ini bukan masalah tentang aku punya trust issues—okay, maybe—tapi, juga ada alasan yang belum pasti.
"Rel, jangan lupa dateng ke acara ulang tahun gue, ya," kata Liora, yang tadi aku utarakan acara ulang tahunnya berada di Kemang. "Lo juga ya, Sa," lanjutnya dengan mengarah ke orang yang duduk di hadapanku.
"Siap, siap," kata Alyssa.
Alyssa adalah sahabatku. Ia adalah sahabat yang serba bisa, serba ada, dan serba segalanya untukku. Ia bisa jadi teman curhat, teman untuk seru-seruan, untuk serius-seriusan, dan juga bisa jadi teman informanku. Sebenarnya, sih, aku jarang meminta informasinya namun, ia yang selalu memberitahuku. Dan jujur saja, sepertinya makanan kesehariannya adalah internet because she just knows almost everything.
"Oke, deh. Ditunggu kedatangannya," ujarnya. "Kalo gitu, gue duluan, ya."
Aku dan Alyssa mengangguk sambil tersenyum secara bersamaan.
"Rel, besok malem gue berangkat bareng lo, ya. Soalnya mobil gue lagi dipake kakak gue," kata Alyssa.
"Yah, baru aja gue mau bilang kalo gue mau bareng lo, gara-gara supir gue nggak bisa anter besok."
Alyssa mendecak dan mengerucutkan bibirnya. "Ih, terus gimana, dong?" Namun tak lama kemudian, ekspresinya berubah dan ia menjentikkan jarinya. "Minta anterin Adrien aja."
Aku menggelengkan kepalaku cepat. "Yeh, lo kira dia supir?"
Ia menimbang-nimbang sejenak. "Iya juga, sih," katanya. "Kalo gitu taksi online aja."
"Boleh, sih."
Hening sejenak sebelum Alyssa kembali bersuara. "Rel, gue mau nanya sesuatu deh, sama lo."
Aku mengangguk sambil menyeruput minumanku.
"Kan, bisa dibilang dia itu yang pertama buat lo," lanjutnya. "Terus kenapa nggak lo terima dia aja? Lagian kalo lo belom mau serius kan, nggak apa-apa juga."
"Sianjir," kataku. "Berarti lo sama Alex nggak serius, dong?"
"Ya, bukannya gitu. Maksud gue kalo lo ragu tentang masalah keseriusan, coba aja jalanin dulu."
Aku menghela napas, mencari kata yang tepat untuk menjelaskan. "Gue nggak ragu tentang keseriusan. Tapi gue ragu sama hati gue. Adrien orangnya emang baik—terlalu baik malah—but there's a part of me which is not ready."
***
Waktu menunjukkan pukul setengah enam sore dan aku sudah siap dengan atasan crop top dan bawahan pleated midi skirt serba putih, karena ketentuan dress code memang putih.
Acara makan malam dimulai pukul tujuh dan aku harap jalanan lancar agar bisa sampai tepat waktu. Namun karena hari ini adalah malam minggu dan kondisi lalu lintas di Jakarta yang tidak bisa diprediksi, kemungkinan datang tepat waktu pun akan melenceng.
Aku mengambil ponselku lalu mengirim pesan di LINE untuk Alyssa.
Areli Maretta: Udah siap belom?
Alyssa: Tinggal make up
Areli Maretta: Lama bet lama
Areli Maretta: Gue pesen sekarang aja ya
Areli Maretta: Make up bisa lanjut di mobil
Alyssa: Yasudd
Sebelum aku memesan taksi online, tiba-tiba seseorang mengetuk pintu kamarku. Tanpa aba-aba dariku, orang tersebut langsung masuk ke dalam kamarku. Mau tahu siapa orangnya? Adrien.
"Lah? Rapi amat. Mau kemana lo?" tanyanya setelah masuk ke dalam dan menutup pintu kamarku.
"Acara birthday dinner Liora. Lo ngapain ke sini?" tanyaku balik.
Ia mengambil tempat duduk di ujung tempat tidurku. "Kata lo mau bahas film."
Aku mengernyitkan dahiku. Sepertinya aku sudah memberitahunya informasi kapan tepatnya ingin bahas film. "Itu kan, besok," kataku namun tidak sepenuhnya yakin. Kenapa aku jadi tidak yakin? Padahal aku yang membuat jadwal.
"Iya, apa?" tanyanya lagi yang membuatku semakin ragu. Tapi sebagian besar dariku yakin kalau Adrien telah mengetahuinya dengan jelas dan Adrien adalah bukan tipe orang yang mudah lupa.
Aku tidak menjawab pertanyaannya. Aku mengambil dompetku, lalu ketika ingin memasukannya ke dalam tas, ia mengatakan sesuatu yang membuat seluruh tubuhku terpaku sejenak.
"Berarti gue ke sini, hari ini, karena gue kangen sama lo."
Aku menelan ludahku dan melanjutkan aktivitas yang sempat tertunda. Sebagian dari diriku tahu kalau itu adalah bagian dari candaannya untuk membuatku tersipu. Jadi, aku memikirkan sebuah kata-kata untuk membalasnya.
"Sayangnya, kangen lo belom sempet terobati soalnya gue mau pergi." Namun, melihatnya yang tak kunjung merespon, aku kembali berkata, "Udah ah, gue mau pesen taksi online. Lo pulang aja sana. Eh, tapi kalau lo mau di sini juga nggak apa-apa, sih. Gue nggak berniat ngusir."
"Taksi online?" tanyanya secara retorikal. "Ya elah, mending gue anter lo terus uangnya buat gue, dah."
Aku memutar bola mataku. "Sama aja bohong."
"Nggak deng, bercanda. Dimana tempatnya? Gue anter nih, seriusan. Gratis, kayak cinta gue ke lo."
Aku tidak menggubris kalimat terakhirnya. "Kemang."
Ia langsung berdiri dari tempat tidurku. "Ayo lah, berangkat sekarang juga biar nggak macet."
"Tapi jemput Alyssa dulu."
Niatku mencari alasan supaya ia tidak jadi mengantarku ke Kemang namun, tanpa ada keraguan ia mengatakan, "Ya udah, ayo. Buat dapetin hati lo, semua gue turutin, dah. Sekalian mengobati rasa kangen gue ke lo." Ia mengatakan kalimat terakhirnya denga memain-mainkan kedua alisnya.
Aku tidak bisa tidak tersenyum. Itulah hal yang aku senangi dari dirinya yang mana ia selalu membalas candaanku—walaupun kadang suka telat responnya—dengan candaannya. Ia selalu tahu kapan saatnya bercanda dan kapan saatnya serius. He just knows the right time. And there's a part of me that can't stop—
Ah sudahlah.
***
Vancouver Sleep Clinic - Someone to Stay